Aceh 'Kagura'

Oleh: Zahrul Fadhi Johan 
---


KAGURA, kata ini sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi sosial-politik Aceh hari ini. Lebih kurang 30 tahun lamanya Aceh bertikai dengan Pusat. Pada 15 Agustus 2005 menjadi hari yang sakral terjadinya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI), rakyat telah menaruh harapan besar atas perdamaian tersebut.

Rasanya konflik telah menjadikan rakyat Aceh patah arang, jenuh atas penderitaan dan kesengsaraan. Di sebalik itu, hanya sebagian kecil atau kelompok-kelompok tertentu yang merasa diuntungkan oleh kondisi tersebut. Setelah perdamaian, masyarakat merasa lega dan leluasa untuk melakukan segala aktifitas keseharian, tetapi pil pahit dan rasa traumatik masih membekas dalam diri masyarakat.

Setelah damai, Aceh ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Masyarakat Serambi Mekkah kembali merekonstruksi tatanan sosial, struktur budaya yang telah pudar, perekonomian carut-marut, pendidikan tertinggal jauh dengan daerah lain. Padahal, Aceh pada era 1496-1903 dikenal sebagai ladang ilmu pengetahuan, memiliki pemerintahan yang teratur dan sistematik, menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer untuk menentang imperialisme bangsa Eropa, Aceh juga dijadikan sebagai kiblat ilmu agama di Nusantara.

Delapan tahunan perdamaian sudah berlalu, sekarang masyarakat mulai merasa getar-getir dengan kondisi suhu politik yang tidak stabil. Muncul beberapa kelompok yang merasa bahwa Aceh adalah milik mereka, sehingga sumbu-sumbu konflik mulai dihidupkan kembali.

Senin, 2 April 2013 seribuan masyarakat Aceh dari berbagai kabupaten/kota datang ke Banda Aceh untuk melakukan konvoi mengelilingi kota Banda Aceh dan melakukan aksi pengibaran Bendera Bulan Bintang di Gedung DPRA. Massa juga menuntut kepada Pemerintah Pusat melalui Mendagri untuk mensahkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang telah ditandatangani oleh Gubernur Aceh pada 25 Maret 2013.

Besoknya, sebagian kecil masyarakat di Aceh Barat membagikan 1.000 lembar Bendera Merah Putih, aksi tersebut menandakan bahwa sikap resistensi terhadap bendera dan lambang yang telah disahkan dalam Qanun No.3 Tahun 2013 oleh Gubernur dengan alasan bendera dan lambang tersebut adalah milik GAM dan tidak merepresentasikan masyarakat Aceh secara menyeluruh.

Resistensi lain dilakukan oleh sebagian masyarakat yang mengatasnamakan perwakilan dari masyarakat dataran tinggi Gayo pada Kamis 4 April 2013, mereka melakukan aksi pembakaran bendera Bulan Bintang dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil mengusung Bendera Merah Putih di kota Takengon dan Benar Meriah. Mereka juga menuntut apabila Qanun Bendera dan Lambang Aceh disahkan seperti lambang GAM oleh Pemerintah Pusat maka mereka akan menuntut pemisahan diri dari provinsi Aceh.

Relasi obyektif
Bendera dan lambang merupakan arena produksi dan sirkulasi barang-barang simbolis yang didefinisikan oleh Pierre Bourdieu (2010:141) sebagai sistem relasi obyektif sebuah instansi secara fungsional berperan dalam pembagian produksi, reproduksi dan penyebaran barang-barang simbolis.

Struktur arena itu muncul akibat oposisi antara arena produksi terbatas sebagai sistem yang memproduksikan barang-barang kultural yang secara obyektif ditujukan kepada publik produsen barang kultural skala besar, khususnya didasarkan pada sebuah pandangan produsennya bahwa produksi barang-barang kultural bisa dinikmati oleh publik luas yang bertujuan untuk dapat memperoleh pengakuan dari kelompok sesama dan para pesaing.

