MEUNASAH DAN KETAHANAN MASYARAKAT GAMPONG (Kajian Kritis Terhadap Power of Local Wisdom)

MEUNASAH DAN KETAHANAN MASYARAKAT GAMPONG (Kajian Kritis Terhadap Power of Local Wisdom)
By: Sabirin

Abstact

PARADIGMA SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN PIDANA DI INDONESIA

PARADIGMA SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN PIDANA DI INDONESIA
By: Amrullah

Abstact

KELEMBAGAAN WILAYAT AL-HISBAH DALAM KONTEKS PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI PROVINSI ACEH

KELEMBAGAAN WILAYAT AL-HISBAH DALAM KONTEKS PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI PROVINSI ACEH
By: Muhibbuthabry

Abstact

PARADIGMA HOLISME HEGELIAN DAN KRITIK ATAS LIBERALISME

PARADIGMA HOLISME HEGELIAN DAN KRITIK ATAS LIBERALISME
By: Otto Gusti Madung

Abstact

THE RITUAL OF MARRIAGE (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh), Indonesia

THE RITUAL OF MARRIAGE (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh), Indonesia
By: Abdul Manan

Abstact

AMERICANIZING ISLAM AS THE PRICE OF ASSIMILATION (Disentangling Religion and Culture)

AMERICANIZING ISLAM AS THE PRICE OF ASSIMILATION (Disentangling Religion and Culture)
By: John H. Morgan

