Menakar Keistimewaan Aceh

 Oleh Yusrizal ---

ACEH adalah suatu provinsi yang unik dan istimewa baik dalam perjalanan sejarah maupun pergolakannya. Namun dalam perjalanannya keistimewaan Aceh tergerus oleh perilaku manusia-manusia yang ada di dalamnya. Nilai-nilai istimewa yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Aceh masih jauh dari status yang namanya istimewa. Peran dan fungsi lembaga-lembaga adat sebagai wadah penyaluran dari entitas istimewa tersebut, masih belum berjalan secara maksimal. Keistimewaan di bidang agama, peradatan, pendidikan dan peran ulama dalam pengambilan kebijakan strategis di daerah terkesan hadir sebagai pelengkap dalam struktur organisasi kepemerintahan Aceh.

Secara singkat dapat digambarkan bahwa pemberian status istimewa Aceh adalah untuk meredam konflik antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh, yang pada saat itu Aceh diturunkan statusnya menjadi keresidenan dan berada di bawah Provinsi Sumatera Utara. Hal lainnya adalah adanya keinginan (alm) Tgk Daud Beureueh agar syariat Islam ditegakkan di bumi Serambi Mekkah. Hal ini menjadi satu pertimbangan lahirnya Keputusan Perdana Menteri RI No.I/Missi/1959 yang kemudian dikenal Missi Hardi, tentang pemberian status istimewa kepada Aceh dengan sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan keputusan ini, Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa yang meliputi keistimewaan bidang agama, peradatan dan pendidikan.

 Banyak menuntut
Permasalahannya sekarang adalah mengapa keistimewaan tersebut cenderung memudar seiring perkembangan dan perubahan sosial masyarakat Aceh. Padahal kalau kita melihat berbagai produk hukum yang mendukung keistimewaan Aceh di antaranya UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh dan yang terkini adalah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang begitu lugas dan tegas untuk diimplementasikan. Terkadang kita terlalu benyak menuntut terhadap hal-hal lainnya, tapi kewenangan yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat tidak difungsikan dan dijalankan secara baik dan benar, sebagai contoh pengelolaan dana otsus yang tidak tepat sasaran.

Keistimewaan yang diperjuangkan setengah abad lalu, belum menghasilkan dampak yang maksimal. Hal ini disebabkan karena belum berjalannya secara maksimal peran dari masing-masing komponen setiap lembaga pendukung keistimewaan Aceh itu. Akibatnya, di bidang pendidikan, misalnya, Aceh masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi-provinsi lain di Tanah Air. Meski ada Majelis Pendidikan Daerah (MPD), namun sejauh ini Aceh belum mempunyai suatu grand desain yang matang untuk masa depan pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal.

Padahal, dengan status istimewa di bidang pendidikan, Aceh bisa merancang konsep pendidikan yang tepat untuk dirinya, selaras dengan budaya dan adat Aceh yang islami. Boleh jadi, islamisasi pendidikan sebagai langkah tepat dalam membangun karakter generasi Aceh yang akan datang. Sebagai contoh adalah modifikasi dari materi pembelajaran yang berwawasan syariah lebih ditingkatkan. Sehingga liberalisasi pendidikan dapat ditekan. Hal Ini seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh untuk membangun pendidikan yang handal dan berkulitas sesuai nilai-nilai budaya Aceh, sehingga pendidikan di Aceh tidak semakin terpuruk dimata nasional.

Begitu juga keistimewaan di bidang peradatan, bagaimana mungkin generasi mendatang dapat memahami adat dengan baik jika dalam keseharian dalam keluarga dan masyarakat nilai-nilai keadatan Aceh tidak diperkenalkan secara baik. Sangat disayangkan bila pemahaman mengenai adat Aceh yang sudah diwarisi oleh indatu terdahulu hilang seiring dengan perkembangan zaman. Majelis Adat Aceh (MAA) harus mampu mansupervisi dan mendorong masyarakat untuk memahami serta mencintai adat dan budaya Aceh sejak dini. Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita.

Karena itu, peran MAA bukan hanya sebatas upacara seremonial semata, seperti peusijuk dan pelatihan-pelatihan tentang adat yang hanya diikuti oleh generasi tua, tanpa diimbangi untuk generasi muda. Kita memang istimewa di bidang adat, tapi dalam keseharian masyarakat kita jarang memperkenalkan adat dan budaya Aceh. Pada hakikatnya pelaksanaan adat yang baik akan menjamin tercapainya pelaksanaan HAM, ketertiban dan kedamaian.

Mengenai pelembagaan adat selain MAA dan lembaga adat lainnya juga terdapat dalam Pasal 99 ayat (1) UUPA: Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Ayat (2): Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe. Jadi, aturan hukum sudah memberikan jalan, sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana mereposisi kembali adat dan budaya Aceh dalam kehidupan sehari-hari.

Keistimewaan lainnya adalah adanya peran Ulama dalam memberikan kontribusi yang besar demi kemajuan Aceh, termasuk di dalamnya adalah pembinaan akhlak dan akidah umat. Mengapa itu penting, karena akhir-akhir ini justru pendangkalan akidah dan aliran sesat tumbuh subur di Aceh. Selanjutnya apakah Pemerintah Aceh dalam membuat kebijakan meminta pandangan para Ulama? Tentu pertanyaan ini harus dijawab dengan kebijaksanaan, harmonisasi antara Umara dan Ulama ini menjadi sangat urgen apabila setiap keputusan dan pertimbangan dari Ulama yang berbentuk fatwa, tausiyah dan rekomendasi dapat dilaksanakan untuk pembagunan Aceh dan berbagai aspek kehidupan.

Mengenai peran ulama sebagaimana disebutkan dalam UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh, Pasal 9 ayat (1) menyebutkan: Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Ayat (2): Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

 Kemauan dan kerja keras
Berdasarkan pemikiran di atas maka sesungguhnya implementasi keistimewaan di Aceh masih jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan, terkesan keistimewaan Aceh hanya sebatas simbol saja, atau mungkin kita sudah terlena dengan simbol dan pernyataan kaidah keistimewaan dalam aturan hukum saja. Sudah saatnya Pemerintah Aceh memikirkan ulang bagaimana pelaksanaan keistimewaan Aceh ke depan. Revitalisasi keistimewaan Aceh harus dimulai dengan kemauan dan kerja keras dari Pemerintah Aceh untuk mengalokasikan anggaran yang tepat serta adanya pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan keistimewaan tersebut.

Banyak sudah lembaga dibentuk di Aceh sebagai bagian dari provinsi yang berlabel istimewa, sehingga tidak alasan bahwa tidak ada bagian yang tidak diperhatikan karena sudah terlembaga dengan baik. Maka wajar apabila masyarakat Aceh mempertanyakan kembali keistimewaan yang diperoleh dengan susah payah itu, tapi tidak mempunyai efek yang nyata dalam pelaksanaannya. Untuk itu peluang otonomi khusus yang ada di Aceh dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemerintahan yang efektif serta pengembangan dan penanaman nilai-nilai budaya, pendidikan dan agama. Semoga!

* Yusrizal, S.H, M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), dan Pendiri Lembaga Kajian dan Konsultasi Hukum (LKKH) Lhokseumawe. Email: yusrizal_mh@yahoo.com

Sumber:
Menakar Keistimewaan Aceh - Serambi Indonesia

 
Positive SSL