Dalam hal ini, Bendera dan Lambang Aceh adalah sebuah simbol penunjukkan jati diri keacehan untuk mendapatkan legitimasi dari pihak lain; Bahwa, Aceh pernah menjadi sebuah negara berdaulat sebelum Tengku Daud Beureueh menyatakan Aceh bergabung dengan Indonesia saat proklamasi kemerdekaan 1945, dan pernah mengalami masa kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Bendera dan Lambang juga dianggap sebagai pemersatu semua etnis yang ada di Aceh. Jika melihat kondisi Aceh hari ini, tanda tanya besar timbul di benak kita. Apa makna sebuah simbol jika terjadi perpecahan di Aceh? Bukankah satu tujuan dari perjuangan GAM saat itu adalah ingin menjadikan Aceh sebagai negara berdaulat tanpa adanya perpecahan?

Jika perjuangan yang menghabiskan waktu selama 30 tahun hanya sekedar melegalkan sebuah simbol dan lambang untuk euforia semata, berarti Aceh tidak beda dengan provinsi lain di Indonesia. Seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang juga memiliki Bendera Kesultanan. Begitu pula daerah Ternate yang memiliki lebih dari satu bendera, yaitu Bendera Kesultanan Ternate dan Bendera Rakyat Ternate. Kedua daerah tersebut tidak pernah melakukan perlawanan untuk menuntut merdeka dari Pemerintah Pusat, tetapi Yogyakarta dan Ternate memiliki simbol kebanggaan sendiri tanpa ada pro-kontra rakyatnya.

Alangkah indahnya kalau hari ini rakyat Aceh dapat merasakan kemerdekaan setelah apa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu, yang telah mengorbankan nyawa dan harta mereka demi mewujudkan Aceh yang bermartabat di mata Pusat. Merdeka bukan hanya berarti pemisahan diri dari sebuah negara untuk membentuk negara berdaulat.

Kemerdekaan bisa dimaknai sebagai tindakan kebebasan berfikir, kebebasan berkehendak tanpa ada kotomi khusus dari kelompok-kelompok tertentu yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apa makna sebuah perjuangan jika pada ujungnya rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan?

 Hilangkan egoisme
Jika hari ini kemerdekaan yang seperti itu tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh. Maka sekaranglah saatnya rakyat kembali bersatu untuk melawan segala kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Rakyat bosan dengan segala penindasan dan intimidasi dari berbagai lini, berikanlah ruang kepada rakyat untuk bisa menjalankan segala aktivitas secara normal.

Marilah sekarang sama-sama kita menghilangkan sikap egoisme dan sinisme antara satu sama lain. Aceh adalah milik seluruh rakyat yang bermukim di tanah Serambi Mekkah dari barat, timur, utara, selatan, tengah, dan tenggara, karna Aceh bukan hanya milik segelintir orang. Kalaupun ada kebijakan-kebijakan yang dapat memicu konflik untuk memecah belah bangsa Aceh dan ada pihak-pihak lain yang coba mengusik perdamaian di Aceh, sebaiknya pemerintah sesegera mungkin meredamnya agar semua kepentingan terakomodir dengan baik.

Untuk mengembalikan kedaulatan dan kejayaan Aceh, seperti halnya Hong Kong saat ini yang secara konstitusi masih di bawah kekuasaan Republik Rakyat Cina, tetapi negara tersebut dapat melakukan hubungan diplomatik dan bilateral dengan negara lain. Seharusnya pemerintah Aceh dapat mengambil contoh pola dan sistem yang dilakukan oleh Hong Kong.

Permerintah juga harus melakukan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) lokal sesuai dengan kebutuhan pasar untuk dapat mengembangkan sumber daya alam (SDA) yang ada di bumi Iskandar Muda ini. Pemberdayaan yang dilakukan pastinya tanpa adanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalamnya agar rakyat bisa makmur dan sejahtera.


