Menggugat Peran IAIN dalam Penegakan Syariat

Oleh: Safaruddin - - -
      
SATU keistimewaan Aceh adalah syariat Islam. Oleh karenanya, perundang-undangan tentang syariat Islam harus disusun dan kemudian diimplementasikan. Sesuai konstitusi, semua pihak di Aceh wajib mendukung dan membantu penegakan syariat Islam. Khusus kepada instansi-instansi terkait yang berplat merah, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD), dan IAIN Ar-Raniry, harus berdiri di garda depan dalam penegakannya. Dengan upaya ini, diharapkan pelaksanaan syariat Islam akan mudah dibumikan dan berwibawa.

Baru-baru ini di Langsa terjadi perlawan terhadap upaya penegakan Syariat Islam, dan ini adalah perlawanan yang kedua kali terjadi disana. Kejadian pertama, pada September 2012 lalu, sejumlah orang yang mengaku aktivis demokrasi, HAM dan perkumpulan jurnalis menuduh aparat Dinas Syariat Islam (DSI) Kota Langsa sebagai penyebab PE (16) bunuh diri. PE ditangkap Senin (3/9/2012) dini hari di Lapangan Merdeka Kota Langsa (Prohaba, 4/9/2012). Tapi banyak pihak meragukan PE telah bunuh diri. Sayang, kasus ini tidak diusut tuntas dan tidak diketahui sebab-musabab PE “bunuh diri”. Sekumpulan wartawan “profesional dan independen” yang sempat “memvonis” PE bunuh diri karena tuduhan sebagai pelacur pun akhirnya mencabut “vonisnya” itu. Duh! Kejadian kedua, dari Langsa kembali terjadi pemukulan dan pengeroyokan Kepala DSI dan aparat WH pada Minggu malam (25/8/2013), karena berupaya membubarkan pesta pertunjukan keyboard yang menampilkan biduanita berpakaian seksi disertai pesta minuman keras di Desa Karanganyar. Berbagai reaksi muncul menyikapi tindakan pengeroyokan itu. Ormas-ormas Islam, KPA, kalangan dayah, MPU, TPM dan mahasiswa mengecam tindakan penghinaan terhadap syariat Islam itu (Serambi, 27-31/8/2013).

 Menanti Tri Dharma IAIN
Kecaman-kecaman di atas rata-rata hanya pada tataran kecaman, tidak ada yang bersifat mengikat dan menjerat pelaku dengan sejumlah sanksi nyata, apalagi mencari sebab-musabab perlawanan disertai rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang. Di sinilah seharusnya IAIN Ar-Raniry memainkan perannya selaku jantong hate rakyat Aceh. Kita patut menyesali tidak adanya peran dari IAIN Ar-Raniry dalam upaya membela dan membantu tegaknya syariat Islam di Aceh. Dari kalangan IAIN hanya muncul sebuah statemen normatif, dan itu bukan dari orang nomor satu IAIN, melainkan dari Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr Syamsul Rijal. Padahal, keterlibatan IAIN secara lebih jauh dan lebih nyata dalam menegakkan syariat Islam sangat dinantikan. Rektor IAIN tidak boleh berdiam diri melihat berbagai perlawanan terhadap syariat Islam. Sejatinya Rektor IAIN mampu menerjemahkan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam wujud nyata kepada rakyat.

Ada tiga aspek Tri Dharma yang dapat dimainkan IAIN Ar-Raniry dalam membantu penegakan syariat Islam di Aceh: Pertama, petinggi IAIN harus memainkan peran penelitian secara komprehensif soal syariat Islam, mulai dari konsepsi, sosiologi hingga pola penerapannya (aspek penelitian); Kedua, petinggi IAIN harus menawarkan dan menjalankan konsep pendidikan berbasis syariat Islam kepada masyarakat (aspek pendidikan), dan; Ketiga, petinggi IAIN perlu melakukan pengabdian dan pembinaan kepada masyarakat terutama di wilayah-wilayah “dangkal akidah” (aspek pengabdian). Dengan demikian, visi Tri Dharma PT menjadi nyata, bukan hanya hayalan.

 Kampus sebagai teladan
Ada kesan, petinggi kampus kerap mengejar kepentingan pribadi dan kelompok, laksana politisi di luar sana. Padahal prinsip ini harus dihilangkan, karena kampus sejatinya menjadi teladan bagi umat dalam semua aspek kehidupan. Kita masih ingat bagaimana kasus penyelewengan dana Yayasan Tarbiyah yang bersumber dari Badan Rehabilisasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang sempat menyeret nama Prof FW yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.

Kita juga masih ingat bagaimana suksesi Rektor IAIN beberapa waktu lalu yang terkesan penuh sandiwara melalui ajang intat linto (Lihat Muhibuddin Hanafiah, Ar-Raniry, Tanpa Warna dan Dinamika - Serambi, 14/3/2013). Lain IAIN, lain pula Unsyiah. Unsyiah ditengarai membangkang terhadap keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan Prof Darni Daud sebagai rektor sah. Keputusan PTUN ini tidak dieksekusi dan Prof Darni harus urut dada. Begitulah dunia kampus yang tidak lagi menjadi panutan.
IAIN Ar-Raniry dalam beberapa tahun terakhir tampak ‘linglung’ dalam mencari identitas. Rektor IAIN dikabarkan hendak menghapus IAIN di Aceh dan menggantinya dengan Universitas Islam Negeri (UIN). Ini ibarat bue drop daruet (agama kabur, umum remang-remang). IAIN belum mampu memberi kontribusi nyata dalam membangun peradaban Islam, tapi pada sisi lain IAIN hendak mengambil kavling tetangga dengan membuka fakultas umum. IAIN diyakini tak sanggup mengejar Unsyiah dalam bidang umum yang sudah lebih siap dari aspek infrastruktur dan SDM. Unsyiah terus melaju dengan kajian umum, sementara IAIN mencoba mengekor dan itu tidak akan terkejar. Begitulah ketika sebuah terobosan dilakukan tanpa perencanaan dan hanya mengedepankan ambisi.

Sebagai wujud cinta pada IAIN Ar-Raniry, saya secara khusus mengunjungi kampus IAIN pada Jumat (30/8/2013) pagi. Selain ingin memperkaya wawasan keislaman, saya hendak mengajak kerjasama untuk membangkitkan keterampilan mahasiswa, khususnya Fakultas Syariah, melalui berbagai kegiatan keterampilan hukum yang mungkin dapat didanai oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Tanpa sengaja, sepulang dari sana, saya melihat sebuah papan pengumuman tentang frekuensi kehadiran dosen yang ditempel dekat mesin finger print.

Betapa mengagetkan, di sana terpampang nama-nama dosen/pegawai yang sangat sedikit kehadirannya ke kampus, bahkan banyak yang tidak hadir sama sekali (nol). Dalam laporan yang ditandatangani oleh Kabid Laporan dan Evaluasi IAIN Ar-Raniry itu, sangat sedikit dosen yang hadir secara penuh. Duh, ini sebuah gejala tidak baik dan bahaya bagi kampus. Rektor IAIN dapat dinilai gagal dan berapor merah dalam memenej kampus karena banyak dosen yang bolos. Orang tua mahasiswa di seluruh Aceh tentu kecewa kalau mengetahui laporan banyak dosen bolos di IAIN Ar-Raniry.

 Membenahi kampus
Akhirnya, kita berharap IAIN Ar-Raniry yang dipimpin Prof Dr Farid Wajdi membenahi kampus untuk kemudian melaksanakan berbagai kegiatan cerdas dan tepat dalam membina umat sehingga perlawanan terhadap syariat Islam dapat diminimalisir, bahkan dihapuskan. Kasus-kasus pembangkangan terhadap syariat Islam seperti yang terjadi di Langsa mesti menjadi fokus kajian Lembaga Studi Sosial di IAIN dan kemudian melakukan aksi nyata di lapangan. IAIN harus berbuat sesuai prinsip Tri Dharma PT, tidak cukup hanya dengan berkoar-koar sambil mencaci-maki di atas mimbar Jumat. Dengan begitu Rektor IAIN akan dijuluki sebagai penyelamat jantong hate, bukan penghancur hate poma. Semoga!

* Safaruddin, S.H, Ketua Tim Pembela Muslim (TPM) Aceh. Email: nyaktafar@yahoo.com

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/09/05/menggugat-peran-iain-dalam-penegakan-syariat

Membangun Sinergi Pelaksanaan Syariat

Oleh Munawar A. Djalil --- 

SEJAK deklarasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh, 12 tahun lalu, telah banyak membawa hasil positif bagi masyarakat luas, tentunya bagi orang-orang yang paham akan indahnya syariat Islam. Namun bagi orang yang tidak mengerti substansi syariat, hal ini akan menjadi momok yang menakutkan bahkan bertendensi paranoid. Supaya masyarakat semua paham akan indahnya Dinul Islam, Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Syariat Islam secara kontinyu telah melakukan sosialisasi nilai-nilai syariat yang humanis kepada masyarakat. Namun usaha kreatif ini tidak maksimal tanpa dukungan dan sinergis dari semua pihak di Aceh, di antaranya media, ormas Islam dan seluruh stakeholders.

Media adalah satu komponen penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, termasuk dalam konteks sosialisasi pelaksanaan syariat Islam ini di Aceh. Sebagai penyampai informasi media sangat berkorelasi dengan misi Dinas Syariat Islam. Media menjadi sangat penting karena selama ini salah satu faktor kendala penegakan Syariat Aceh karena belum sampainya informasi syariat secara komprehensif kepada masyarkat. Satu fungsi yang harus dimainkan oleh media dalam kontek ini adalah fungsi transmisi nilai. Media harus menggambarkan nilai Islam dan kondisi ril yang ada dalam masyarakat, bukan malah mempopulerkan nilai-nilai yang bertentangan dengan semangat/spirit syariat Islam di Aceh.
 Mazhab ‘developmentalis’

Dalam sejarah perkembangan media kita pernah mengenal mazhab developmentalis, di mana media selalu membantu kinerja Pemerintah dalam program-program pembangunan. Hal ini pernah diterapkan di Malaysia, khususnya pada era PM Mahathir Mohammad. Kemajuan Malaysia hari ini tidak terlepas dari peran media dalam mensosialisasikan program Pemerintah, misalnya sosialisasi budaya antre, etika dalam berlalulintas, hidup bersih dan beberapa kebiasaan masyarakat lainnya menjadi arah pemberitaan media yang pada gilirannya mampu mengubah karakteristik masyarakat Malaysia.

