Aceh; Prabowo atau Jokowi?

Oleh: Mukhtar Syafari Husin

PERBEDAAN dukungan tokoh politik Aceh, khususnya Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf yang merupakan petinggi Partai Aceh (PA) kepada dua kandidat Capres-Cawapres pada Pilpres 2014, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Radjasa (Prabowo-Hatta) dan Jokowi-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dinilai akan menguntungkan Aceh siapa pun calon yang akan terpilih nantinya. Anggapan seperti ini ada benarnya kalau ditelaah secara biasa saja.

Publik Aceh sudah mengetahui bagaimana kedekatan mantan panglima GAM, Muzakir Manaf (Mualem) dengan mantan Danjen Kopassus era DOM di Aceh, Prabowo dalam dua tahun belakangan ini. Bahkan Prabowo diduga punya peran dan jasa “besar” dalam pemenangan Cagub dan Cawagub Aceh pada Pilkada 2012, sehingga saat ini Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf menduduki kursi Aceh satu dan dua. Mualem menyakini Prabowo akan mendukung MoU Helsinki dan penuntasan turunan UUPA kalau jadi presiden berikutnya. Alasan lainnya, Mualem menilai Prabowo sebagai sosok yang tegas dan berani.

Di sisi lain, mantan petinggi GAM angkatan 76 yang juga juru runding GAM dalam perjanjian MoU Helsinki, Zaini Abdullah mendukung Jokowi-JK, juga punya alasan tersendiri. JK yang saat itu menjabat Wakil Presiden RI punya jasa besar dalam mewujudkan perdamaian di Helsinki. Bahkan JK dianggap sebagai tokoh kunci yang punya tanggung jawab dalam menuntaskan seluruh turunan UUPA dan mengimplementasi untuk kesejahteraan rakyat Aceh.

Alasan Doto itu dibenarkan pula oleh Tuha Peut PA lainnya, Zakarian Saman dan mantan petinggi GAM lainnya. Namun patut ditelaah secara mendalam, sejauhmana sesungguhnya keuntungan yang akan didapatkan Aceh andaikata salah satu pasangan capres/cawapres ini memenangi Pilpres 2014 yang akan digelar pada 9 Juli mendatang. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkaji visi, misi dan rentetan pembicaraan kedua pasang kandidat dalam berbagai kesempatan baru-baru ini, terutama yang dilansir berbagai media.

 Manifesto perjuangan
Capres Gerindra, Prabowo Subianto yang menyambangi kantor DPP Pepabri, di Jakarta, pada Selasa (22/4/2014) sempat berpidato singkat di hadapan sejumlah purnawirawan jenderal. Dia lantas menegaskan manifesto perjuangan Gerindra, antara lain semangat kembali ke naskah asli UUD 1945 (theglobejournal.com, 22/4/2014). Pernyataan berani dari Prabowo mengagetkan seluruh orang yang hadir, betapa tidak kalau UUD 45 dikembalikan ke naskah aslinya, maka Indonesia akan kembali seperti masa lalu, Presiden bisa dipilih seumur hidup oleh MPR, pemerintahan kembali bersifat sentralistik (penyeragaman sistem pemerintahan di bawah kendali pusat) sehingga reformasi akan sia-sia.

Keinginan Prabowo untuk mengembalikan UUD 45 ke naskah asli sebagaimana tertulis dalam manifesto partai Gerindra pada halaman 13, juga tertulis dalam buku karangan Prabowo berjudul; Membangun Kembali Indonesia Raya beserta alasannya. Ini membuktikan begitu tingginya keinginan Prabowo mewujudkan program tersebut sebagaimana masa Presiden Soekarno dan Soeharto. Namun apa pengaruhnya bagi Aceh kalau UUD 45 yang telah diamandemen empat kali ternyata dikembalikan kepada naskah aslinya seperti masa Orde Lama dan Orde Baru?