(Zahrul Fadhi Johan-Peneliti dan Director of Division Education and Human Resources SCAD Independent)


Tulisan ini telah dipublikasikan dalam kolom OPINI Harian Serambi Indonesia, Senin 8 April 2013
Aceh 'Kagura' - Serambi Indonesia

Perempuan Aceh, Kekuatan Demokrasi Tersembunyi

Oleh: Daspriani Y. Zamzami

TAK perlu heran, jika partisipasi perempuan selaku politisi untuk ikut sebagai kontestan dalam pemilukada di Aceh April 2012 kemarin, ternyata sangat sedikit, bahkan mungkin lebih sedikit dari pemilu legislatif sebelumnya. Alasannya masih sama, kurang kuatnya dukungan terhadap calon-calon politisi perempuan, bahkan dari kaum perempuan itu sendiri, hingga rasa kurang percaya diri dan tidak diberi kepercayaan oleh pihak laki-laki.

Politik di antara kekuatan dan sedikit kelicikannya memang memberi apriori kepada kaum perempuan, termasuk perempuan di Aceh. Tak sanggup menjalankan demokrasi dengan hal-hal yang di luar kekuatan dan rasa kemanusiaan serta kejujuran, juga menjadi alasan ketidakmampuan atau bisa dikatakan ketidak setujuan kaum perempuan untuk bermain diranah politik. Namun demikian, jika ditilik lebih jauh kedalam, justru kiprah-kiprah demokrasi lebih banyak dilakukan perempuan dalam kesehariannya.

Hal yang paling kecil sangat terlihat bagaimana ketika para kaum peremuan ini kemudian berkumpul bersama disebuah kelompok pengajian atau kelompok “diskusi” harian di pedesaan. Di sana mereka biasa membahas suatu masalah dan kemudian mencari solusinya. Muncul menjadi pemimpin di rumah tangga manakala suami tak lagi mampu atau bahkan tidak ada lagi sama sekali, dilakukan langsung tanpa harus menunggu instruksi dari siapa pun. Kemudian memberi dan membagi tugas kepada anak-anak di rumah agar kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik, walau harus tertatih. Tugas-tugas memimpin seperti ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas kehidupan perempuan.

 Praktik demokrasi
Di sebuah desa di pelosok Kabupaten Aceh Selatan, saya juga menemukan ada banyak praktik demokrasi yang dilakukan kaum perempuan tidak hanya untuk kaumnya sendiri, bahkan untuk seluruh komponen masyarakat. Saya menemukan sosok Bunyani, perempuan muda yang aktif menjadi anggota tuha peut di desanya. Keberadaan Bunyani dalam kelompok tuha peut ini memberi angin segar dan kemudahan bagi masyarakat Desa Alay, Kecamatan Kluet Timur, Kabupaten Aceh Selatan, khususnya kaum perempuan. Dimana mereka merasa lebih nyaman menguraikan sesuatu yang menjadi masalah bagi mereka baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial lainnya.

Sosok lain yang pernah saya temui juga adalah sosok Raibah. Banyak hal yang kini digeluti Raibah di tengah warga, yang membangun spirit kebersamaan dan kebijaksanaan serta membangun jiwa kepemimpinan dilingkungan masyarakat didesanya. Antara lain, ia menjadi paralegal bagi warga desanya, sehingga setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan hukum, baik itu hukum adat maupun hukum positif. Masyarakat menjadi melek hukum. Raibah juga menjadi anggota Forum Pala sebuah organisasi petani pala ditempatnya, dan menjadi Ketua koperasi sukses di desanya, Desa Kemumu Hulu, Kecamatan Labuhan Haji Timur.

Kedua perempuan ini mulai berpikir, memajukan rakyat, menyamakan perlakuan didalam aktifitas mereka sebagai warga, serta memberi pendidikan yang lebih maju, adalah bagian dari demokrasi, tanpa harus berpolitik. Jadi politik tak sekadar urusan perburuan kekuasaan semata, tapi juga sebagai panggilan (perasaan) kemanusiaan. Persis pada titik inilah relevansi serta urgensi kebangkitan nalar kekuasaan perempuan Aceh ini.