Selain media, elemen terpenting lainnya yang harus bersinergi adalah ormas Islam. Ormas Islam merupakan pihak yang terdekat interaksinya dengan masyarakat. Karenanya keberadaan ormas Islam sangat strategis untuk menyamakan pemahaman tentang syariat dalam masyarakat Aceh. Secara umum ormas Islam di Aceh begitu getol memperjuangkan penegakkan Syariat di Aceh, melawan anasir-anasir negatif tentang syariat terkait adanya gerakan untuk melemahkan gerakan syariat di Aceh. Gerakan mereka sangat sistemik dengan menggunakan media sosial seperi facebook, twitter, dan lain-lain.  Kelompok penebar anasir negatif syariat ini sangat serius mengadakan diskusi terkait pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang rata-rata kapasitas wawasan keislaman mereka masih diragukan. Hasil diskusi mereka yang bias itu kemudian dikutip berbagai media nasional dan luar negeri dengan format pemberitaan yang sangat beragam terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Sebagai langkah antisipasi terhadap kelompok tersebut, ormas Islam dan pemerintah harus bersinergi dalam memperkuat akses dan mewarnai media massa dan media sosial dengan persepsi positif terhadap Islam.

Untuk maksud tersebut yang perlu dilakukan segera adalah mengevaluasi kerja-kerja yang pernah dilakukan oleh ormas Islam. Evaluasi ini sangat penting agar ormas Islam tidak terjebak pada sikap ghurur (lupa diri) dengan menganggap dirinya telah banyak berbuat, berkarya atau sikap-sikap lainnya yang membahayakan bagi umat Islam itu sendiri. Kemudian, self correction (koreksi diri), seperti kata Umar bin Khattab: “Hitunglah diri kalian, sebelum kalian dihitung, dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum kalian ditimbang.” Maka hendaklah kalangan ormas Islam selalu mengadakan self correction pada dirinya, untuk mengevaluasi gerak-geriknya selama ini dan meluruskannya jika terdapat penyelewangan dan bersedia menerima kritikan meskipun pahit.
Kehadiran Ormas Islam sesungguhnya bukan milik kelompoknya sendiri, tetapi ia juga milik Islam seluruhnya, juga milik generasi Islam yang akan datang, maka menjadi haknya juga untuk mengetahui letak kekuatan dan kelemahannya, untuk dijadikan sebagai pelajaran. Ketiga, menghindari perpecahan, karena selama ini yang masih melekat pada ormas Islam adalah perpecahan dan perselisihan. Penyakit ini memang kerap lekat dengan ormas. Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi konflik, mempermasalahkan hal-hal yang tidak prinsip, yang tentu sangat rentan untuk memunculkan perpecahan dan perselisihan. Namun demikian, untuk syariat Islam di Aceh ormas Islam telah banyak berbuat, malah kontribusi yang telah diberikan oleh ormas Islam untuk umat dan umat manusia tidak bisa dipandang sebelah mata begitu saja. Meskipun ormas Islam kadang-kadang bekerja di bawah naungan situasi dan keadaan yang sulit, namun tidak seorang pun yang bisa menyangkal derma bakti yang telah diberikan oleh ormas Islam. Ingat, tidak seorang pun pengamat yang adil yang dapat mengatakan bahwa peran ormas Islam dalam penegakkan syariat Islam telah membeku dan mengalami ketuaan.

 ‘Grand design’ syariat
Dinas Syariat Islam Aceh telah menggagas grand design Syariat Islam Aceh, seperti disampaikan Prof Dr Syahrizal Abbas (Kadis Syariat Islam Aceh) pada “Rakor Palaksanaan Dinul Islam” di Banda Aceh, pada 10-11 Juni 2013 lalu. Hemat saya, untuk merumuskan frame (kerangka) grand design ini saja perlu waktu tiga sampai lima tahun, sebab harus melibatkan semua stakeholder di Aceh. Karenanya perlu merumuskan beberapa kerangka prioritas untuk jangka waktu 3-5 tahun ke depan: Pertama, mendesain hukum publik yang mempuni dan apik seperti hukum muamalah, ekonomi syariah, termasuk hukum jinayah dan lainnya; Kedua, tata kelola pemerintahan yang islami, pelayanan birokrasi yang bersyariat; Ketiga, menata pendidikan yang islami baik dari aspek kurikulum maupun lingkungan pendidikan, dan; Keempat, menginternalisasikan hukum adat dalam bingkai syariat.

Saya rasa itulah kerangka prioritas yang harus dirumuskan terlebih dulu, sebab jangan sampai kata pepatah “maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Grand design ini sebagai peta jalan (road map) pengimplementasian syariat Islam di Aceh. Peta jalan tersebut dapat membangun masyarakat Islam Aceh dalam menentukan tahapan-tahapan pelaksanaan syariat, sehingga jelas aspek apa dari kehidupan masyarakat Aceh yang diperlukan saat ini dan masa depan. Ketiadaan peta jalan ini telah menyebabkan kegalauan masyarakat termasuk pemerintah dalam menjawab berbagai persoalan masyarakat dengan solusi syariat. Sehingga di beberapa daerah kabupaten/kota di Aceh telah bertindak sporadis dalam mencari solusi syariat.

Kita harapkan berbagai kegalauan itu akan terobati dengan lahirnya grand design sebagai pedoman bagi seluruh stakeholder Aceh dalam merancang program pembangunan yang berbasis syariat Islam. Seluruh Dinas, Badan dan Instansi terkait lainnya harus membuat program jangka pendek, menengah dan jangka panjang dalam bidang-bidang pembangunan berbasis syariah. Semua pihak harus bersinergi dan membangun komitmen bersama dalam rangka memberikan penguatan kepada masyarakat dan kelembagaan guna mendukung pelaksanaan syariat Islam ini di Aceh. Allahu a’lam.

* Dr. Munawar A. Djalil, MA, Pegiat Dakwah, dan Kabid. Bina Hukum pada Dinas Syariat Islam Aceh. Email: aburiszatih@yahoo.co.id

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/09/05/membangun-sinergi-pelaksanaan-syariat

Menunggu Qanun Kesejahteraan Sosial

Oleh Mirza Fanzikri --- 

SETELAH beberapa kali mendapat teguran serta sindiran dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, akhirnya anggota Komisi F DRPA pada 28 Agustus 2013 lalu, mulai melaksanakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) Rancangan Qanun (Raqan) Kesejahteraan Sosial. Meski terbilang kesiangan, ini merupakan langkah tepat yang dilakukan DPRA sebagai tindakan konkret untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Aceh, setelah sekian lama merasakan hidup dalam kesengsaraan akibat bencana alam dan sosial.

Walaupun tak seheboh Qanun Bendera dan Lambang Aceh, serta Qanun Lembaga Wali Nanggroe, namun pembahasan Raqan Kesejahteraan sosial diyakini jauh lebih urgent. Jika kesejahteraan yang merupakan kebutuhan dasar semua masyarakat Aceh, sedangkan bendera, lambang, dan lembaga wali nanggroe merupakan ‘gensi politik’ bagi Pemerintah Aceh, maka kondisi Aceh saat ini tak ubah ibarat seorang manusia yang sedang sangat lapar tapi memilih berbelanja pakaian baru untuk gaya dan kemewahan, ketimbang membeli beras sebagai kebutuhan pokok. Ini merupakan suatu tindakan salah jep ubat (baca: kurang tepat) dalam membangun Aceh yang pro-rakyat.

 Kesejahteraan sosial
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara nasional telah mendapat jaminan dari Negara dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Secara khusus, Aceh punya keistimewaan tersendiri dengan adanya Qanun (perda) tentang Kesejahteraan Sosial sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Dengan demikian, kiranya qanun tersebut dapat menjamin kesejahteraan sosial masyarakat Aceh secara kolektif, konkret, dan berkelanjutan. Qanun ini harus benar-benar menjadi tanggung jawab eksekutif untuk menjalankannya, bukan sekadar ‘bahan dagangan’ dan pencitraan.

Dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial, ada dua target yang harus dibenahi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial: Pertama, meminimalisir masalah sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, KDRT, masalah kesehatan, pendidikan, dan lain-lain; dan kedua, memberi pelayanan (service) kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti penyandang cacat (disable), gelandangan, pengemis, korban penyalahgunaan NAPZA, ODHA, lansia, wanita rawan sosial ekonomi, dan lain-lain.

Untuk membenahi masalah sosial, pemerintah harus menyediakan berbagai program pembangunan sosial yang sistemik. Dan untuk menangani PMKS pemerintah wajib memberikan pelayanan sosial secara klinis. Sehingga cita-cita mewujudkan kesejahteraan sosial benar-benar dibarengi oleh tindakan yang nyata.
Kategori rakyat sejahtera (people welfare) adalah jika masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasar; sandang, papan, dan pangan. Dan wujud dari kesejahteraan sosial, apabila rakyat telah terpenuhi kebutuhan dasar serta mampu menjalankan fungsi sosial secara fisik, mental, dan lingkungan. Untuk mencapai kondisi tersebut pemerintah harus malakukan peningkatan program-program pembangunan sosial yang berimplikasi pada kemandirian masyarakat.

 Pembangunan sosial
Menurut UN-ESCAPE, pembangunan sosial pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia melalui upaya-upaya untuk mengangkat manusia dari keterbelakangan menuju kesejahteraan. Prioritas pembangunan sosial mengarah kepada program peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan lapangan kerja, asuransi korban konflik, pemberian jaminan hari tua bagi lanjut usia, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat gampong.