Abstact

Bandit Politik

Oleh Teuku Kemal Fasya - - - 

SEORANG profesor ilmu politik Universitas Airlangga beberapa waktu lalu mengirimkan tulisan kepada saya tentang wacana bandit atau banditisme. Tulisan yang ditulis Richard W Slatta, dosen North Carolina State University, Bandits and Social Rural History (1991), mengambarkan bagaimana sesungguhnya peran bandit dalam politik. Dalam komunitas masyarakat pedesaan di Amerika Latin, bandit bukanlah sebuah anomali sosial. Ia dianggap referensi, entitas, atau sistem nilai utama dalam politik.
Secara tidak langsung sang profesor ingin mengajak saya melakukan kontekstualisasi dan asosiasi atas kejadian yang secara referensial telah diteliti di wilayah lain, agar dapat dicari titik temu pada konteks kini dan di sini. Ia tahu bahwa Aceh memiliki permasalahan yang mirip dengan pesan jurnal itu.
Dalam tulisan itu, Slatta menyoal kembali kajian perbanditan politik (political banditry) yang sebelumnya telah menjadi bacaan kanon, terutama melalui karya Gilbert M Joseph sejarawan Yale University dan Eric Hobsbawm sejarawan lulusan Cambridge University keturunan Yahudi-Inggris yang lahir di Mesir. Slatta mengambarkan peran bandit tidak hanya di kalangan elite kekuasaan, tapi juga di akar rumput (terutama masyarakat pedesaan). Dalam sejarahnya, bandit telah tumbuh dalam konteks yang tidak berjarak dengan komunitas normal sosial-politik-ekonomi.
Peran bandit kerap menjadi juru selamat, karena secara historis mereka turut membantu rakyat melawan kekuasaan penindas di era kolonial. Di Amerika Serikat dikenal Cowboy: kelompok yang terlibat tidak resmi dalam perang kemerdekaan. Di Balkan disebut Hajduk: para preman yang kerjanya merampok para pelancong musiman, tapi ikut terlibat perang melawan dinasti Ottoman. Di Melaka ada pendekar Bugis yang bekerja sebagai centeng perusahaan Portugis yang ikut membantu serdadu Iberia melawan Kerajaan Aceh yang hendak melakukan aneksasi. Di Meksiko dan Peru dinamakan Los Bandidos. Meskipun tidak pernah taat hukum negara dan agama, mereka kerap ditahbis sebagai utusan Tuhan yang menyelamatkan rakyat miskin.
 Saling tergantung
Situasi tersebut akhirnya membentuk sistem saling tergantung. Dari penelitian itu tergambarkan peran bandit masih penting meski jaman perang telah usai. Para bandit tetap menjadi komunitas dan identitas sosial-politik yang lahir turun-temurun. Mereka bukan penyakit sosial, tapi obat sosial. Bagi masyarakat pedesaan peran bandit hadir kala masyarakat memerlukan “advokasi” nonhukum.
Di sisi lain para bandit juga memerlukan masyarakat, terutama legitimasi politik dan perluasaan kekuasaan ekonomi. Di kalangan elite, hubungan bandit dengan pemerintah daerah tidak bisa dianggap remeh. Ada banyak peran melawan hukum yang tidak mungkin dilakukan pemerintah dan senator, tapi bisa dilakukan para bandit.
Apa yang terjadi di dalam konteks kecurangan pemilu saat ini tidak bisa disebut perilaku alamiah bahwa ini semata penyakit aktor atau organisasi politik, antara partisipan dan penyelenggara pemilu, dan di tengah-tengahnya ada masyarakat yang semakin rusak oleh politik jual-beli suara. Kalau kekacauan Pemilu 9 April 2014 hanya dianggap kekeliruan sistem dan perilaku kompleks para penyelenggara, maka akan “normatif”, bahkan terkesan naif.
Analisis seperti itu akan gagal masuk lebih dalam ke mata air masalah, yaitu politik perbanditan. Jika secara historis, peran para bandit bersifat asistensi dan subordonasi (ketika berelasi dengan elite), tapi dalam konteks pemilu, terkhusus buruknya kualitas elektoralisme pemilu di Aceh, peran para bandit telah bermutasi dan bertransformasi ke dalam genetika baru yang harus diperhatikan sungguh-sungguh interaksi dan relasinya.
Mereka bukan figuran, pemain pembantu atau bahkan pemain utama. Merekalah sutradara sebenarnya (kalau pakai judul lagu Metallica, The Master of Puppets). Mereka menggerakkan politik seperti simulacra: main-main semata. Kekuasaan disimulasikan secara kompleks, baik dengan pengaruh “ideologi”, menyuplai logistik (atau sebagai distributor), menyebar pasukan maurechausee itam yang menakut-takuti bahkan hingga ruang domestik, termasuk menggunakan tangan-tangan “pejabat berwenang”, yaitu para penyelenggara pemilu untuk “bersikap layak” menetapkan siapa yang harus menang dan kalah.
Momentum pemilu seperti aerobika tubuh untuk semakin menggeliatkan nafsu libidinal terdasar: kekuasaan tanpa batas. Politik yang seharusnya realistis, menjadi hiperreal dengan imajinasi Freudian yang tidak lagi berhubungan dengan kebaikan sosial, tapi sakit kambuh untuk memacu syahwat kekuasaan tanpa norma dan etika. Tidak ada demokrasi, yang ada hanya oligarkhi. Menjadi senator tidak lagi diperlukan intelejensia dan kapasitas dalam menangani masalah-masalah publik. Cukup jadi pion dengan peran populisme palsu yang sama sekali tidak dekat dengan nafas rakyat dan pembangunan.
 Arus kecurangan
Agak absurd jika hanya menersangkakan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan menjadi “kambing paling hitam” atas arus kecurangan ini. Mungkin di antara pembaca budiman pernah berpikir, atau mendengar rumor, atau sekadar berimajinasi liar di tengah kekacauan pemilu kali ini, kisah komisioner yang ketakutan dan harus melaporkan ke sang “bos bandit” terkait perkembangan suara pemilihan.
Itu bukan fiksi, karena saya mendapatkan sumber informasi dari tangan pertama. Sang Don meminta agar jatah kursi bagi senator-senatornya berada di posisi aman. Itu hanya satu kasus di sebuah kabupaten yang saya dengar langsung. Belum lagi kasus-kasus tersembunyi lainnya, baik tingkat kabupaten/kota atau provinsi.
Di sisi lain kita juga harus melihat konstruksi KIP yang contradictio in adjecto. KIP sudah bermasalah sejak sifat penamaan dan hubungan dengan proses seleksinya. Bagaimana bisa disebut independen jika pemilihannya dilakukan oleh parlemen Aceh (DPRA/K), padahal di sisi lain seluruh lembaga penyelenggara daerah dipilih oleh lembaga penyelenggara lebih tinggi dengan parameter intelektual, manajerial, integritas, dan teknis kepemiluan. Pasti terbangun politik kontrak dan patron.
Padahal daerah khusus seperti Papua, Yogyakarta, dan Jakarta, seleksi komisi pemilihannya memakai mekanisme seragam dengan daerah lain. Salah satu upaya memperbaiki kualitas pemilu adalah memperbaiki kualitas institusi penyelenggara dengan mengubah regulasi (judicial review) yang terlalu politis di dalam UU No.11/2006 itu agar lebih bernalar dan beretik demokrasi.
Seperti kisah fiksi, Godfather (1972), di nanggroe ini juga ada Don Vito Corleone, Don Tattaglia, dan Don Barzini yang bisa mengubah arah politik secepat kembali ke kamar kecil. Kita disuguhi realitas di perbatasan: antara fakta dan fiksi, seseorang yang sudah berminggu-minggu berada di posisi tidak aman, eh, dalam waktu seketika bisa melonjak suaranya dan nyaman melenggang ke parlemen.
Kisah bandit politik itu benar adanya!
* Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh (Unimal), Lhokseumawe. Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/04/28/bandit-politik#