Untuk itu para perempuan “perkasa” ini harus betul-betul melakukan persiapan yang matang dan sungguh-sungguh dalam me-manage aktifitas kesehariannya dala mengurus berbagai kebutuhan masyarakat sekitarnya, yang terkait dengan upaya penyelesaian persoalan mendasar masyarakat dan kepemimpinan. Makin majunya zaman, tentu semakin tinggi pula tantangan global yang harus dihadapi kaum perempuan.

Hal ini dibuktikan dengan mulai maraknya aktivitas perempuan, meski baru hanya tingkat gampong (desa). Adanya perempuan-perempuan pemegang jabatan sebagai tuha peut, kepala desa, bahkan camat, hingga aktifis pos yandu dan PKK, mulai membuka tirai kelamnya ruang demokrasi bagi perempuan di Aceh. Bahkan aktivitas musyawarah rencana aksi perempuan (Musrena), perempuan tidak lagi hanya menjadi obyek dari pembangunan, melainkan subyek dari pembangunan di kawasan tersebut. Kondisi ini tentunya memberi pencerahan terhadap perkembangan perempuan dan kekuatan demokrasi yang dimiliki oleh kaum hawa ini.

 Menanamkan kesadaran
Masrizal MA, seorang pengamat politik dan akademisi, dalam sebuah tulisannya menyatakan, tiga upaya yang bisa diberikan kepada perempuan dalam menghadapi tantangan global: Pertama, Upaya menanamkan kesadaran pada perempuan untuk menghargai dirinya sebelum dihargai orang lain. Hal ini bisa dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun informal. Melalui pendidikan dihadapkan perempuan memperoleh ilmu dan keteladanan. Sehingga dengan ilmu dan keteladanan itu, mereka bisa menggali dan menumbuhkembangkan potensi dirinya. Ketika potensinya berkembang maka akan melahirkan kemandirian;

Kedua, Upaya mengamalkan ajaran agamanya. Agama memberikan panduan kepada perempuan tentang bagaimana mereka mesti bersikap dalam mengarungi kehidupan ini. Melalui tuntunan ajaran agama para perempuan akan terselamatkan dari berbagai perbuatan yang tidak bernilai manfaat bahkan tercela. Perempuanpun bisa berkontribusi dalam kehidupannya secara seimbang di berbagai bidang kehidupan baik domestik maupun publik sesuai dengan tuntutan agama. Dengan tuntunan agama itulah perempuan akan terus bisa berkontribusi untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik;

Ketiga, meningkatkan kapasitas perempuan. Setelah para perempuan sadar akan kondisinya, dan mengamalkan ajaran agamanya, maka dalam hal ini pemerintah ataupun lembaga sosial perlu sejak dini meningkatkan kapasitas perempuan sesuai dengan hasil pemetaan sumberdaya yang telah dilakukan. Perempuan adalah aset bangsa yang diharapkan bisa menjadi pilar dalam memajukan bangsa. Ketika kapasitas mereka meningkat, Insya Allah kontribusinya juga akan semakin meningkat.

Keberhasilan perempuan menghadapi berbagai tantangan zaman ditandai dengan terhindarnya perempuan dari korban budaya, life style dan konsumeristik. Untuk itu, perlu terus didorong agar perempuan meningkatkan wawasan keilmuan. Perempuan pun harus mampu mempersiapkan generasi yang dapat merubah peradaban ini menjadi bermartabat. Suksesnya perempuan juga tidak terlepas adanya lingkungan yang kondusif, serta adanya keseimbangan dalam peran di sektor domestik dan publik yang memang keduanya penting.

Disadari atau tidak, inilah potensi yang tersembunyi, yang ternyata memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk suatu wilayah yang tangguh dan bermartabat. Sepertinya kita tidak perlu menunggu, untuk memunculkan kekuatan ini menjadi sebuah gelombang pembangunan yang luar biasa, untuk menuju masyarakat yang sejahtera dan daerah yang madani. Semoga!