Sejatinya pembangunan itu harus dilengkapi oleh tiga pilar, yaitu  sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya, sosial dan lingkungan lebih sering dikorbankan demi kepentingan ekonomi, tentu tak terlepas dari pengaruh virus kapitalisme yang menyebar dalam setiap kebijakan pembangunan. Pembangunan Aceh, 8 tahun pasca-perdamaian telah tumbuh dengan sangat pesat, terutama pembangunan infrastruktur. Sedangkan pembangunan sosial hanya sedikit yang mampu diakses masyarakat. Contoh konkrit pembangunan sosial dalam konteks lokal Aceh itu seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), bantuan beasiswa pendidikan, bantuan pendidikan dayah, program ADG. Di skala nasional ada program PNPM-Mandiri, Program Keluarga Harapan (PKH), Jamkesmas, bantuan dana BOS, dan program pemberdayaan masyarakat pedesaan.

Saat ini, pembangunan infrastruktur di Aceh telah menduduki tingkatan klimaks, maka pembangunan sosial dituntut untuk menyimbangi pembangunan fisik tersebut. Pembangunan fisik tanpa diimbangi pembangunan sosial ibarat tubuh tanpa ruh. Seperti pembangunan (fisik) rumah sakit tanpa program jaminan kesehatan, pembangunan (fisik) sekolah tanpa mutu dan kualitas pendidikan yang tinggi. Hakikatnya, pembangunan itu harus berdasarkan quality oriented, bukan semata project oriented. Sehingga, tujuan akhir (destination) dari pembangunan sosial kiranya mampu mendongkrak perekonomian Aceh serta terwujudnya masyarakat yang sehat, berpendidikan, dan bermartabat. Dalam sebuah slogan populer disebutkan: “pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan”. Keduanya saling mempengaruhi. 

Pekerja sosial
Pekerja sosial (peksos) merupakan salah satu profesi yang bertanggung jawab atas terlaksana kesejahteraan sosial. Seorang peksos, ia harus seseorang yang telah memiliki dasar pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai pekerjaan sosial yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial (social welfare service). Untuk memaksimalkan penyelenggaraan qanun kesejahteraan sosial di Aceh, kiranya pemerintah Aceh harus meningkatkan keterlibatan peksos professional di dalamnya. Dengan keterlibatan profesi tersebut, kiranya mereka mampu memberikan kontribusi konkrit dalam menuntaskan masalah sosial dan PMKS secara sistemik dan klinik. Kini beberapa peksos telah terdistribusi di berbagai instansi pemerintah dan swasta, namun nominalnya masih sedikit. Padahal mereka punya tupoksi yang sangat strategis untuk membangun Aceh berbasis kesejahteraan sosial.

Ke depan, keterlibatan pekerja sosial dalam program-program pembangunan sosial kiranya semakin banyak, seperti yang diterapkan oleh negara-negara Eropa. Sehingga masyarakat mampu merasakan secara langsung pelayanan sosial dari tenaga ahli yang memiliki social welfare service skill. Seperti perlunya keterlibatan pekerja sosial dalam program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) di rumah sakit sebagai pemberi pelayanan psikososial terhadap pasien dan keluarganya. Serta di berbagai pelayanan sosial lainnya.
Selain program JKA, satu program jaminan sosial yang telah berjalan di Aceh, tentu masyarakat juga mengharapkan adanya jaminan-jaminan sosial lainnya dari pemerintahan ‘Zikir’ (2012-2017). Semisal jaminan pendidikan, kesehatan yang lebih efektif, jaminan pekerjaan, asuransi masa tua, dan jaminan keamanan.

Oleh karena itu, kiranya DPRA dan Pemerintah Aceh segera menuntaskan Raqan Kesejahteraan Sosial. Karena qanun tersebut merupakan hadiah teristimewa bagi masyarakat Aceh di saat kondisi nanggroe serba ‘kekeringan’. Dengan adanya kebijakan pro-rakyat tersebut, semoga masa depan Aceh segera menemukan kejayaan dan kemerdekaan yang sejati. Semoga!

* Mirza Fanzikri, S.Sos.I, Alumnus Konsentrasi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: vanzikry.socwork@gmail.com

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/09/04/menunggu-qanun-kesejahteraan-sosial

“Aceh” Antara Feminisme dan Sadisme Seksual

Oleh: Zahrul Fadhi Johan ---- 
 
Perempuan ibarat sebuah magnet yang memiliki daya tarik tersendiri untuk diperbincangkan. Feminisme bukanlah sebuah isu baru, baik di dunia Barat maupun Timur. Kajian feminisme memberikan ruang pada perempuan untuk menunjukkan sikap resistensi dan eksistensinya terhadap kaum laki-laki. Dalam hal tersebut praktik patriarkhi merupakan alasan kaum perempuan. Perempuan dianggap inferior dan lelaki menganggap dirinya lebih superior dibanding perempuan.

Meminjam istillah Najmah dan Sa’di (2003:34), feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan ekploitasi terhadap perempuan, baik dalam keluarga, di tempat kerja maupun di masyarakat serta adanya tindakan sadar akan laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut secara leksikal. Kesadaran feminisme bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah penggolongan kelas atau status berdasarkan jenis kelamin (genderisasi). Dalam kajian feminis lebih menekankan sifat opresif (sifat yang keras) dan relasi gender.

Huda Sha Rawi dan Nabawiyah Musa merupakan dua tokoh perempuan Mesir dan juga sebagai pelopor feminisme dunia Timur khususnya bangsa Arab era 1879-1900. Keduanya memberikan pandangannya, bahwa perempuan harus belajar tentang apa artinya menjadi perempuan dan cara-cara perempuan bereaksi untuk merekonstruksi kembali peranannya.

Kaum perempuan Arab saat itu sangat dikekang oleh budaya patriarki. Perempuan tidak boleh mendapatkan pendidikan melebihi lelaki, apalagi menduduki sebuah jabatan di sebuah lembaga atau institusi tertentu.
Perempuan juga tidak dibolehkan meninggalkan rumah. Jikapun keluar dari rumah mereka harus menjaga kesopanan dengan menutup rambut dan wajah. Keterbatasan itulah yang diperjuangkan oleh kedua perempuan ini.

Berbeda halnya dengan kaum perempuan di Aceh, kebanyakan mereka lebih superior dibandingkan lelaki. Seperti halnya Laksamana Malahayati. Ia seorang perempuan yang sanggup memimpin 2.000 pasukan Inoeng Balee (janda-janda pahlawan yang telah gugur di medan tempur) untuk bertempur melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda (11/9/1599).Dan dalam pertempuran itu beliau berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam duel satu lawan satu. Dengan keberanian dan keperkasaanya wanita yang bernama lengkap Keumalahayati ini diberi gelar Laksamana Malahayati.

Perempuan Aceh lainnya adalah Cut Nyak Dhien. Beliau perempuan yang gagah perkasa, sangat disegani oleh kawan dan ditakuti lawan. Cut Nyak Dhien dilahirkan dikalangan bangsawan, oleh orang tua dan gurunya ia dididik dan dibekali ilmu agama. Pada 8 April 1973 pasukan Belanda dibawah pimpinan Kohler berhasil memasuki dan membakar Mesjid Raya Baiturrarahman. Di sanalah Cut Nyak Dien berteriak “wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita dirusak, mereka telah mencoreng nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak? Semangat itulah yang membuat Kohler tewas dalam pertempuran itu dan setelah itulah ia mulai memimpin perang melawan kafir Belanda.Selain dari kedua perempuan itu masih banyak perempuan Aceh yang tangguh dan perkasa. Seperti halnya Ratu Safiatuddin, perempuan pertama yang menjadi pemimpin di kerajaan Aceh. Cut Mutia, seorang perempuan yang berjuang bersama suaminya Teuku Muhammad, setelah suaminya meninggal beliau menikah lagi dengan sahabat dekat suaminya yaitu Pang Nanggroe, kemudian beliau kembali berjuang sampai gugur di medan perang.

Ketangguhan dan keperkasaan perempuan-perempuan Aceh tersebut, mengindikasikan bahwa perempuan-perempuan Aceh telah menunjukkan sikap eksistensi dan resistensinya terhadap kaum laki-laki. Mereka tidak pernah menuntut dan menyuarakan persamaan kelas dan gender. Jika ditinjau dari sisi feminisme, perempuan-perempuan tersebut layak dijadikan sebagai pelopor dan tokoh feminis di Nusantara. Apa yang terjadi di Aceh hari ini telah berbanding terbalik dengan zaman sebelumnya. Krisis moral dan pengaruh modernisasi telah merusak generasi muda Aceh. Fenomena diskriminatif terhadap perempuan sering sekali terjadi.

Beberapa bulan lalu, Selasa, 19 Maret 2013, Aceh digemparkan oleh kasus pemerkosaan dan mutilasi terhadap Diana, bocah perempuan berusia 6 tahun dan pelakunya itu adalah paman kandungnya sendiri.
Sebelumnya, Sabtu, 16 Maret 2013, seorang gadis remaja perempuan berumur 14 tahun yang masih duduk di bangku kelas II SMP di Kabupaten Bireuen juga menjadi sasaran empuk pemerkosaan oleh empat orang lelaki secara bergantian. Kedua kasus tersebut telah mencoreng wajah Negeri Syariah. Belum lagi kita kembali ke masa lalu, ketika daerah operasi militer (DOM) diterapkan di Aceh (1989-1998). Berapa banyak perempuan Aceh saat itu diperkosa dan dibunuh di Rumuh Gedong oleh oknum militer yang tidak bertanggung jawab?

Sadisme seksualitas yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban merupakan tindakan kebiadaban dan amoral. Hal ini disebabkan karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan sangat kental. Para pelaku sadisme seksualitas ini memanfaatkan sifat superiornya terhadap inferioritas kaum perempuan.
Di sisi lain, perempuan dihadirkan Tuhan untuk menjadi patner bagi lelaki. Dengannya, lelaki diharapkan untuk melakukan dialog dalam mengembangkan keturunannya.

Dalam konteks Aceh tersebut, wacana feminisme tampaknya perlu dikaji dan dianalisis lebih mendalam. Sebab, nilai historis dari sisi feminisitas sangat kental di Nanggro Aceh Darussalam. Wallahu A’lam. (*).

Zahrul Fadhi Johan
Alumnus Ma’had Al-Furqan Bambi, Kabupaten Pidie Aceh. Kini tengah menempuh studi di Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Email : fadie_aceh@yahoo.com.

