Oleh: Bisma Yadhi Putra --- 
   
POLEMIK elektoral  kembali terjadi di Aceh. Muncul dualisme regulasi terkait kuota  pengajuan bakal calon anggota legislatif. Dalam Pasal 11 Huruf a  Peraturan KPU No.7/2013, daftar bakal calon anggota legislatif yang  dapat diajukan parpol paling banyak 100% dari jumlah kursi yang  ditetapkan pada setiap dapil. Sementara dalam Pasal 17 Qanun No.3/2008  dinyatakan, parpol lokal dapat memuat maksimal 120%.
Tidak ada  pengecualian untuk parpol lokal di Aceh dalam PKPU tersebut. Padahal,  persoalan parpol lokal diatur secara khusus dalam landasan hukum  tersendiri. Terjadilah dualisme regulasi. Dualisme regulasi adalah  adanya lebih dari satu kebijakan yang saling berbenturan satu sama lain  tetapi mengatur sebuah permasalahan.
Persoalan ini menambah  daftar “keteledoran” KPU dalam merumuskan peraturan untuk teknis  penyelenggaraan pemilu. Sebelumnya, muncul polemik terkait sanksi  pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau penerbitan bagi media  yang melanggar Pasal 46 PKPU No.1/2013. Peraturan ini dianggap  berpotensi menghidupkan kembali rezim pemberangusan media, sehingga  dicabut berdasarkan tuntutan dari banyak pihak.
Namun, KPU tak  sepenuhnya salah. DPRA tak merevisi Qanun No.3/2008 ketika UU No.10/2008  diubah menjadi UU No.8/2012 yang menjadi acuan perumusan PKPU  No.7/2013. Dalam Pasal 54 UU No.10/2008 disebutkan, daftar caleg memuat  paling banyak 120 persen dari jumlah kursi pada setiap dapil. Qanun  No.3/2008 mengadopsi aturan tersebut. Namun dalam Pasal 54 UU No.8/2012,  jumlah tersebut diperkecil menjadi 100%.
Semestinya, DPRA tak  teledor atau lalai pula. Seharusnya polemik ini mencuat dan diselesaikan  ketika UU tersebut direvisi, bukan sekarang. Atau jangan-jangan, KIP  dan DPRA sudah tahu masalah ini sejak lama, tetapi malah dibiarkan saja.  Yang lebih parah, tentu saja, bila anggota-anggota DPRA baru tahu  sekarang jika UU No.10/2008 telah diubah.
 Ketidakadilan politis
Hingga  batas waktu penyerahan daftar calon sementara (DCS) pada 22 April 2012  lalu, belum ada ketetapan penggunaan regulasi. Akibatnya, sejumlah  parpol di Aceh malah menyertakan bacaleg sebanyak 120% dalam DCS,  sementara parpol lainnya tetap memuat 100%. Sebelum tahap penentuan  daftar calon tetap (DCT), harus ditemukan solusi untuk menyelesaikan  masalah ini. Mengecualikan parpol lokal untuk tidak diatur dengan PKPU  No.7/2013 jelas tidak adil secara politis bagi parpol nasional. Jika  parpol lokal boleh mengajukan caleg sebanyak 120%, sedangkan parpol  nasional hanya 100%, jelas tak adil!
Selain itu, seandainya Qanun  No.3/2008 direvisi dengan memuat klausul pengecualian bahwa parpol  nasional yang bersaing memperoleh kursi DPRA dan DPR kabupaten/kota di  Aceh juga bisa mengajukan caleg sebanyak 120% dari jumlah kursi di  setiap dapil, ini juga tak adil untuk parpol yang bertarung di daerah  lain. Untuk asumsi yang ini, bantahan dengan argumen status kekhususan  Aceh pasti muncul. 
Lagian, ini tak adil secara jumlah hanya  dalam muatan daftar caleg saja. Baik 100% ataupun 120%, sama-sama tak  menyebabkan bertambahnya jumlah alokasi kursi di parlemen. Sebab, dalam  sistem multi-member constituency, penetapan jumlah alokasi kursi  ditentukan dari jumlah penduduk di dapil yang bersangkutan. Bukan  persentase muatan daftar caleg.
Sebagai contoh: untuk Dapil Aceh 5  pemilihan anggota DPRA, alokasinya sebanyak 15 kursi; jika merujuk pada  PKPU No.7/2013, maka Partai Mawar (bukan nama sebenarnya) dan  parpol-parpol lainnya yang bersaing di dapil tersebut hanya bisa  mengajukan sebanyak 15 caleg (100%). Jika 120%, maka dapat memuat 18  caleg. Seandainya Partai Mawar mampu meraih 15 kursi, tetap tidak semua  caleg yang diusung bisa mendapat kursi. Tiga caleg gugur.