Perlu dimaklumi bahwa pertimbangan paling mendasar terwujudnya perjanjian MoU Helsinki dan lahirnya UUPA yang memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi Aceh dan pembagian hasil migas secara signifikan adalah UUD 45 pasal 18A dan 18B yang menempatkan Aceh sebagai satu-satunya provinsi yang memiliki kekhususan dan keistimewaan di republik ini. Kalau UUD 45 pasca-amandemen dikembalikan kepada naskah aslinya sebagaimana keinginan Prabowo maka kedua pasal ini akan hilang dengan sendirinya. Konsekuensinya kemudian adalah UUPA tidak lagi punya landasan konstitusi, maka ini akan berakibat fatal terhadap kelanjutan implementasi MoU dan UUPA. Bahkan UUPA bisa dicabut oleh pemerintah atau dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak ada landasan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Fakta lain, PDIP yang mengusung Jokowi-JK ternyata dulu punya rencana menggugat MoU Helsinki. Tapi kemudian Irmadi Lubis, anggota Fraksi PDIP DPR RI yang juga mantan anggota Pansus RUUPA mengatakan; “UUPA sudah final dan sudah sesuai dengan amanah konstitusi. PDIP ikut membahas dan kemudian mensahkan UUPA. Dengan begitu UU tersebut sudah selesai. Sama sekali tidak ada rencana PDIP menggugat kembali UUPA ke MK”. Irmadi mengakui, dulu memang PDIP pernah mau menggugat MoU Helsinki. Tapi ketika seluruh butir MoU Helsinki sudah masuk dalam UUPA, semua sudah selesai. (Serambi, 5/4/2014).

Komitmen Jokowi-JK untuk tetap menjalankan sistem pemerintahan yang lebih banyak memberi kekuasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) sebagaimana dalam UUD 45 hasil amandemen pasca reformasi juga terpahami dengan jelas dalam debat Capres-Cawapres fase pertama dan pernyataan komitmen JK ketika kampaye di Pidie, Kamis (5/6/2014) untuk menuntaskan turunan UUPA yang diakui JK sebagai tanggung jawab dan kewajibannya setelah mewujudkan perdamaian antara RI dan GAM di Helsinki.

 Menimbulkan pro-kontra
Di pihak lain, keputusan Mualem mendukung Prabowo-Hatta yang dinilai menyalahi mekanisme partai yang dipimpinnya menimbulkan pro-kontra di tubuh PA dan para pendukungnya. Parahnya lagi parlok ini diklaim oleh Ketua Barisan Pendukung Partai Aceh (BPPA), Azmi, telah menerima uang Rp 50 miliar dari Gerindra sehingga Mualem didesak melepaskan diri dari jabatan Ketua PA dan mempertanggungjawabkan aliran dana Rp 50 miliar dari Prabowo.

Entahlah, yang jelas dalam pertemuan dengan masyarakat Aceh di Anjong Monmata Banda Aceh, Rabu (11/6/2014), Prabowo menyebutkan: “Alangkah mudahnya menguasai Indonesia, cukup beli parpolnya saja”. (Serambi, 13/6/2014). Apakah ini sebagai refleksi pengalaman pribadi atau kritikan terhadap perilaku politik yang tidak sehat yang sangat mudah terjadi di republik ini, hanya Prabowo yang tahu hal ini.

Menanggapi aliran dana Rp 50 miliar dari Gerindra ke PA, Ketua Umum DPD Gerindra Aceh, TA Khalid juga pernah menegaskan: “Kalau pun ada bantuan materi, itu setelah ada kerja sama. Jadi bukan karena materi dulu, lalu ada kerja sama” (Serambi, edisi 9/6/2014).

Pernyataan TA Khalid dipahami bukan untuk menepis adanya bantuan materi Rp 50 miliar tetapi seolah cuma menolak dugaan adanya aliran “minyak pelumas” sebelum program kerja sama PA-Gerindra terwujud. Mungkin menurut TA Khalid, penyerahan bantuan materi pascaterjadi kerja sama tidak masuk dalam katagori “grafitasi”.

Namun pihak Muzakir Manaf mengklaim Ketua BPPA telah melakukan fitnah besar dan pencemaran nama baiknya. Selayaknya Muzakir Manaf menempuh jalur hukum kalau memang benar apa yang dibantahnya agar masyarakat tidak semakin curiga. Publik Aceh menanti kelanjutan “episode” ini siapa sesungguhnya yang benar. Siapa yang punya nyali di antara keduanya, apa Muzakir Manaf yang akan menuntut Azmi melalui jalur hukum atau justru Azmi yang akan menyuguhkan bukti dari internal partai sebagaimana yang pernah disebutkannya.