Tulisan ini telah di muat dan diterbitkan di:
http://www.santrinews.com/Budaya/Esai/604/-Aceh-Antara-Feminisme-dan-Sadisme-Seksual

Demokrasi Pancasila Belum Sepenuhnya Terealisasi di Indonesia

Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi ---

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa negara kita menganut sistem pemerintahan demokrasi Pancasila. Tapi telah terealisasikah sistem pemerintahan tersebut? atau telah sesuaikah semua sistem pemerintahan yang ada di Indonesia dengan acuan demokrasi Pancasila??

Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu “demos” dan “kratos”. Kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sedangkan, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang merupakan perwujudan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang mengandung semangat Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Pancasila juga diartikan sebagai demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila.

Prinsip Demokrasi Pancasila:
1.      Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.      Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban
3.      Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri dan juga orang lain.
4.      Mewujudkan rasa keadilan sosial.
5.      Pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat.
6.      Mengutamakan persatuan nasional dan ke-keluargaan.
7.      Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.

Sekarang mari kita bahas secara singkat beberapa prinsip-prinsip tersebut.
Pertama, mengenai persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata persamaan di sini memiliki makna bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Namun apa dalam dunia nyata hal tersebut dapat kita temui?? Tentu akan banyak pendapat yang berbeda-beda.

Namun, sebagian besar mungkin akan mengatakan bahwa belum adanya persamaan di mata hukum untuk semua rakyat Indonesia. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar atau tidak pula sepenuhnya salah, mengapa? Karena dalam kehidupan nyata memang banyak oknum yang dapat dengan mudah di beli suaranya atau sering di dengar dengan hukum dapat dibeli. Jadi dapat dikatakan bahwa bagi kalangan menengah ke atas maka hukum tidaklah menakutkan, tapi bagi yang tidak memiliki uang atau kalangan menengah ke bawah hukum dapat menjadi sangatlah menakutkan.

Selanjutnya, mengenai hak dan kewajiban sebagai WNI. Dalam UUD’1945 tercantum semua hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sebagai WNI kita memiliki 33 hak dan 8 kewajiban. Banyak sekali?? Memang banyak, namun semua itu memiliki porsi masing-masing dan juga memiliki syarat dan ketentuan tersendiri. Tapi sebelum kita meminta hak, sudahkah kita sebagai warga negara yang baik melakukan semua kewajiban kita? Hanya diri kita sendiri yang dapat menjawabnya. Dan yang terakhir akan kita bahas yaitu mengenai prinsip no 6, mengutamakan persatuan nasional dan ke-keluargaan. Kita semua sadar bahwa rasa kekeluargaan yang kita miliki satu sama lain perlahan terkikis. Rasa kekeluargaan itu hilang karena adanya egoisme yang meningkat.

Banyak kasus seperti demonstrasi, dan gerakan-gerakan daerah untuk mendirikan negara sendiri. Padahal dulu orang tua kita telah memperjuangkan seluruh yang mereka miliki untuk dapat menyatukan negeri ini. Tapi kenapa sekarang kita seakan tidak berterimakasih, kita seakan dengan sengaja memecah-belah semuanya. Sedangkan rasa egois itu juga berpengaruh besar pada persatuan negara kita. Ada perkataan yang benar-benar aku ingat sampai saat ini, “gedjed dapat membuat yang jauh terasa dekat, dan secara tak langsung membuat yang dekat terasa jauh”.

Dari semua bahasan di atas, walaupun tidak semua prinsip demokrasi Pancasila di bahas, namun dapat kita simpulkan bahwa Demokrasi Pancasila belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. Dengan demikian, jangan langsung kita limpahkan semua kesalahan pada Pemerintah. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab kita juga harus introspeksi pada diri kita sendiri. Seperti kata pepatah,” sebelum merubah dunia, maka rubahlah dirimu sendiri”. Dan satu lagi “jangan tanyakan apa yang telah negaramu berikan, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu”.

Dualisme Regulasi

 Oleh: Bisma Yadhi Putra ---
  
POLEMIK elektoral kembali terjadi di Aceh. Muncul dualisme regulasi terkait kuota pengajuan bakal calon anggota legislatif. Dalam Pasal 11 Huruf a Peraturan KPU No.7/2013, daftar bakal calon anggota legislatif yang dapat diajukan parpol paling banyak 100% dari jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap dapil. Sementara dalam Pasal 17 Qanun No.3/2008 dinyatakan, parpol lokal dapat memuat maksimal 120%.

Tidak ada pengecualian untuk parpol lokal di Aceh dalam PKPU tersebut. Padahal, persoalan parpol lokal diatur secara khusus dalam landasan hukum tersendiri. Terjadilah dualisme regulasi. Dualisme regulasi adalah adanya lebih dari satu kebijakan yang saling berbenturan satu sama lain tetapi mengatur sebuah permasalahan.

Persoalan ini menambah daftar “keteledoran” KPU dalam merumuskan peraturan untuk teknis penyelenggaraan pemilu. Sebelumnya, muncul polemik terkait sanksi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau penerbitan bagi media yang melanggar Pasal 46 PKPU No.1/2013. Peraturan ini dianggap berpotensi menghidupkan kembali rezim pemberangusan media, sehingga dicabut berdasarkan tuntutan dari banyak pihak.

Namun, KPU tak sepenuhnya salah. DPRA tak merevisi Qanun No.3/2008 ketika UU No.10/2008 diubah menjadi UU No.8/2012 yang menjadi acuan perumusan PKPU No.7/2013. Dalam Pasal 54 UU No.10/2008 disebutkan, daftar caleg memuat paling banyak 120 persen dari jumlah kursi pada setiap dapil. Qanun No.3/2008 mengadopsi aturan tersebut. Namun dalam Pasal 54 UU No.8/2012, jumlah tersebut diperkecil menjadi 100%.

Semestinya, DPRA tak teledor atau lalai pula. Seharusnya polemik ini mencuat dan diselesaikan ketika UU tersebut direvisi, bukan sekarang. Atau jangan-jangan, KIP dan DPRA sudah tahu masalah ini sejak lama, tetapi malah dibiarkan saja. Yang lebih parah, tentu saja, bila anggota-anggota DPRA baru tahu sekarang jika UU No.10/2008 telah diubah.

 Ketidakadilan politis
Hingga batas waktu penyerahan daftar calon sementara (DCS) pada 22 April 2012 lalu, belum ada ketetapan penggunaan regulasi. Akibatnya, sejumlah parpol di Aceh malah menyertakan bacaleg sebanyak 120% dalam DCS, sementara parpol lainnya tetap memuat 100%. Sebelum tahap penentuan daftar calon tetap (DCT), harus ditemukan solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Mengecualikan parpol lokal untuk tidak diatur dengan PKPU No.7/2013 jelas tidak adil secara politis bagi parpol nasional. Jika parpol lokal boleh mengajukan caleg sebanyak 120%, sedangkan parpol nasional hanya 100%, jelas tak adil!

Selain itu, seandainya Qanun No.3/2008 direvisi dengan memuat klausul pengecualian bahwa parpol nasional yang bersaing memperoleh kursi DPRA dan DPR kabupaten/kota di Aceh juga bisa mengajukan caleg sebanyak 120% dari jumlah kursi di setiap dapil, ini juga tak adil untuk parpol yang bertarung di daerah lain. Untuk asumsi yang ini, bantahan dengan argumen status kekhususan Aceh pasti muncul.

Lagian, ini tak adil secara jumlah hanya dalam muatan daftar caleg saja. Baik 100% ataupun 120%, sama-sama tak menyebabkan bertambahnya jumlah alokasi kursi di parlemen. Sebab, dalam sistem multi-member constituency, penetapan jumlah alokasi kursi ditentukan dari jumlah penduduk di dapil yang bersangkutan. Bukan persentase muatan daftar caleg.

Sebagai contoh: untuk Dapil Aceh 5 pemilihan anggota DPRA, alokasinya sebanyak 15 kursi; jika merujuk pada PKPU No.7/2013, maka Partai Mawar (bukan nama sebenarnya) dan parpol-parpol lainnya yang bersaing di dapil tersebut hanya bisa mengajukan sebanyak 15 caleg (100%). Jika 120%, maka dapat memuat 18 caleg. Seandainya Partai Mawar mampu meraih 15 kursi, tetap tidak semua caleg yang diusung bisa mendapat kursi. Tiga caleg gugur.

Dalam konteks 120%, yang berbeda hanyalah jumlah caleg berpotensi terpilih. Jika dari 15 hanya ada 10 caleg yang berpeluang besar terpilih, maka dengan 18 (120%) caleg barangkali jumlah yang berpotensi meraih kursi dapat menjadi 12 caleg. Lantas, mengapa ada parpol yang begitu getol memperjuangkan kuota 120%?

Parpol yang “keras kepala” mengajukan sebanyak 120% bacaleg tentu punya maksud politis. Belakangan, sejumlah kader beberapa parpol yang sudah jauh-jauh hari menyiapkan diri maju sebagai caleg harus kecewa. Parpol tempat bernaung tak mengakomodasi mereka. Yang direkrut parpol malah caleg-caleg dadakan, tetapi lebih mapan kemampuan finansial dan jaringan pemilihnya. Kader parpol justru tersingkir.

Dengan adanya kuota tambahan dalam daftar caleg, setidaknya “omelan-omelan tentang ketersingkiran” bisa berkurang. Jadi, semakin besar kuota caleg yang dapat diajukan, maka semakin menguntungkan parpol untuk meminimalisasi kisruh pencalegan.

Tak boleh ada ketidakadilan politis dalam pemilu legislatif (pileg). Pengecualian untuk parpol lokal tak bisa dibenarkan. Salah satu nilai ukur baiknya kualitas pileg adalah diterapkannya prinsip adil. Peluang bagi semua parpol yang bersaing merebut kursi parlemen harus sama.

 Kisruh elektoral
Ada dua opsi yang dapat diajukan untuk menyelesaikan kisruh elektoral ini. Pertama, karena telah lalai tidak merevisi Qanun No.3/2008 saat UU No.10/2008 diubah menjadi UU No.8/2012, publik dapat mendesak DPRA agar merevisi qanun tersebut. Ini bukan soal status kekhususan Aceh, tetapi kelalaian legislator-legislator di DPRA. Jika enggan direvisi, maka wajar bila masyarakat menilai kinerja mereka sama sekali tak membanggakan. Masyarakat yang cerdas tentu tak bangga jika kelalaian malah dianggap sebagai kekhususan.