Call for Paper

Jurnal Ilmiah PEURADEUN (JIP) merupakan Media Kajian Sosial, Politik, Hukum, Agama dan Budaya, hadir dengan berbagai tulisan dan pemikiran, hasil riset dan pemikiran dari para intelektual-intelektual untuk memberikan kontribusi nyata terhadap masyarakat. JIP diterbitkan oleh SCAD Independent, yang terbit berdasarkan SK PDII-LIPI dengan ISSN: 2338-8617. Terbit setiap 4 bulan (3 Kali dalam Setahun) Januari, Mei dan September.
Dan Alhamdulillah sejak Maret 2014 JIP sudah menjadi salah satu Jurnal International yang terdaftar dan terindek oleh INDEK COPERNICUS INTERNATIONAL, juga terindek dalam Index Scientists Copernicus, terdaftar di Copernicus Office, Member of ORCHID dan CASPA, dengan No. Reg: 0000-0001-8492-315X. ( http://orcid.org/0000-0001-8492-315X ). Selain itu, JIP telah terindek dalam Open Academic Journals Index (OAJI) International ( http://oaji.net/journal-detail.html?number=745 ). 
Bagi anda yang mempunyai Artikel dalam bentuk jurnal, hasil penelitian dan lain sebagainya, dan ingin dipublikasikan dalam JIP, anda bisa menghubungi langsung Redaksi JIP. 
Hp. 085260010997 E-mail: scad_independent@ymail.com
Tulisan yang diterima sesuai dengan ketentuan penulisan yang berlaku dalam Jurnal Ilmiah PEURADEUN dan akan direview sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam JIP.

Pengajaran Ideal dalam Pendidikan Islam

Pengajaran Ideal dalam Pendidikan Islam
Nuruzzahri
Abstract

Metode Tabsyir dalam Pendidikan Islam dan Urgensinya dalam Pendidikan Modern

Metode Tabsyir dalam Pendidikan Islam dan Urgensinya dalam Pendidikan Modern
By: Rahimi

Abstract

Peran Kerabat dalam Pendidikan Akhlak Anak

Peran Kerabat dalam Pendidikan Akhlak Anak
By: Iin Meriza

Abstract

Kurikulum Pendidikan Islam dalam Perspektif Tokoh Pendidikan Islam

Kurikulum Pendidikan Islam dalam Perspektif Tokoh Pendidikan Islam
By: Fauzan

Abstract

Arena Produksi Kultural dan Kekerasan Simbolik

Arena Produksi Kultural dan Kekerasan Simbolik
By: Syahril

Abstract

Penyusunan Program Supervisi Pendidikan pada Madrasah Kabupaten Nagan Raya

Penyusunan Program Supervisi Pendidikan pada Madrasah Kabupaten Nagan Raya
By: Junias Zulfahmi

Abstract

طريقة تدريس النصوص الأدبية المثالية في إندونيسيا

طريقة تدريس النصوص الأدبية المثالية في إندونيسيا
By: Fahrurrazi

Abstract

Meningkatkan Hasil Belajar PKN Pada Materi Pengambilan Keputusan Bersama Melalui Metode Bermain Peran

Meningkatkan Hasil Belajar PKN Pada Materi Pengambilan Keputusan Bersama Melalui Metode Bermain Peran
By: Anwar

Abstract

Kedudukan Wali Nanggroe di Aceh

Kedudukan Wali Nanggroe di Aceh
By: Baihaqi

Abstract

Fungsi Koordinasi Dinas Sosial Terhadap Kecamatan dalam Penanggulangan Kemiskinan di Aceh

Fungsi Koordinasi Dinas Sosial Terhadap Kecamatan dalam Penanggulangan Kemiskinan di Aceh
By: Sri Dwi Friwarti
Abstract

Pancasila dan Syariat Islam Sebagai Asas Pembentukan Qanun di Aceh

Pancasila dan Syariat Islam Sebagai Asas Pembentukan Qanun di Aceh
By: Delfi Suganda

Abstract
Pancasila as the state has to make sense of Pancasila as the basis for a set of governance. Aceh Qanun Laws and regulations are similar provincial regulations governing the administration of government and the Acehnese people. Aceh Qanun made based on laws and regulations that apply are compiled by the executive and legislature of Aceh. The position of Pancasila as the foundation of philosophy in Aceh Qanun is a legal norm in society aspired. Qanun can be used as the collective desire of the people of Aceh in carrying out day-to- day life, the Qanun expected through the implementation of the Acehnese people can feel the law is aspired for this. The implementation of Shari'a is a requirement of the Acehnese, and recognized by the State through Law No. 18 of 2001 on Special Autonomy and Law No. 11 Year 2006 on the Governing of Aceh. Applications of Shari’a in Aceh are in accordance with the first paragraph of the Pancasila as the practice of the precepts to five “justice for all Indonesian people" in this case of justice for the people of Aceh who want the implementation of Islamic Shari'ah in Aceh province.