Dalam  konteks 120%, yang berbeda hanyalah jumlah caleg berpotensi terpilih.  Jika dari 15 hanya ada 10 caleg yang berpeluang besar terpilih, maka  dengan 18 (120%) caleg barangkali jumlah yang berpotensi meraih kursi  dapat menjadi 12 caleg. Lantas, mengapa ada parpol yang begitu getol  memperjuangkan kuota 120%?
Parpol yang “keras kepala” mengajukan  sebanyak 120% bacaleg tentu punya maksud politis. Belakangan, sejumlah  kader beberapa parpol yang sudah jauh-jauh hari menyiapkan diri maju  sebagai caleg harus kecewa. Parpol tempat bernaung tak mengakomodasi  mereka. Yang direkrut parpol malah caleg-caleg dadakan, tetapi lebih  mapan kemampuan finansial dan jaringan pemilihnya. Kader parpol justru  tersingkir. 
Dengan adanya kuota tambahan dalam daftar caleg,  setidaknya “omelan-omelan tentang ketersingkiran” bisa berkurang. Jadi,  semakin besar kuota caleg yang dapat diajukan, maka semakin  menguntungkan parpol untuk meminimalisasi kisruh pencalegan. 
Tak  boleh ada ketidakadilan politis dalam pemilu legislatif (pileg).  Pengecualian untuk parpol lokal tak bisa dibenarkan. Salah satu nilai  ukur baiknya kualitas pileg adalah diterapkannya prinsip adil. Peluang  bagi semua parpol yang bersaing merebut kursi parlemen harus sama.
 Kisruh elektoral
Ada dua opsi yang dapat diajukan untuk menyelesaikan kisruh elektoral ini. Pertama,  karena telah lalai tidak merevisi Qanun No.3/2008 saat UU No.10/2008  diubah menjadi UU No.8/2012, publik dapat mendesak DPRA agar merevisi  qanun tersebut. Ini bukan soal status kekhususan Aceh, tetapi kelalaian  legislator-legislator di DPRA. Jika enggan direvisi, maka wajar bila  masyarakat menilai kinerja mereka sama sekali tak membanggakan.  Masyarakat yang cerdas tentu tak bangga jika kelalaian malah dianggap  sebagai kekhususan.
Kedua, PKPU No.7/2013 direvisi dengan  membuat pengecualian kepada parpol lokal dan parpol nasional yang  bersaing di Aceh. Semua parpol bisa mengajukan caleg sebanyak 120%. Yang  direvisi hanya soal kuota pengajuan caleg, sedangkan hal-hal penting  lainnya --seperti kuota 30% keterwakilan perempuan-- tetap  dipertahankan. Revisi ini bertujuan untuk menghindari penilaian bahwa  KPU dan KIP telah mengabaikan kekhususan Aceh yang memiliki parpol lokal  dan regulasi yang mengaturnya. Penilaian semacam itu bisa menyulut  proliferasi kisruh elektoral. 
Belajar dari Pemilukada Aceh 2012  yang berdarah-darah, ulah propagandis tak beradab membuat anggota KIP  kerap mendapat teror karena dinilai telah “mengkhianati” UUPA. Dengan  merevisi PKPU No.7/2013 guna mengecualikan parpol lokal dan parpol  nasional yang bersaing di Aceh, mungkin tak akan muncul gemuruh  resistensi terhadap KIP.
Untuk opsi yang pertama, rasanya nihil  dilakukan. Pesimis. Pasti mayoritas Dewan tak berkenan. Saat ini, tak  semua --barangkali bisa juga semua-- anggota DPRA punya banyak waktu  untuk fokus melakukan revisi qanun tersebut. Mereka tengah sibuk dengan  pemantapan DCT parpolnya masing-masing.
Demi parpol yang lebih  diutamakan, mereka pasti aktif andil dalam persiapan kampanye pileg.  Bahkan untuk yang maju kembali pada Pileg 2014, bisa lebih sibuk. Sebab,  mereka mesti bertemu konstituen guna membentuk dan membugarkan struktur  tim sukses. Namun, sebenarnya revisi tersebut tak akan memakan waktu  lama, karena hanya membahas satu persoalan saja.
Bisma Yadhi Putra,  Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal)  Lhokseumawe; anggota Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU). Email:  bisma.ypolitik@gmail.com
Sumber: 
Dualisme Regulasi - Serambi Indonesia