Kedua, PKPU No.7/2013 direvisi dengan membuat pengecualian kepada parpol lokal dan parpol nasional yang bersaing di Aceh. Semua parpol bisa mengajukan caleg sebanyak 120%. Yang direvisi hanya soal kuota pengajuan caleg, sedangkan hal-hal penting lainnya --seperti kuota 30% keterwakilan perempuan-- tetap dipertahankan. Revisi ini bertujuan untuk menghindari penilaian bahwa KPU dan KIP telah mengabaikan kekhususan Aceh yang memiliki parpol lokal dan regulasi yang mengaturnya. Penilaian semacam itu bisa menyulut proliferasi kisruh elektoral.

Belajar dari Pemilukada Aceh 2012 yang berdarah-darah, ulah propagandis tak beradab membuat anggota KIP kerap mendapat teror karena dinilai telah “mengkhianati” UUPA. Dengan merevisi PKPU No.7/2013 guna mengecualikan parpol lokal dan parpol nasional yang bersaing di Aceh, mungkin tak akan muncul gemuruh resistensi terhadap KIP.

Untuk opsi yang pertama, rasanya nihil dilakukan. Pesimis. Pasti mayoritas Dewan tak berkenan. Saat ini, tak semua --barangkali bisa juga semua-- anggota DPRA punya banyak waktu untuk fokus melakukan revisi qanun tersebut. Mereka tengah sibuk dengan pemantapan DCT parpolnya masing-masing.

Demi parpol yang lebih diutamakan, mereka pasti aktif andil dalam persiapan kampanye pileg. Bahkan untuk yang maju kembali pada Pileg 2014, bisa lebih sibuk. Sebab, mereka mesti bertemu konstituen guna membentuk dan membugarkan struktur tim sukses. Namun, sebenarnya revisi tersebut tak akan memakan waktu lama, karena hanya membahas satu persoalan saja.


Bisma Yadhi Putra, Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe; anggota Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU). Email: bisma.ypolitik@gmail.com

Sumber:
Dualisme Regulasi - Serambi Indonesia

Menakar Keistimewaan Aceh

 Oleh Yusrizal ---

ACEH adalah suatu provinsi yang unik dan istimewa baik dalam perjalanan sejarah maupun pergolakannya. Namun dalam perjalanannya keistimewaan Aceh tergerus oleh perilaku manusia-manusia yang ada di dalamnya. Nilai-nilai istimewa yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Aceh masih jauh dari status yang namanya istimewa. Peran dan fungsi lembaga-lembaga adat sebagai wadah penyaluran dari entitas istimewa tersebut, masih belum berjalan secara maksimal. Keistimewaan di bidang agama, peradatan, pendidikan dan peran ulama dalam pengambilan kebijakan strategis di daerah terkesan hadir sebagai pelengkap dalam struktur organisasi kepemerintahan Aceh.

Secara singkat dapat digambarkan bahwa pemberian status istimewa Aceh adalah untuk meredam konflik antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh, yang pada saat itu Aceh diturunkan statusnya menjadi keresidenan dan berada di bawah Provinsi Sumatera Utara. Hal lainnya adalah adanya keinginan (alm) Tgk Daud Beureueh agar syariat Islam ditegakkan di bumi Serambi Mekkah. Hal ini menjadi satu pertimbangan lahirnya Keputusan Perdana Menteri RI No.I/Missi/1959 yang kemudian dikenal Missi Hardi, tentang pemberian status istimewa kepada Aceh dengan sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan keputusan ini, Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa yang meliputi keistimewaan bidang agama, peradatan dan pendidikan.

 Banyak menuntut
Permasalahannya sekarang adalah mengapa keistimewaan tersebut cenderung memudar seiring perkembangan dan perubahan sosial masyarakat Aceh. Padahal kalau kita melihat berbagai produk hukum yang mendukung keistimewaan Aceh di antaranya UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh dan yang terkini adalah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang begitu lugas dan tegas untuk diimplementasikan. Terkadang kita terlalu benyak menuntut terhadap hal-hal lainnya, tapi kewenangan yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat tidak difungsikan dan dijalankan secara baik dan benar, sebagai contoh pengelolaan dana otsus yang tidak tepat sasaran.

Keistimewaan yang diperjuangkan setengah abad lalu, belum menghasilkan dampak yang maksimal. Hal ini disebabkan karena belum berjalannya secara maksimal peran dari masing-masing komponen setiap lembaga pendukung keistimewaan Aceh itu. Akibatnya, di bidang pendidikan, misalnya, Aceh masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi-provinsi lain di Tanah Air. Meski ada Majelis Pendidikan Daerah (MPD), namun sejauh ini Aceh belum mempunyai suatu grand desain yang matang untuk masa depan pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal.

Padahal, dengan status istimewa di bidang pendidikan, Aceh bisa merancang konsep pendidikan yang tepat untuk dirinya, selaras dengan budaya dan adat Aceh yang islami. Boleh jadi, islamisasi pendidikan sebagai langkah tepat dalam membangun karakter generasi Aceh yang akan datang. Sebagai contoh adalah modifikasi dari materi pembelajaran yang berwawasan syariah lebih ditingkatkan. Sehingga liberalisasi pendidikan dapat ditekan. Hal Ini seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh untuk membangun pendidikan yang handal dan berkulitas sesuai nilai-nilai budaya Aceh, sehingga pendidikan di Aceh tidak semakin terpuruk dimata nasional.

Begitu juga keistimewaan di bidang peradatan, bagaimana mungkin generasi mendatang dapat memahami adat dengan baik jika dalam keseharian dalam keluarga dan masyarakat nilai-nilai keadatan Aceh tidak diperkenalkan secara baik. Sangat disayangkan bila pemahaman mengenai adat Aceh yang sudah diwarisi oleh indatu terdahulu hilang seiring dengan perkembangan zaman. Majelis Adat Aceh (MAA) harus mampu mansupervisi dan mendorong masyarakat untuk memahami serta mencintai adat dan budaya Aceh sejak dini. Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita.

Karena itu, peran MAA bukan hanya sebatas upacara seremonial semata, seperti peusijuk dan pelatihan-pelatihan tentang adat yang hanya diikuti oleh generasi tua, tanpa diimbangi untuk generasi muda. Kita memang istimewa di bidang adat, tapi dalam keseharian masyarakat kita jarang memperkenalkan adat dan budaya Aceh. Pada hakikatnya pelaksanaan adat yang baik akan menjamin tercapainya pelaksanaan HAM, ketertiban dan kedamaian.

Mengenai pelembagaan adat selain MAA dan lembaga adat lainnya juga terdapat dalam Pasal 99 ayat (1) UUPA: Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Ayat (2): Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe. Jadi, aturan hukum sudah memberikan jalan, sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana mereposisi kembali adat dan budaya Aceh dalam kehidupan sehari-hari.

Keistimewaan lainnya adalah adanya peran Ulama dalam memberikan kontribusi yang besar demi kemajuan Aceh, termasuk di dalamnya adalah pembinaan akhlak dan akidah umat. Mengapa itu penting, karena akhir-akhir ini justru pendangkalan akidah dan aliran sesat tumbuh subur di Aceh. Selanjutnya apakah Pemerintah Aceh dalam membuat kebijakan meminta pandangan para Ulama? Tentu pertanyaan ini harus dijawab dengan kebijaksanaan, harmonisasi antara Umara dan Ulama ini menjadi sangat urgen apabila setiap keputusan dan pertimbangan dari Ulama yang berbentuk fatwa, tausiyah dan rekomendasi dapat dilaksanakan untuk pembagunan Aceh dan berbagai aspek kehidupan.

Mengenai peran ulama sebagaimana disebutkan dalam UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh, Pasal 9 ayat (1) menyebutkan: Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Ayat (2): Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

 Kemauan dan kerja keras
Berdasarkan pemikiran di atas maka sesungguhnya implementasi keistimewaan di Aceh masih jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan, terkesan keistimewaan Aceh hanya sebatas simbol saja, atau mungkin kita sudah terlena dengan simbol dan pernyataan kaidah keistimewaan dalam aturan hukum saja. Sudah saatnya Pemerintah Aceh memikirkan ulang bagaimana pelaksanaan keistimewaan Aceh ke depan. Revitalisasi keistimewaan Aceh harus dimulai dengan kemauan dan kerja keras dari Pemerintah Aceh untuk mengalokasikan anggaran yang tepat serta adanya pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan keistimewaan tersebut.

Banyak sudah lembaga dibentuk di Aceh sebagai bagian dari provinsi yang berlabel istimewa, sehingga tidak alasan bahwa tidak ada bagian yang tidak diperhatikan karena sudah terlembaga dengan baik. Maka wajar apabila masyarakat Aceh mempertanyakan kembali keistimewaan yang diperoleh dengan susah payah itu, tapi tidak mempunyai efek yang nyata dalam pelaksanaannya. Untuk itu peluang otonomi khusus yang ada di Aceh dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemerintahan yang efektif serta pengembangan dan penanaman nilai-nilai budaya, pendidikan dan agama. Semoga!

* Yusrizal, S.H, M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), dan Pendiri Lembaga Kajian dan Konsultasi Hukum (LKKH) Lhokseumawe. Email: yusrizal_mh@yahoo.com

Sumber:
Menakar Keistimewaan Aceh - Serambi Indonesia

Antara Islam dan Demokrasi

Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi ---  Memperbincangkan hubungan Islam dengan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis. Sebab, Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan, demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antaranggota masyarakat serta simbol yang diyakini membawa banyak nilai-nilai positif. Polemik hubungan demokrasi dengan Islam ini berakar pada sebuah “ketegangan teologis” antara rasa keharusan memahami doktrin yang telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntutan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai respons atas fenomena sosial yang telah berubah.

Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang kompleks. Sebab, dunia Islam tidak hidup dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat satu spektrum panjang terkait hubungan antara Islam dan demokrasi ini. Khalid Abu al-Fadl (2004), mengatakan bahwa meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial.

Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak dapat ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah, mendahulukan perdamaian, dan kontrol. Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep demokrasi.

John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza Sihbudi, 1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki. Pernyataan Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran mengenai hubungan Islam dengan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura`, ijtihad, dan ijma` merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.

Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga kelompok pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama, pandangan yang menyatakan jika Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kelompok ini memandang jika Islam sebagai sistem alternatif demokrasi sehingga demokrasi sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah meletakkan kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang sebagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang bahwa prinsip pemilu secara jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini menyetujui  adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya perbedaan antar Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi  jika demokrasi dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem politik yang demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam.

Tiga pandangan di atas merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan. Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam. Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligami. (QS. An-nisa' 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur'an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an, As-sunnah dan ijtihad para ulama.

Dalam pada itu, menurut hemat penulis, umat Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent) untuk dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu kepada ajaran kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan sebagainya.

Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam.
Penulis adalah Peneliti pada Study Center for Acehnese Democracy of Independent (SCAD Independent),, Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh.
Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia-Yogyakarta, pada tanggal 14 May 2013

Trend Bisnis Ureung Aceh

Oleh: Muharril Al Aqshar ---

MARAKNYA penipuan bisnis bodong yang menimpa masyarakat kita membuat penulis terpaksa mengelus dada. Betapa tidak, seolah tidak percaya akan tetapi benar adanya penipuan bisnis instan dengan menjanjikan keuntungan besar sering kali terjadi. Ironisnya walaupun maraknya investasi bodong yang diungkap oleh pihak berwajib namum korban penipuan berkedok investasi terus bertambah dengan beragam kasus. Inilah potret trend bisnis masyarakat kita yang sering kali tertipu dan tergiur dengan iming-iming untung besar, tanpa memikirkan sepak terjang bisnis tersebut.

Trend bisnis tersebut tumbuh dan melekat dalam pola pikir ureung Aceh dikarenaka para pelaku masih menganut prinsip ekonomi konvensional yaitu dengan menggunakan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Menurut hemat penulis, tabiat tersebut harus kita rubah, karena mayarakat aceh mayoritas beragama islam dimana didalam agama kita telah diatur tata cara melakukan jual-beli seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Keuntungan yang kita peroleh tentu saja harus wajar sesuai dengan proses dan ditambah biaya modal yang kita keluarkan. Bila hal tersebut kita amalkan Insya Allah penipuan berkedok investasi tidak mungkin terjadi.

Bisnis ikut-ikutan
Apapun jenis investasi yang kita jalankan, keutungannya sangat tergantung dari resiko dan modal yang kita keluarkan. Jika risiko besar dan modal besar otomatis keuntungan besar dan jika risiko bisnis kecil dan modal yang kita keluarkan kecil pastinya keuntungan juga kecil. Tidak mungkin risiko dan modal kecil keuntungan besar. Seperti apa yang disampaikan oleh indatu kita dalam sebuah pepatah Aceh; kuah beuleumak ue bek beukah atau uleu beumate ranteng bek patah. Barang kali pepatah tersebut bisa menjadi acuan kita dalam menjalankan bisnis.

Coba perhatikan gaya bisnis ureung Aceh dari tahun ke tahun, ada saja yang unik. Betapa tidak, bisnis yang dijalankan oleh kebanyakan masyarakat kita tidak ada inovasi, mayoritas bisnis yang dijalankan hanya ikut-ikutan. Sangat tepat bila ada yang bilang; wate meuhai pieneung pula piuneung dan wate meuhai camplie koh bak pineung pula camplie.

Contohnya pada 2004 sebelum tsunami, masyarakat Aceh tengah trend berbisnis burger dan roti bakar di samping trotoar. Tahun 2005 pascatsunami telah berubah, banyak yang menjalankan bisnis sewa rumah dan kendaraan. Bahkan, sekarang berubah lagi gaya bisnisnya pada warung kopi, sehingga kini Aceh dijuluki pula sebagai daerah sejuta warung kopi.

Ada juga bisnis yang bersifat long time dan masih bisa bertahan di tengah ketatnya persaingan. Seharusnya masyarakat yang terjun ke dunia bisnis melakukan analisis pasar sebelum melakukan usaha, guna melihat pengembalian modal. Jangan sempat usaha yang dijalankan bersifat short time, akan tetapi modalnya tidak kembali. Alat analisis yang paling sederhana bisa dipakai adalah dengan menggunakan Analis SWAT.

Tabiat dengan menggunankan jurus tradisional sudah bisa kita tinggalkan dan geser sedikit kearah yang lebih maju agar usaha yang kita lakukan bisa membuahkan hasil. Jangan sampai bisnis yang kita jalankan tidak bisa memberikan keuntungan dan bertahan lama. Selain itu, yang paling konkret harus belajar dari orang Cina cara berbisnis. Tidak bisa dipungkiri kalau urusan bisnis, ureung Cina harus kita berikan dua jempol.

Belajar dari Cina
Banyak analis yang mempridiksikan bahwa Cina akan menjadi “negara adikuasa” pada beberapa tahun mendatang. Pencapaian tersebut tentu saja tidak mungkin hanya usaha pemerintah semata, akan tetapi sangat didukung oleh semua lampisan masyarakat khususnya masalah perekonian. Perekonomian Cina secara mengejutkan bisa tumbuh 11% pada 2011, satu rekor yang belum pernah dicapai oleh negara lain di dunia, termasuk negara maju sekalipun. Inilah barang kali mengapa kita harus belajar banyak dengan orang Cina, khususnya belajar cara mareka menjalankan bisnis.

Orang Cina mempunyai banyak kelebihan dari kita, mereka mempunyai etos kerja yang luar biasa dan mempunyai sifat malu. Seharusnya orang-orang yang sering datang ke kantor untuk meminta bantuan harus malu. Karena badan nya sehat dan umurnya masih relatif muda ataupun produktif. Ironisnya bukan minta modal usaha, akan tetapi kebanyakan minta uang untuk membeli beras. Seharusnya mereka ada perasaan malu. Sebab, burung saja yang tidak memiliki akal, misalnya, mampu mencari makanan buat anaknya. Tabiat inilah yang harus kita evaluasi dengan mengadopsi tabiat ureung Cina.

Menurut Danang Sunyoto dalam bukunya Mengapa Banyak Orang Cina Kaya dan Berhasil dalam Bisnis (2009), pertumbuhan ekonomi Cina memang mengagumkan. Kunci keberhasilan Cina adalah semua orang berbicara dengan bahasa yang sama yaitu bagaimana memajukan perekonomian Negara. Pemerintah Cina pun mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu untuk mendukung perekonomian masyarakat, pemerintah cina menyediakan aturan dan berbagai kemudahan perizinan yang selalu selesai dalam waktu dua hari.

Ada beberapa konsep yang dipakai orang Cina dalam berbisnis yakni: Pertama, kerja keras, tangguh dan pantang menyerah; Kedua, prihatin sebagai motivasi perjuangan dan tidak bermewah; Ketiga, menjaga kepercayaan; Keempat, saling mendukung dan mendorong; Kelima, tertekan dan bangkrut lalu bangkit, dan; Keenam, orang-orang Cina penuh percaya diri. Inilah konsep dan menjadi tabiat Cina untuk meraih kesuksesan dalam bisnis. Untuk itu kita harus bongkar kebiasaan lama dengan cara banyak belajar dan meyontoh tabiat dari ureung Cina dalam menjalankan bisnis.

Bongkar kebiasaan lama
Mengubah kebiasaan lama memang bukan perkara mudah akan tetapi apa salahnya bagi kita untuk memcoba memikirkan hal-hal yang baru khususnya dalam urusan bisnis. Selain konsep di atas yang paling penting bagi kita adalah membaca peluang pasar. Jangan membaca peluang hanya meliat orang lain melakukan bisnis tersebut dan mendapatkan untung yang sangat besar tanpa memikirkan resikonya. Akan tetapi jalanilah bisnis dengan memikirkan inovasi baru dan yang belum pernah dipikirkan orang lain.

Hal tersebut dikarenakan prilaku ureung Aceh yang sangat senang mengonsumsi hal-hal baru. Bila ingin berbisnis, maka hal yang paling penting yang perlu dilakukan dan menjadi modal yang paling utama adalah sungguh-sunguh. Jangan berbisnis untuk jangka pendek, tapi pikirkan bisnis untuk jangka panjang, serta jangan lupakan berdoa, karena usaha tanpa doa adalah sombong dan berdoa tanpa usaha adalah sia-sia.

Dengan demikian bangkitnya usaha mikro bisa memberikan kontribusi dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional. Tidak perlu investor besar untuk memajukan perekonomian Aceh, akan tetapi Aceh hanya butuh keseriusan pemerintah dalam rangka membina dan membuat kebijakan yang pro terhadap pengusaha kecil dan menengah, sehingga usahanya bisa berkembang menjadi usaha besar.

* Muharril Al Aqshar
, Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Peneliti pada SCAD Independent. Email: aril.aceh@yahoo.co.id

Tulisan ini telah di muat di Harian Serambi Indonesia, pada hari Rabu Tanggal 22 Mei 2013
Trend Bisnis Ureung Aceh - Serambi Indonesia