View Full Text

Menggugat Peran IAIN dalam Penegakan Syariat

Oleh: Safaruddin - - -
      
SATU keistimewaan Aceh adalah syariat Islam. Oleh karenanya, perundang-undangan tentang syariat Islam harus disusun dan kemudian diimplementasikan. Sesuai konstitusi, semua pihak di Aceh wajib mendukung dan membantu penegakan syariat Islam. Khusus kepada instansi-instansi terkait yang berplat merah, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD), dan IAIN Ar-Raniry, harus berdiri di garda depan dalam penegakannya. Dengan upaya ini, diharapkan pelaksanaan syariat Islam akan mudah dibumikan dan berwibawa.

Baru-baru ini di Langsa terjadi perlawan terhadap upaya penegakan Syariat Islam, dan ini adalah perlawanan yang kedua kali terjadi disana. Kejadian pertama, pada September 2012 lalu, sejumlah orang yang mengaku aktivis demokrasi, HAM dan perkumpulan jurnalis menuduh aparat Dinas Syariat Islam (DSI) Kota Langsa sebagai penyebab PE (16) bunuh diri. PE ditangkap Senin (3/9/2012) dini hari di Lapangan Merdeka Kota Langsa (Prohaba, 4/9/2012). Tapi banyak pihak meragukan PE telah bunuh diri. Sayang, kasus ini tidak diusut tuntas dan tidak diketahui sebab-musabab PE “bunuh diri”. Sekumpulan wartawan “profesional dan independen” yang sempat “memvonis” PE bunuh diri karena tuduhan sebagai pelacur pun akhirnya mencabut “vonisnya” itu. Duh! Kejadian kedua, dari Langsa kembali terjadi pemukulan dan pengeroyokan Kepala DSI dan aparat WH pada Minggu malam (25/8/2013), karena berupaya membubarkan pesta pertunjukan keyboard yang menampilkan biduanita berpakaian seksi disertai pesta minuman keras di Desa Karanganyar. Berbagai reaksi muncul menyikapi tindakan pengeroyokan itu. Ormas-ormas Islam, KPA, kalangan dayah, MPU, TPM dan mahasiswa mengecam tindakan penghinaan terhadap syariat Islam itu (Serambi, 27-31/8/2013).

 Menanti Tri Dharma IAIN
Kecaman-kecaman di atas rata-rata hanya pada tataran kecaman, tidak ada yang bersifat mengikat dan menjerat pelaku dengan sejumlah sanksi nyata, apalagi mencari sebab-musabab perlawanan disertai rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang. Di sinilah seharusnya IAIN Ar-Raniry memainkan perannya selaku jantong hate rakyat Aceh. Kita patut menyesali tidak adanya peran dari IAIN Ar-Raniry dalam upaya membela dan membantu tegaknya syariat Islam di Aceh. Dari kalangan IAIN hanya muncul sebuah statemen normatif, dan itu bukan dari orang nomor satu IAIN, melainkan dari Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr Syamsul Rijal. Padahal, keterlibatan IAIN secara lebih jauh dan lebih nyata dalam menegakkan syariat Islam sangat dinantikan. Rektor IAIN tidak boleh berdiam diri melihat berbagai perlawanan terhadap syariat Islam. Sejatinya Rektor IAIN mampu menerjemahkan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam wujud nyata kepada rakyat.

Ada tiga aspek Tri Dharma yang dapat dimainkan IAIN Ar-Raniry dalam membantu penegakan syariat Islam di Aceh: Pertama, petinggi IAIN harus memainkan peran penelitian secara komprehensif soal syariat Islam, mulai dari konsepsi, sosiologi hingga pola penerapannya (aspek penelitian); Kedua, petinggi IAIN harus menawarkan dan menjalankan konsep pendidikan berbasis syariat Islam kepada masyarakat (aspek pendidikan), dan; Ketiga, petinggi IAIN perlu melakukan pengabdian dan pembinaan kepada masyarakat terutama di wilayah-wilayah “dangkal akidah” (aspek pengabdian). Dengan demikian, visi Tri Dharma PT menjadi nyata, bukan hanya hayalan.