* Daspriani Y. Zamzami, Jurnalis di Banda Aceh. Email: yayanz@gmail.com

Tulisan ini telah dipublikasikan dalam kolom OPINI Harian Serambi Indonesia,Rabu 17 Oktober 2012

Perempuan Aceh, Kekuatan Demokrasi Tersembunyi - Serambi Indonesia

Kampanye dan Komunikasi Politik

Oleh: Sahari Ganie

SAMPAI beberapa hari ke depan, seluruh lapisan masyarakat di Aceh akan menyaksikan satu prosesi penting tahapan pemilukada, yakni masa kampanye. Kegiatan komunikasi resipokral mutualis antara komunikator politik (juru kampanye) dan komunikan politik (calon pemilih).

Selama kampanye variabel komunikasi memainkan peran esensial dalam demokrasi. Batasan demokrasi pun banyak ditentukan oleh interaksi komunikasi politik. Komunikasi politik juga menentukan watak dan mutu demokrasi suatu masyarakat. Tingkat perkembangan demokrasi sangat banyak bergantung pada struktur dan ciri sistem komunikasi tersebut (Alwi Dahlan, 1999).

Futurlog ternama dunia Alvin Toffler, juga menyatakan di era abad kecanggihan teknologi informasi masa kini, pihak yang menguasai, mengendalikan informasi dan komunikasi akan dapat pula menguasai dan mengendalikan dunia. Pola hubungan tersebut berlangsung di tengah proses aktivitas demokrasi, dalam ruang lingkup suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya (Fagen, 1966).

Aktivitas komunikasi politik juga bertalian dengan proses peyampaian informasi politik, pesan-pesan politik, persuasi politik, dan sosialisasi politik, melalui medium orasi politik, simbol politik, perilaku politik, dan publikasi media massa. Dari deskripsi konsep-konsep komunikasi di atas, menempatkan kampanye sebagai faktor dan aset strategis setiap kandidat.

 Komunikasi politik cerdas
Pelaksanaan kampanye Pemilukada Aceh 2012 ini, hendaknya dapat ditumbuh-kembangkan komunikasi politik cerdas. Suatu komunikasi politik yang menuju pada pencerahan intelektual, dan pengayaan wawasan publik pemilih. Bukan komunikasi politik negatif yang bercorak pembodohan dan pembohongan publik pemilih, pola yang dulu lazim dipraktekkan para komunikator politik rezim Orde Baru, dengan pesan-pesan politik yang sarat nuansa agitasi, konfrontasi dan adu domba massa pemilih.

Dalam diskursus komunikasi politik, komunikator politik negatif dikenal dengan propagandis Machiavellis yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan tunggal yakni pemenangan kandidatnya semata. Sebaliknya, gaya komunikator politik cerdas bercirikan empati sosial dan fokus menjaga kohefitas masyarakat luas.

Seyogyanya para tim sukses setiap kandidat, dalam masa kampanye mengutus komunikator-komunikator politik profesional yang cerdas, berorientasi program, dan memiliki sensitifitas konflik. Bukan menerjunkan rombongan komunikator kelas “warung kopi jalanan”, yang

hanya bisa mengungkap sisi buruk dan fitnah politik sarkastik (black campaign) terhadap kandidat pesaing, sehingga memicu anarkisme massa yang bermuara pada konflik horizontal sesama pemilih.

Dalam konteks realitas sosial politik masyarakat Aceh, yang kini dalam masa transisi damai (transitional peace society), harus dicegah berkembangnya komunikasi negatif destruktif tersebut, karena membayakan stabilitas politik lokal dan dapat mengancam perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di Aceh.

Lembaga think tank pemilu bereputasi internasional IFES (the International Foundation for Electoral Systems), menyebutkan masa kampanye sebagai fase pemilu paling kritis karena sangat rawan konflik (IFES Report, 2007). Pada rentang waktu inilah, massa pemilih setiap hari dijejali dengan berbagai informasi yang kadangkala tidak akurat dan menyesatkan.