Terserah bagaimana hasil perseteruan ini, yang jelas masyarakat Aceh harus cerdas dalam menentukan pilihan pasangan Capres/Cawapres pada 9 Juli nanti yang bisa memberikan harapan lebih baik bagi kepentingan Aceh secara umum. Semoga kita tidak terus terperosok dalam lubang sejarah kelam masa silam karena keputusan yang salah kaprah. Wallahu a’lam.

* Tgk. Mukhtar Syafari Husin, MA., Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat-Gerakan Intelektual Se-Aceh (DPP-GISA), alumni Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan alumni Dayah MUDI-STAI Al-Aziziyah Samalanga. Email: mukhtar_syafari@yahoo.com

Sumber: 
http://aceh.tribunnews.com/2014/06/23/aceh-prabowo-atau-jokowi

RPP ‘Bargaining Politik’ Pilpres

Oleh: Amrizal J. Prang 


MENARIK membaca editorial Serambi, 19/6/2014, bertajuk “RPP Migas Jadi Bahan Bargaining Politik Pusat”. Hal ini, disampaikan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah kepada Duta Besar Uni Eropa (Dubes UE), Olof Skoog, saat berkunjung ke Aceh, pada 17 Juni 2014 lalu. Di samping itu, juga disampaikan kemajuan dan kendala implementasi UUPA. Sayangnya, Dubes UE hanya mengatakan: “Kami tidak bisa terlalu jauh mencampuri urusan internal Pemerintah Indonesia dengan Aceh. Tetapi, kami tetap akan memberikan dukungan agar pemerintah pusat memenuhi janjinya.”

Meskipun sudah diprediksikan UE tidak bisa berbuat banyak, namun tanggapan tersebut tetap memunculkan kekecewaan pemerintah Aceh dan rakyat. Ironisnya, ternyata RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tersebut --termasuk Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres)-- sudah dijadikan “bargaining politik” pusat sejak pemilihan umum presiden (pilpres) pada 2009 oleh SBY. Dimana, meraih suara secara mutlak di Aceh dan kembali terpilih menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya.

 Melanggar hukum
Jika yang disampaikan gubernur itu benar, maka dipastikan pemerintah pusat telah melakukan pelanggaran hukum dan UUPA. Apalagi, dijadikan “bargaining politik” pilpres. Ini sebuah kesalahan, bukan saja secara hukum dan politik bahkan secara etika dan moral, karena pembentukan RPP dan Ranperpres tersebut perintah UUPA dan menjadi kewajiban pemerintah (presiden), seharusnya pada 2008 lalu sudah dibentuk (Pasal 271).

Namun, delapan tahun UUPA dijalankan sejak 2006, masih ada tiga PP dan satu Perpres belum ditetapkan, yaitu: PP tentang Pengelolaan bersama migas Aceh (Pasal 160); PP tentang Nama dan gelar Aceh (Pasal 251); dan PP tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh. [Pasal 270]. Selanjutnya, Perpres tentang Kanwil BPN menjadi perangkat Aceh dan kabupaten/kota (Pasal 253 ayat 2). Untuk itu, dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), ini merupakan bentuk gangguan penegakan hukum.

Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum adalah menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah dan mengejawantahkan dalam tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai. Terjadinya, gangguan penegakan hukum apabila tidak ada keserasian antara “tritunggal”: Pertama, nilai, antara lain, penyerasian antara nilai ketertiban (keterikatan) dan nilai ketentraman (kebebasan); Kedua, kaidah, merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang abstrak agar lebih konkret ke dalam kaidah hukum, misalnya kaedah suruhan atau perintah untuk melakukan atau tidak melakukan, dan; Ketiga, perilaku atau sikap tindak, dimana dengan kaidah tersebut mejadi pedoman perilaku atau sikap tindak, tujuannya menciptkan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. (Soerjono Soekanto, 2010:5-7).