 Kampus sebagai teladan
Ada kesan, petinggi kampus kerap mengejar kepentingan pribadi dan kelompok, laksana politisi di luar sana. Padahal prinsip ini harus dihilangkan, karena kampus sejatinya menjadi teladan bagi umat dalam semua aspek kehidupan. Kita masih ingat bagaimana kasus penyelewengan dana Yayasan Tarbiyah yang bersumber dari Badan Rehabilisasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang sempat menyeret nama Prof FW yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.

Kita juga masih ingat bagaimana suksesi Rektor IAIN beberapa waktu lalu yang terkesan penuh sandiwara melalui ajang intat linto (Lihat Muhibuddin Hanafiah, Ar-Raniry, Tanpa Warna dan Dinamika - Serambi, 14/3/2013). Lain IAIN, lain pula Unsyiah. Unsyiah ditengarai membangkang terhadap keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan Prof Darni Daud sebagai rektor sah. Keputusan PTUN ini tidak dieksekusi dan Prof Darni harus urut dada. Begitulah dunia kampus yang tidak lagi menjadi panutan.
IAIN Ar-Raniry dalam beberapa tahun terakhir tampak ‘linglung’ dalam mencari identitas. Rektor IAIN dikabarkan hendak menghapus IAIN di Aceh dan menggantinya dengan Universitas Islam Negeri (UIN). Ini ibarat bue drop daruet (agama kabur, umum remang-remang). IAIN belum mampu memberi kontribusi nyata dalam membangun peradaban Islam, tapi pada sisi lain IAIN hendak mengambil kavling tetangga dengan membuka fakultas umum. IAIN diyakini tak sanggup mengejar Unsyiah dalam bidang umum yang sudah lebih siap dari aspek infrastruktur dan SDM. Unsyiah terus melaju dengan kajian umum, sementara IAIN mencoba mengekor dan itu tidak akan terkejar. Begitulah ketika sebuah terobosan dilakukan tanpa perencanaan dan hanya mengedepankan ambisi.

Sebagai wujud cinta pada IAIN Ar-Raniry, saya secara khusus mengunjungi kampus IAIN pada Jumat (30/8/2013) pagi. Selain ingin memperkaya wawasan keislaman, saya hendak mengajak kerjasama untuk membangkitkan keterampilan mahasiswa, khususnya Fakultas Syariah, melalui berbagai kegiatan keterampilan hukum yang mungkin dapat didanai oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Tanpa sengaja, sepulang dari sana, saya melihat sebuah papan pengumuman tentang frekuensi kehadiran dosen yang ditempel dekat mesin finger print.

Betapa mengagetkan, di sana terpampang nama-nama dosen/pegawai yang sangat sedikit kehadirannya ke kampus, bahkan banyak yang tidak hadir sama sekali (nol). Dalam laporan yang ditandatangani oleh Kabid Laporan dan Evaluasi IAIN Ar-Raniry itu, sangat sedikit dosen yang hadir secara penuh. Duh, ini sebuah gejala tidak baik dan bahaya bagi kampus. Rektor IAIN dapat dinilai gagal dan berapor merah dalam memenej kampus karena banyak dosen yang bolos. Orang tua mahasiswa di seluruh Aceh tentu kecewa kalau mengetahui laporan banyak dosen bolos di IAIN Ar-Raniry.

 Membenahi kampus
Akhirnya, kita berharap IAIN Ar-Raniry yang dipimpin Prof Dr Farid Wajdi membenahi kampus untuk kemudian melaksanakan berbagai kegiatan cerdas dan tepat dalam membina umat sehingga perlawanan terhadap syariat Islam dapat diminimalisir, bahkan dihapuskan. Kasus-kasus pembangkangan terhadap syariat Islam seperti yang terjadi di Langsa mesti menjadi fokus kajian Lembaga Studi Sosial di IAIN dan kemudian melakukan aksi nyata di lapangan. IAIN harus berbuat sesuai prinsip Tri Dharma PT, tidak cukup hanya dengan berkoar-koar sambil mencaci-maki di atas mimbar Jumat. Dengan begitu Rektor IAIN akan dijuluki sebagai penyelamat jantong hate, bukan penghancur hate poma. Semoga!

* Safaruddin, S.H, Ketua Tim Pembela Muslim (TPM) Aceh. Email: nyaktafar@yahoo.com

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/09/05/menggugat-peran-iain-dalam-penegakan-syariat

 
Positive SSL