Oleh Munawar A. Djalil ---
SEJAK deklarasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh, 12 tahun lalu, telah banyak membawa hasil positif bagi masyarakat luas, tentunya bagi orang-orang yang paham akan indahnya syariat Islam. Namun bagi orang yang tidak mengerti substansi syariat, hal ini akan menjadi momok yang menakutkan bahkan bertendensi paranoid. Supaya masyarakat semua paham akan indahnya Dinul Islam, Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Syariat Islam secara kontinyu telah melakukan sosialisasi nilai-nilai syariat yang humanis kepada masyarakat. Namun usaha kreatif ini tidak maksimal tanpa dukungan dan sinergis dari semua pihak di Aceh, di antaranya media, ormas Islam dan seluruh stakeholders.
Media adalah satu komponen penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, termasuk dalam konteks sosialisasi pelaksanaan syariat Islam ini di Aceh. Sebagai penyampai informasi media sangat berkorelasi dengan misi Dinas Syariat Islam. Media menjadi sangat penting karena selama ini salah satu faktor kendala penegakan Syariat Aceh karena belum sampainya informasi syariat secara komprehensif kepada masyarkat. Satu fungsi yang harus dimainkan oleh media dalam kontek ini adalah fungsi transmisi nilai. Media harus menggambarkan nilai Islam dan kondisi ril yang ada dalam masyarakat, bukan malah mempopulerkan nilai-nilai yang bertentangan dengan semangat/spirit syariat Islam di Aceh.
Mazhab ‘developmentalis’
Dalam sejarah perkembangan media kita pernah mengenal mazhab developmentalis, di mana media selalu membantu kinerja Pemerintah dalam program-program pembangunan. Hal ini pernah diterapkan di Malaysia, khususnya pada era PM Mahathir Mohammad. Kemajuan Malaysia hari ini tidak terlepas dari peran media dalam mensosialisasikan program Pemerintah, misalnya sosialisasi budaya antre, etika dalam berlalulintas, hidup bersih dan beberapa kebiasaan masyarakat lainnya menjadi arah pemberitaan media yang pada gilirannya mampu mengubah karakteristik masyarakat Malaysia.
Selain media, elemen terpenting lainnya yang harus bersinergi adalah ormas Islam. Ormas Islam merupakan pihak yang terdekat interaksinya dengan masyarakat. Karenanya keberadaan ormas Islam sangat strategis untuk menyamakan pemahaman tentang syariat dalam masyarakat Aceh. Secara umum ormas Islam di Aceh begitu getol memperjuangkan penegakkan Syariat di Aceh, melawan anasir-anasir negatif tentang syariat terkait adanya gerakan untuk melemahkan gerakan syariat di Aceh. Gerakan mereka sangat sistemik dengan menggunakan media sosial seperi facebook, twitter, dan lain-lain. Kelompok penebar anasir negatif syariat ini sangat serius mengadakan diskusi terkait pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang rata-rata kapasitas wawasan keislaman mereka masih diragukan. Hasil diskusi mereka yang bias itu kemudian dikutip berbagai media nasional dan luar negeri dengan format pemberitaan yang sangat beragam terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Sebagai langkah antisipasi terhadap kelompok tersebut, ormas Islam dan pemerintah harus bersinergi dalam memperkuat akses dan mewarnai media massa dan media sosial dengan persepsi positif terhadap Islam.
Untuk maksud tersebut yang perlu dilakukan segera adalah mengevaluasi kerja-kerja yang pernah dilakukan oleh ormas Islam. Evaluasi ini sangat penting agar ormas Islam tidak terjebak pada sikap ghurur (lupa diri) dengan menganggap dirinya telah banyak berbuat, berkarya atau sikap-sikap lainnya yang membahayakan bagi umat Islam itu sendiri. Kemudian, self correction (koreksi diri), seperti kata Umar bin Khattab: “Hitunglah diri kalian, sebelum kalian dihitung, dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum kalian ditimbang.” Maka hendaklah kalangan ormas Islam selalu mengadakan self correction pada dirinya, untuk mengevaluasi gerak-geriknya selama ini dan meluruskannya jika terdapat penyelewangan dan bersedia menerima kritikan meskipun pahit.