Oleh karena itu, berdasarkan konsepsi law enforcement dalam konteks penetapan peraturan pelaksana UUPA, maka telah terjadi ketidakserasian antara “tritunggal”. Terutama pelaksanaan kaedah perintah penetapan RPP dan Ranperpres, yang sejatinya pada 2008 sudah selesai. Ini merupakan bentuk pelanggaran dan gangguan penegakan UUPA oleh pemerintah pusat. Anehnya, tidak ada sanksi terhadap keterlambatan penetapan tersebut. Jika tidak segera ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dikhawatirkan akan menimbulkaan kekecewaan rakyat dan merusak proses perdamaian Aceh, bahkan dapat menimbulkan re-konflik.

Memang, ada beberapa alasan keterlambatan penetapan RPP dan Ranperpres tersebut, karena sebelum ditetapkan perlu dikonsultasikan dengan gubernur (Pasal 8 ayat (3) UUPA jo Perpres 75/2008). Sehingga, tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dengan Aceh, tentu tidak dapat dihindari. Sebagaimana, saya rasakan ketika pernah menjadi Tim Konsultasi Aceh, penuh dengan dinamika. Namun, seharusnya kepentingan tersebut didasarkan pada kaedah UUPA dan konstitusi (UUD 1945). Sehingga, kewenangan yang sudah didelegasikan dapat dijabarkan dan ditetapkan dalam PP dan Perpres tanpa melanggar hukum.  

 Menggalang dukungan
Di samping keterlambatan pada pemerintah pusat, terdapat juga kelemahan pemerintah Aceh. Seharusnya, tuntutan penetapan sisa RPP dan Ranperpres tersebut, tidak saja dilakukan melalui pendekatan hukum dan administrasi oleh Tim Konsultasi Aceh. Namun, perlu juga pendekatan politik dan sosiologis, dengan melakukan penggalangan dukungan semua elemen atau stakeholders baik di Aceh maupun di luar Aceh (Jakarta), seperti ulama, akademisi, intelektual, LSM, dan mahasiswa. Selanjutnya, pendekatan hukum, lobi dan pressure politik dapat dilakukan secara simultan antara pemerintah Aceh dengan elemen-elemen tersebut.

Pemerintahan Aceh tidak akan berhasil kalau hanya dilakukan oleh Gubernur dan DPRA saja, terlebih lagi oleh satu partai politik. Apalagi, otonomi daerah untuk Aceh berlaku dalam bentuk otonomi khusus (asymetris autonomy). Salah satu kewenangan delegasi yang bersifat khusus adalah pembentukan PP dan Perpres yang berkaitan langsung dengan Aceh yang dibuat pemerintah pusat, perlu dikonsultasikan kepada gubernur. Oleh karenanya, dipastikan tantangannya besar sehingga memerlukan dukungan yang besar pula.

Untuk itu, meskipun RPP dan Ranperpres dijadikan sebagai “bargaining politik” kedua capres/cawapres pada pilpres 2014 mendatang. Pemerintah Aceh juga tidak bisa berharap secara mutlak, kalau mereka terpilih akan segera menetapkan PP dan Perpres tersebut. Realitasnya, SBY yang terlibat langsung dalam proses damai Aceh dan UUPA, plus mendapat dukungan penuh rakyat Aceh dalam pilpres 2009, tidak bisa konsisten dalam implmentasi. Apalagi, pilpres mendatang dimana untuk Aceh dukungan terhadap kedua capres/cawapres “terbelah” antara Gubernur dengan Wakil Gubernur, terlebih lagi dalam masyarakat.   

Untuk itu, Pemerintah Aceh harus merujuk pengalaman penyusunan UUPA bahwa di saat fokus perhatian dunia internasional kepada Aceh pascatsunami 2004 dan konflik begitu besar, masih memerlukan keterlibatan semua elemen. Apalagi, ketika UE tidak bisa ikut campur dalam internal pemerintah pusat. Sehingga, keniscayaan seluruh elemen dalam dan luar Aceh tersebut dilibatakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, dengan keterlibatan elemen-elemen tersebut akan muncul pressure politik kepada presiden, lobi politik kepada DPR dan unjuk rasa sebagai wujud aspirasi dan demokrasi rakyat Aceh.