 Deklarasi kampanye damai
Kesepakatan para kandidat kepala daerah Aceh beberapa waktu lalu itu baru sebatas komitmen seremonial belaka, belum bisa menggaransi terciptanya pemilukada Aceh yang damai, jujur dan adil. Beberapa kasus teror, intimidasi dan pembakaran atribut maupun mobil tim sukses pascadeklarasi itu, memperkuat asumsi tersebut. Oleh karena itu, masih dibutuhkan satu tindakan lanjutan yang lebih konkret di lapangan.

Para pemangku (stakehoder) yang bertanggung jawab atas pemantauan setiap tahapan pelaksanaan kampanye, khususnya Panwaslu, dan Polri perlu lebih proaktif melakukan tindakan preventif terhadap pelaku kriminal tersebut. Termasuk juga pengawasan atas para juru kampanye yang berwatak machiavellis. Kelompok ini minim sensifitas konflik dan kepedulian pada penciptaan perdamaian di masyarakat. Ini berbahaya bagi kelompok bagi kategori pemilih akar rumput yang mayoritasnya irrational voter yang sikap politiknya lebih didorong faktor emosional, dibanding analisis politik rasional. Sehingga mudah sekali tersulut oleh isu-isu propaganda agitatif yang berpeluang konflik.

Pengalaman pemilu di beberapa wilayah bekas konflik, membuktikan pesta demokrasi banyak diwarnai kekerasan politik antar-pendukung kandidat. Kasus pemilu presiden Timor Leste 2007, contoh konkret yang mungkin relevan sebagai pembelajaran bagi pemilukada Aceh 2012. Pemilu di bekas koloni Portugal itu disertai konflik horizontal berdarah antara sesama mantan kombatan. Kelompok massa Fretilin dipimpin Mari Alkatiri yang mendukung capres Francisco Guterres bentrok dengan massa CNRT di bawah Xanana Gusmao yang mendukung capres Ramos Horta.

Sebagian kalangan di dalam maupun di luar Aceh berkeyakinan pemilukada kedua Aceh ini akan berlangsung aman dan damai. Pandangan optimis ini mengacu pada Pilkada 2006 yang berlangsung relatif aman dan minim kekerasan. Namun jika melihat situasi dan kondisi politik Aceh dewasa ini, pandangan tersebut masih perlu dieksplorasi lebih lanjut. Konstruksi politik lokal Aceh hari ini sudah berubah drastis, dan sangat kontras dengan situasi Pilkada Aceh 2006.

Dinamika politik lokal saat itu cukup kondusif, diliputi suasana euforia damai hasil MoU Helsinki. Relasi politik internal GAM pun sangat interaktif, solid dan kohesif. Seluruh aspirasi politik GAM bernaung di bawah payung politik tunggal KPA. Namun disain peta politik Aceh pada 2012 ini yang sudah terbelah dua akibat rivalitas kepentingan elite yang dibayangi potensi kekerasan. Jika dibahasakan dalam konteks kearifan lokal, periode 2006 bisa disebut sebagai fase sapeu pakat (konvergensi), sedangkan periode 2012 adalah fase laen keunira (divergensi).

Pada aras inilah kampanye berbasis komunikasi politik cerdas menjadi signifikan dan urgen dioperasionalkan secara efektif dalam Pemilukada Aceh kali ini. Memberi ruang edukasi, aspirasi dan partisipatif, yang mencerdaskan dan memperkaya pengetahuan pemilih. Segala potensi konflik horizontal sesama aneuk nanggroe selama kampanye pun dapat dihindarkan. Sehingga harapan Pemilukada Aceh kali ini akan berlangsung dalam kedamaian dan harmoni demokrasi serta jalinan persahabatan sesama partisipan, bukanlah sekadar mimpi politik belaka.

* Sahari Ganie, Senior eksekutif Pintoe Komunika, Communications Consulting/Dosen luar biasa FISIP Unsyiah.

Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh Harian Serambi Indonesia, pada Kamis 29 Maret 2012
Kampanye dan Komunikasi Politik - Serambi Indonesia

 
Positive SSL