Kehadiran Ormas Islam sesungguhnya bukan milik kelompoknya sendiri, tetapi ia juga milik Islam seluruhnya, juga milik generasi Islam yang akan datang, maka menjadi haknya juga untuk mengetahui letak kekuatan dan kelemahannya, untuk dijadikan sebagai pelajaran. Ketiga, menghindari perpecahan, karena selama ini yang masih melekat pada ormas Islam adalah perpecahan dan perselisihan. Penyakit ini memang kerap lekat dengan ormas. Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi konflik, mempermasalahkan hal-hal yang tidak prinsip, yang tentu sangat rentan untuk memunculkan perpecahan dan perselisihan. Namun demikian, untuk syariat Islam di Aceh ormas Islam telah banyak berbuat, malah kontribusi yang telah diberikan oleh ormas Islam untuk umat dan umat manusia tidak bisa dipandang sebelah mata begitu saja. Meskipun ormas Islam kadang-kadang bekerja di bawah naungan situasi dan keadaan yang sulit, namun tidak seorang pun yang bisa menyangkal derma bakti yang telah diberikan oleh ormas Islam. Ingat, tidak seorang pun pengamat yang adil yang dapat mengatakan bahwa peran ormas Islam dalam penegakkan syariat Islam telah membeku dan mengalami ketuaan.
‘Grand design’ syariat
Dinas Syariat Islam Aceh telah menggagas grand design Syariat Islam Aceh, seperti disampaikan Prof Dr Syahrizal Abbas (Kadis Syariat Islam Aceh) pada “Rakor Palaksanaan Dinul Islam” di Banda Aceh, pada 10-11 Juni 2013 lalu. Hemat saya, untuk merumuskan frame (kerangka) grand design ini saja perlu waktu tiga sampai lima tahun, sebab harus melibatkan semua stakeholder di Aceh. Karenanya perlu merumuskan beberapa kerangka prioritas untuk jangka waktu 3-5 tahun ke depan: Pertama, mendesain hukum publik yang mempuni dan apik seperti hukum muamalah, ekonomi syariah, termasuk hukum jinayah dan lainnya; Kedua, tata kelola pemerintahan yang islami, pelayanan birokrasi yang bersyariat; Ketiga, menata pendidikan yang islami baik dari aspek kurikulum maupun lingkungan pendidikan, dan; Keempat, menginternalisasikan hukum adat dalam bingkai syariat.
Saya rasa itulah kerangka prioritas yang harus dirumuskan terlebih dulu, sebab jangan sampai kata pepatah “maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Grand design ini sebagai peta jalan (road map) pengimplementasian syariat Islam di Aceh. Peta jalan tersebut dapat membangun masyarakat Islam Aceh dalam menentukan tahapan-tahapan pelaksanaan syariat, sehingga jelas aspek apa dari kehidupan masyarakat Aceh yang diperlukan saat ini dan masa depan. Ketiadaan peta jalan ini telah menyebabkan kegalauan masyarakat termasuk pemerintah dalam menjawab berbagai persoalan masyarakat dengan solusi syariat. Sehingga di beberapa daerah kabupaten/kota di Aceh telah bertindak sporadis dalam mencari solusi syariat.
Kita harapkan berbagai kegalauan itu akan terobati dengan lahirnya grand design sebagai pedoman bagi seluruh stakeholder Aceh dalam merancang program pembangunan yang berbasis syariat Islam. Seluruh Dinas, Badan dan Instansi terkait lainnya harus membuat program jangka pendek, menengah dan jangka panjang dalam bidang-bidang pembangunan berbasis syariah. Semua pihak harus bersinergi dan membangun komitmen bersama dalam rangka memberikan penguatan kepada masyarakat dan kelembagaan guna mendukung pelaksanaan syariat Islam ini di Aceh. Allahu a’lam.
* Dr. Munawar A. Djalil, MA, Pegiat Dakwah, dan Kabid. Bina Hukum pada Dinas Syariat Islam Aceh. Email: aburiszatih@yahoo.co.id
Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/09/05/membangun-sinergi-pelaksanaan-syariat