Faktanya, selama ini hal demikian kurang dilakukan secara bersama. Konsekuensinya, jangankan berhasil mempengaruhi pemerintah pusat menetapkan sisa PP dan Perpres, implementasi yang sudah ditetapkan saja belum juga dilaksanakan dengan baik. Pertama, implementasi PP No.83/2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang. Dimana aktivitas ekspor-impor Pelabuhan Sabang belum ada kemajuan yang berarti. Kedua, Perpres No.11/2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri. Sampai saat ini, kerja sama dengan investor asing, masih sebatas penandatanganan MoU, tetapi tidak ada realisasi konkret.

Dan, terakhir, belum dibentuk qanun-qanun turunan UUPA, yang pro-rakyat. Sehingga, terkesan pemerintah Aceh ambigu, menuntut banyak hak kepada pemerintah pusat, tetapi tidak bisa menjalankannya. Last but not least, agar pemerintahan Aceh kuat dan didukung oleh rakyat, keniscayaan melibatkan semua elemen-elemen tersebut, sebagaimana pengalaman penyusunan UUPA. Semoga!  

* Amrizal J. Prang, SH, LL.M., Mahasiswa Program Doktoral pada Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com

Sumber:
http://aceh.tribunnews.com/2014/06/23/rpp-bargaining-politik-pilpres

Pancasila dasar, Bukan Pilar


Oleh: Aripianto ---

Menyikapi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara bukan menempatkan Pancasila sebagai pilar bangsa. Setiap orang memahami bahwa pilar tak sama maknanya dengan dasar. Pilar yang berarti tiang penyangga tentu berbeda dengan dasar atau fundamen. Tentunya dalam Pancasila sebagai dasar negara berperan untuk memberikan suatu aturan yang mengatur terjalinnya penyelenggaraan negara. Perihal tersebut bisa di uraikan bahwa Pancasila untuk dijadikan basis negara yang bermakna, Pancasila dijadikan dasar dalam penyelenggaran negara, Pancasila dijadikan dasar dalam pengaturan dan sistem pemerintahan negara dan Pancasila merupakan sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan ini bisa disimpulkaan bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang berperan untuk dijadikan tujuan atau dambaan dari bangsa Indonesia sebagai fasilitas pemersatu bangsa. Arti ideologi Pancasila yakni untuk sebagai pandangan, pedoman, kepercayaan serta nilai bangsa Indonesia yang dengan normatif butuh diwujudkan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Maka sudah semestinya  Pancasila dijadikan dasar negara di dalam Negara  Kesatuan Republik Indonesia.  Ideologi  Pancasila itu disusun dengan sistematis, serta diberi panduan pelaksanaanya saat menanggapi serta merampungkan problem yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Dengan harfiah, ideologi bermakna pengetahuan perihal ide atau pedoman. Istilah ideologi datang dari kata idea yang bermakna ide, rencana, pengertian dasar, pedoman serta logos yang bermakna pengetahuan didalam pengertian sehari-hari, ideologi merupakan seperangkat ide, inspirasi, dasar, dari sesuatu masyarakat perihal kebaikan berbarengan yang dirumuskan didalam wujud tujuan yang perlu dicapai serta langkah yang dipakai untuk meraih tujuan itu.

Jika kita pahami apa yang diwancanakan oleh MPRI yang menempatkan Pancasila sebagai dasar merupakan suatu hal yang tidak pantas di tempatkan, karena mensejajarkan Pancasila dengan 3 pilar lainnya yaitu UUD, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika. Maka Dasar pemikiran MPR RI tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah diakukan BP 7 semasa Orde Baru berkuasa dengan program P4-nya. Apalagi pada saat ide dasar pemikiran tersebut digagasi dan disepakati MPR RI ketika kondisi berbangsa dan bernegara segenap tumpah darah Indonesia dalam kondisi sebaliknya, justru sangat amat terpuruk. Korupsi semakin merajalela dan beringas, dilakukan oleh semua beragam pejabat Negara dan para birokrat serta elite politik.