Rapuhnya Pondasi Demokrasi Aceh

Oleh: Zulhilmi ---

“Bicara Demokrasi Aceh Sarat Intimidasi” itu terbayang  dibenak penulis ketika membaca media Aceh. Masih segar di ingatan pembaca kasus ancaman yang ditujukan kepada salah seorang kader perempuan partai politik lokal di Aceh. Pada Hari Rabu Seorang bakal calon legislatif (Bacaleg) perempuan bernama Zuhra dari Partai Nasional Aceh (PNA) mengaku diancam oleh seorang kader salah satu partai lokal lain (Serambi Indonesia).
Kasus intimidasi ini bukan untuk pertama kalinya terjadi pada proses pemilu di Aceh. Sebelumnya pada pemilu tahun 2009 aksi yang sama juga terjadi.  Ironis jika proses demokrasi itu kali ini juga diwarnai politik intimidasi, partai besutan Irwandi yang merupakan mantan Gubernur Aceh ini akan bernasib sama dengan Parlok-Parlok lain saat proses Pemilu 2009 yang lalu. Kedewasaan politik yang belum muncul di masa transisi ini menjadikan proses demokrasi berjalan tidak sehat. Banyak kalangan yang memprediksi Intimidasi pasti akan muncul jelang pemilu 2014.
Dimanakah letak demokrasi itu? Pertanyaan itu muncul ketika membaca media Lokal Aceh yang menunjukkan berbagai aksi intimidasi yang terjadi. Masa transisi politik di Aceh menjadikan proses demokrasi kehilangan Arah. Jika kita bisa berpikir secara jernih dapat menjadikan proses demokrasi menjadi baik. Icon demokrasi Aceh jangan sampai terkenal dengan demokrasi yang bias dan sarat dengan intimidasi.
Perbedaan pandangan secara politik itu hal yang lumrah dalam proses demokrasi. Namun, jangan sampai perbedaan itu menjadikan kita terpecah-belah dan melakukan intimidasi. Pesta rakyat itu hanya milik rakyat dan bukan milik Partai politik atau kelompok tertentu. Semua keputusan yang diambil oleh rakyat adalah sah secara demokrasi. Mentalitas politik Aceh masih belum siap untuk diuji karena faktor takut tidak mencapai tujuan atau kepentingan politik.
Pada Pemilu 2009 sebelumnya, intimidasi juga pernah menimpa beberapa partai politik baik lokal maupun nasional. Dan korbannya sangat beragam mendapatkan perlakuan intimidasi, dimulai dari teror, ancaman, pengrusakan atribut partai, dan pemukulan.  Jarang sekali hal ini dapat diusut tuntas oleh pihak Panwaslu dan sedikit sekali ditangani oleh pihak kepolisian. Hal ini, dikarenakan korban tidak berani melapor atau takut diteror lagi secara beruntun.
Proses yang berjalan ini menjadi tidak baik bagi sebuah dinamika demokrasi. Persoalan intimidasi akan terus muncul jika partai tidak bisa mengontrol kader atau simpatisan yang berada di tataran akar rumput. Selama ini ikrar pemilu damai sering didengungkan oleh Elite-elite partai, namun lini bawah tidak dikontrol dengan baik. Poin ini yang memunculkan masalah tersebut dan butuh kerjasama Partai politik dengan Pihak Panwaslu maupun aparat Kepolisian Daerah Aceh.
Minim Mentalitas politik
Merubah paradigma bahwa The Democracy Of People Power (Demokrasi Merupakan Kekuasaan Rakyat) pada masyarakat Aceh sangat sulit. Dimensi norma kejujuran tidak dimunculkan dalam proses demokrasi. Segelintir oknum simpatisan salah satu partai politik berani berbuat nekat. Hal ini dilakukan agar jargon politiknya menang dalam pemilu legislatif 2014 nanti.
Politik balas budi menjadi sebuah tujuan akhir jika partai tersebut menang. Karena kemenangan itu berujung kepada tujuan akhir Pembagian kue kekuasaan. Mentalitas Partai politik lokal di aceh belum memiliki kedewasaan sehingga intimidasi terjadi. Paradigma yang berbeda karena partai politik Lain warna membuat proses politik tidak sehat.
Mental politisi Aceh secara lokalitas sangat tidak mencerminkan nilai demokrasi. Mereka membiarkan simpatisan dalam politik bertindak dengan segala cara. Hal ini, memunculkan sikap mentalitas seorang politisi pecundang bukan pejuang. Norma politik lokal Aceh seolah menjadi sebuah pertunjukan yang bagus bagi pemerintah Pusat. Intimidasi ini menjadikan citra Aceh semakin terburuk dalam proses demokrasi.
Paradigma positif serta mentalitas baik harus dimunculkan oleh partai politik Lokal maupun nasional. Hal ini sangat penting dilakukan karena masyarakat Aceh saat sangat pintar dalam menentukan pilihan politiknya.  Sangat disayangkan bila perbedaan pandangan serta partai politik menghalalkan aksi intimidasi. Mentalitas takut kalah seharusnya dapat dibuang jauh-jauh oleh partai politik lokal maupun nasional di Aceh.
Kedewasaan Politik
Masyarakat Aceh sudah cerdik dalam menentukan pilihan politiknya pada saat pemilu nanti. Partai politik jangan melakukan intimidasi melalui oknum simpatisan dalam mencari dukungan. Kompetisi ini harus berjalan secara baik dan demokratis. Prosesnya masih panjang menuju tahun 2014. Partai politik harus bisa memberikan pemahaman kepada kader atau simpatisannya agar tidak melakukan intimidasi. Manajemen organisasi dan kontrol di tingkat bawah perlu ditingkatkan oleh masing-masing partai politik.
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh harus bisa lebih bijaksana sebagai penyelenggara. Sementara Panwaslu sudah bisa dilantik oleh Bawaslu. Hal ini, akan terus terulang jika tidak dilakukan antisipasi  oleh pihak Panwaslu. Selanjutkan libatkan kerjasama antara Partai politik, Panwaslu dan pihak kepolisian daerah Aceh. Hal ini perlu dilakukan agar Intimidasi pada saat Pendaftaran hingga Pelaksanaan Pemilu tidak terjadi lagi. (op).

(Penulis Adalah Alumni Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unimal, penggiat Komunitas Demokrasi Aceh Utara dan Masyarakat Aceh yang tinggal di Yogjakarta)


Mengakhiri Keraguan KIP Aceh

Oleh: Kurniawan ---

BEBERAPA pekan terakhir, Aceh kembali diramaikan dengan polemik hukum akibat sikap keraguan dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Kabupaten/Kota, terkait adanya dugaan dualisme hukum mengenai penentuan kuota maksimal usulan calon anggota legislatif (Caleg) parpol ke KIP.

Menurut Ketua Pokja Pencalonan Anggota KIP Aceh, Yarwin Adi Dharma SPt, dualisme regulasi ini terjadi antara Qanun Aceh No.3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK dengan Peraturan KPU No.7 Tahun 2013 (Serambi, 18/4/2013). Gubernur Aceh Zaini Abdullah melalui Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Edrian SH, pernah pula menawarkan sebuah solusi sebagai jalan keluarnya, yaitu dengan menggunakan Qanun No.3 Tahun 2008 , bukan menggunakan peraturan nasional. (Serambi, 20/4/2013).

 Bersifat lex specialis
Dengan disahkannya UUPA secara resmi Aceh mendapat pengukuhan status keistimewaan dan kewenangan khusus bagi Aceh. Satu kekhususan dan keistimewaan tersebut menyangkut partai lokal (parlok) sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (1) UUPA. Atas dasar inilah bahwa keberadaan parlok di Aceh bersifat lex specialis (ketentuan khusus), yang menjadi pengecualian bagi suatu daerah terhadap suatu aturan yang berlaku umum. Namun untuk hal-hal yang tidak dan belum diatur dalam peraturan yang bersifat khusus tersebut, maka ketentuan yang bersifat umum (lex generalis) tetap berlaku dalam rangka mengisi kekosongan hukum (juridisch vacuum).

Meskipun keberadaan parlok di bawah rezim hukum UUPA yang bersifat lex specialis, namun sifat ke-lex specsialis-an tersebut hanya terbatas menyangkut keberadaan parlok saja dan hal-hal yang diatur/ditentukan lain secara langsung dalam UUPA atau Qanun Aceh sepanjang diperintahkan oleh UUPA. Karena itu hal-hal yang tidak diatur dalam UUPA seputar penyelenggaraan Pemilu DPRA/DPRK dan juga tidak diperintahkan pengaturannya lebih lanjut dalam Qanun, maka UU No.8 Tahun 2012 sebagai lex generalis tetap berlaku untuk Aceh.

Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Qanun No.5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, salah satu dari 4 kriteria materi pengaturan Qanun disebutkan adalah dalam rangka “pengaturan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kondisi khusus dan kewenangan khusus Aceh yang bersifat istimewa”. Hal ini tidak bermakna bahwa dengan justifikasi lex spesialis daerah dapat mengatur tentang hal-hal yang menjadi kewenangan khusus dan kondisi khusus yang bersifat istimewa tersebut secara bebas dengan makna tanpa batas (voor onbepaalde tijd).

Hal tersebut mengingat dasar filosofi pemberian status keistimewaan (kenmerken) dan kekhususan (specificiteit) kepada Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UUPA adalah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat Aceh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam rangka menggapai sejahtera dan kedamaian rakyat di bawah naungan sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945. Sehingga karenanya peran dan kendali Pemerintah dalam hal ini menjadi sesuatu keniscayaan.

Tidak adanya pengaturan langsung dan perintah pengaturan lanjutan setelah melakukan telaah secara mendalam terkait dengan rumusan klausul menyangkut parlok yang menjadi satu icon kekhususan Aceh tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 75-95 UUPA, penulis tidak menemukan satu rumusan pasal pun yang secara khsusus mengatur mengenai “batas jumlah maksimum bakal calon yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan” dalam Pemilu anggota DPRA dan DPRK.

Selain itu penulis juga tidak menemukan satu pasal pun dalam UUPA yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut pengaturan mengenai “batas jumlah maksimum bakal calon yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon” untuk diatur lebih lanjut oleh Qanun Aceh. Dengan adanya materi pengaturan mengenai penentuan batas jumlah maksimum bakal calon yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Qanun Aceh No.3 Tahun 2008 menjadi suatu fenomena menarik untuk dikaji dalam aspek Hukum Tata Pemerintahan.

Bukan kewenangan dan kondisi khusus yang bersifat istimewa Pengaturan mengenai “batas jumlah maksimum bakal calon yang diusulkan dalam daftar bakal calon memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan” sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Qanun No.3 Tahun 2008, hakikatnya telah diatur dalam Pasal 54 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Karenanya, perumusan klausul Pasal 17 dari Qanun Aceh No.3 Tahun 2008 bukan merupakan norma baru (nieuwe norm), melainkan sifatnya hanya mengulangi/merumuskan kembali norma (herhaling van normen) guna menegaskan rumusan klausul sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 54 UU No.10 Tahun 2008.

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa, secara hukum, materi pengaturan mengenai batas jumlah maksimum bakal calon sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Qanun Aceh No.3 Tahun 2008 bukanlah merupakan kewenangan khusus dan kondisi khusus yang bersifat istimewa, melainkan hanya bentuk penegasan dan pengulangan kembali alias copy paste dari UU No.10 Tahun 2008.