MPR RI yang memposisikan Pancasila sebagai pilar jelas keliru, karena secara teknis maupun filosofis pengertiannya jadi bias. Dalam pengertian teknik konstruksi, pemahaman terhadap pilar akan mengingatkan orang pada fondasi sebuah bangunan. Pada gilirannya, ketika hendak dicerna secara filosofis pengertian maupun pemahaman terhadap Pancasila yang disebut sebagai suatu pilar dari pilat lainnya itu menjadi rancu, karena dipahami sebagai tiang penyangga. Antara pilar dan fondasi jelas berbeda. Fondasi sebagai alas, sedangkan pilar sebagai tiang. Logikanya, tidak ada satu pun bangunan yang cuma berdiri di atas tiang tanpa adanya fondasi.

Meposisikan Pancasila
  
Sasaran membumikan Pancasila sudah selayaknya dilakukan sebagai pandangan hidup atau ideologi yang  mempengaruhi kehidupan secara efektif tak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara, tetapi perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses pengakaran(radikalisasi). Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: yakni (mitos), penalaran (logos), dan kejuanga (etos). Jika kita telaah pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Pada sisi ini, bangsa kita harus menyakini, seperti yang pernah di sampai oleh John Gardern (dalam tulisannya Yudi latif) mengatakan tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Mematrikan keyakinan pada hati warga tidak selalu bersifat rasional. Pendekatan afektif-emotif dengan menggunakan bahasa seni-budaya dan instrumen multimedia akan jauh lebih efektif. Dan sekarang kita lihat bagaimana pada dimensi logos, radikalisasi pancasila diarahkan untuk  mengembangkan pancasila dari ideologi menjadi ilmu. Pancasila harus dijadikan paradigma keilmuan yang melahirkan teori pengetahuan dan komunitas epistemiknya. Proses obketivitas penting karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan relalitas-kebijakkan.

Sedangkan jika kita telaah lebih dalam lagi pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar pancasila mempunyai konsistensi dengan korespondensi dengan realitas sosial. Dengan kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Bertitik tolak dari dasar itu, tatanan bernegara baik dengan UUD, UU, konvensi, maupun budaya yang mengejawantahkan dasar atau fundamen kehidupan bagi kelompok yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia dapat hidup. Bagi Bung Karno, bangsa dengan menyitir Ernst Renan adalah kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) sehingga atas dasar Pancasila dirancanglah konstitusi, yaitu UUD 1945 bentuk negara kesatuan dan bukan negara federal (NKRI) dan hasrat bangsa untuk menghargai keberagaman dalam moto Bhinneka Tunggal Ika. Semua itu menjadi sarana untuk membangun kebersamaan sebagai warga bangsa untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur. Tetapi sangat disayangakn penyebarluasan konsep empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, disambut dengan baik. Tak kurang UU tentang Partai Politik (UU No 27 Tahun 2008) mengamanatkan agar anggota DPR perlu memasyarakatkan empat pilar itu. Malah ada perguruan tinggi swasta yang menganugerahi gelar doktor honoris causa kepada seorang pejabat negara yang dipandang berjasa memasyarakatkan empat pilar itu. Ini sudah tentu  menjadi pola pikir yang salah dengan menyamakan Pancasila hanya salah satu pilar harus dibuang jauh. Pola pikir yang keliru akan menghasilkan tindakan dan praksis hidup yang keliru pula. Pancasila adalah dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memaknai Pancasila Seutuhnya


Sebagai asas dan dasar negara, Pancasila merupakan philosophische grondslag atau dasar filosofis bagi suatu negara dan bangsa yang bernama Indonesia. Bila negara Indonesia diibaratkan sebagai wadah, tegas Bung Karno,...Dan wadah ini hanyalah bisa selamat tidak retak jikalau wadah ini didasarkan di atas dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen-elemen yang tersusun daripada Pancasila (Pidato 17 Juni 1954). Dalam pada itu, Soekarno (Bung Karno), dalam pidato pada 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPKI yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila menyatakan, sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya, lanjut Bung Karno, bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita, ahli bahasa, Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

ARIPIANTO
Penulis Adalah Wakabid Litbang Infokom DPC GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau


Sumber: http://news.okezone.com/read/2013/05/15/58/807215/pancasila-dasar-bukan-pilar

 
Positive SSL