Dengan telah dicabutnya UU No.10 Tahun 2008 seiring dengan hadirnya UU No.8 Tahun 2012 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 327, maka secara hukum turut pula tercabutnya secara otomatis (automatisch beroofd) seluruh peraturan pelaksanaannya (peraturan organik/delegated legislation) dari UU No.10 Tahun 2008, termasuk juga beberapa rumusan klausul yang ditegaskan kembali (copy paste) dalam Qanun No.3 Tahun 2008 tersebut. Namun demikian, kehadiran UU No.8 Tahun 2012 itu tidak pula bermakna mencabut sifat dan daya berlaku dari Qanun No.3 Tahun 2008 secara keseluruhan.

 Merujuk ketentuan nasional
Dengan demikian, hemat penulis, sebenarnya KIP Aceh dalam menghadapi polemik yang muncul mengenai batas jumlah maksimum bakal calon (balon) yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon pada pemilu legislatif, tidak sedang menghadapi dualisme hukum (dubbele rechtsgrondslag). Oleh karenanya, KIP Aceh tanpa perlu diragukan lagi, seyogyanya merujuk dan menjadikan ketentuan nasional (yang bersifat umum) yaitu Pasal 54, UU No.8 Tahun 2012 dan Pasal 11 huruf a, Peraturan KPU No.7 Tahun 2013 sebagai landasan hukum dalam penentuan batas jumlah maksimum bakal calon yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon yaitu maksimum 100% dari jumlah kursi yang tersedia pada setiap daerah pemilihan, dan karenanya bukan merujuk kepada Qanun No.3 Tahun 2008.

Dalam Pasal 8 ayat (2) UUPA yang menyebutkan: “Rencana pembentukan UU oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”. Perlu dipahami bahwa yang menjadi penekananan dalam rumusan pasal ini adalah terhadap rencana pembentukan suatu UU, yang secara langsung berkaitan dengan Pemerintahan Aceh atau dengan kata lain UU yang bersifat khusus (untuk Aceh).

Hemat penulis bahwa keberadaan UU No.8 Tahun 2012 pengaturan norma yang terkandung di dalamnya tidak bersifat secara langsung berkaitan dengan pemerintah Aceh, melainkan bersifat umum, yaitu menyangkut Pemilu DPR, DPD, dan DPRD secara nasional/umum, termasuklah bagi Aceh, kecuali ditentukan lain dalam UUPA. Sehingga karenanya, secara hukum dalam proses pembentukan UU No.8 Tahun 2012, Pemerintah tidak terikat dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUPA tersebut dan karenanya tidak ada kewajiban konsultasi dan meminta pertimbangan DPRA.

* Kurniawan, SH, LLM
, Pengamat Hukum dan Pemerintahan, dan Dosen Hukum Tata Negara/Tata Pemerintahan pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: kurniawanfh@yahoo.com

Tulisan ini telah di muta di Harian Serambi Indonesia, pada tanggal 16 Mei 2013
Mengakhiri Keraguan KIP Aceh - Serambi Indonesia

Menyoal Kebijakan KPU

Oleh: Amrizal J. Prang ---

KEBIJAKAN Komisi Pemilihan Umum (KPU), melalui Surat KPU No.324/KPU/V/2013 tentang Kedudukan Partai Politik Lokal dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRA dan DPRK, pada 7 Mai 2013 lalu, telah menimbulkan kontroversi. Padahal tujuannya untuk menghindari dualisme hukum persyaratan bagi partai politik (Parpol) baik nasional maupun lokal di Aceh dalam mengajukan bakal calon anggota legislatif. Dalam keputusan tersebut parpol mesti mengikuti PKPU No.07/2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, bukan Qanun Aceh No.03/2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK.

Objek dualisme materiil kedua landasan hukum tersebut adalah Pasal 11 huruf a, PKPU No.07/2013 menyebutkan: “Daftar bakal calon paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan”. Sementara, menurut Pasal 17 Qanun Aceh No.03/2008, menyebutkan: “Daftar bakal calon memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan”.

Secara eksplisit kedua norma hukum tersebut jelas kontradiksi, sehingga memerlukan adanya kepastian hukum, terhadap keberlakuan salah satu atau keduanya sekaligus. Namun demikian, secara axiology (tujuan) hukum tidak saja niscaya memenuhi kepastian, tetapi juga adanya keadilan dan kemanfaatan hukum. Menjadi persoalan terhadap kebijakan KPU ini adalah terkesan tidak mengkaji secara komprehensif terhadap keberadaan UUPA dan Qanun Aceh No.3/2008, sehingga malah tidak tercapai axiology hukum itu sendiri.

 Landasan hukum
Sebenarnya, keberadaan Qanun Aceh dan PKPU tersebut masing-masing mempunyai landasan hukum yang bersifat atributif (perintah langsung) undang-undang. PKPU No.07/2013, berdasarkan perintah Pasal 67 ayat (3) UU No. 8/2012 tentang Pemilu (UU Pemilu), disebutkan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU”. Di mana, dasar persen tersebut secara eksplisit diatur dalam Pasal 54 UU Pemilu.

Sementara, Qanun Aceh No.3/2008, perintah Pasal 80 ayat (2) UUPA, antara lain mengatur, bahwa parlok berhak ikut serta dalam pemilu untuk memilih anggota DPRA/DPRK dan mengajukan calon untuk keanggotaan DPRA/DPRK, diatur dengan Qanun Aceh. Berdasarkan, pasal tersebut keberadaan qanun lebih kuat dibandingkan PKPU.

Artinya, kedua UU tersebut memerintah langsung mengenai pencalonan diatur secara tersendiri masing-masing dengan PKPU dan Qanun. Oleh karena eksistensi UU Pemilu dan UUPA tersebut secara hierarkis setara, semestinya, KPU dalam membuat kebijakan atau peraturan juga melihat peraturan kekhususan lainnya, sesuai asas-asas peraturan perundang-undangan agar tidak menimbulkan permasalahan baru dan bisa dijalankan.

Akibat tidak adanya pertimbangan hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan kekisruhan dalam proses pencalonan. Padahal, menurut Jimly Assiddiqie, dalam bukunya Perihal Undang-Undang (2005:18), mengatakan antara lain, ada empat kategori peraturan tertulis: a) peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjuk kepada hal, atau peristiwa, atau kasus kongkret yang sudah ada sebelum peraturan itu ditetapkan; b) peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diaturnya, yaitu hanya berlaku bagi subyek tertentu; c) peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku bagi wilayah lokal tertentu; d) peraturan perundang-undangan bersifat khusus karena kekhususan daya ikat materinya, hanya berlaku internal.

Dari keempat kategori ini, maka eksistensi UU Pemilu masuk dalam kategori peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena subjek yang diaturnya, yaitu Pemilu. Sedangkan, UUPA juga dikategorikan khusus karena subyeknya Pemerintahan Aceh, meskipun hanya mengatur pemerintahan lokal Aceh. Mengutip pendapat Jimly Assiddiqie (2005:23), mengenai keberadaan undang-undang khusus, maka keberadaan UUPA walaupun mengatur pemerintahan lokal, tetapi keberlakuannya tetap bersifat nasional. Di mana mengikat semua subyek hukum dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, seperti Presiden, DPR, MK, MA, termasuk KPU.

Begitu juga dengan Qanun Aceh, sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena wilayah berlakunya (local wet) hanya di Aceh. Namun, daya ikatnya tidak hanya berlaku bagi subyek hukum di Aceh, tetapi juga bersifat nasional. Seharusnya, seperti KPU tidak boleh semena-mena dalam membuat kebijakan dengan mengabaikan local wet tersebut, karena sayogianya berlaku adalah Qanun Aceh, kecuali materiil qanun tersebut kontradiksi dengan UUPA. Hal inilah yang dikatakan Soerjono Soekanto (2010:17), salah satu bentuk pelanggaran hukum (tidak ditegaknya hukum) yang berasal dari undang-undang karena mengabaikan asas-asas berlakunya undang-undang.

 Asas pengeculian
Oleh karena itu, dalam teori hukum jika fenomena yang terjadi seperti ini, maka untuk memahaminya secara mendalam diperlukan pemahaman dan kembali pada asas-asas hukumnya. Karena, hukum itu sendiri direalisasikan kedalam empat tahap, yaitu asas hukum, kaedah (norma) hukum, peraturan hukum konkret dan yurisprudensi. Di mana asas hukum itu sendiri sifatnya umum, sehingga membuka peluang adanya penyimpangan-penyimpangan atau pengecualian-pengecualian (Sudikno Mertokusumo, 2012:45-46).

Dari asas-asas inilah perbedaan pemberlakuan tersebut menjadi pengecualian atau penyimpangan. Sehingga, dapat menyelesaikan konflik atau dualisme peraturan perundang-undangan. Untuk kasus UU Pemilu jo PKPU No.7/2013 vis a vis UUPA jo Qanun No.3/2008, dapat dirujuk antara lain, pada dua asas hukum. Asas lex specialis derogate legi generalis (peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum) dan lex posteriori derogate legi priori (peraturan yang baru mengalahkan peraturan yang lama).

Memang, jika melihat kedua asas-asas hukum ini ternyata terjadi juga konflik asas. Mengikuti lex specialis, maka yang berlaku UUPA jo Qanun Aceh. Sedangkan, mengikuti lex posteriori, maka yang berlaku UU Pemilu dan PKPU. Namun, inilah yang unik dari keberlakuan asas, menurut Sudikno (2012:48) asas tidak mengenal hierarki (tingkatan). Sehingga, juga tidak mengenal konflik antar asas, walaupun berbeda satu dengan yang lain, keduanya dapat eksis secara berdampingan, tanpa mengalahkan dan tidak dapat dipisahkan, tetapi membutuhkan satu sama lain yang merupakan antinomi.

Artinya, karena kekhususan Aceh meskipun sifatnya teknis, maka yang berlaku adalah materiil Qanun No.3/2008 plus juga materiil PKPU No.7/2013 selama tidak bertentangan dengan UUPA, bukan hanya dikhususkan pada UU Pemilu jo PKPU. Kalaupun, kemudian KPU bergeming dengan kebijakannya dan tidak konsisten dalam melaksanakan UUPA dan asas-asas hukum tersebut, maka bagi parlok mempunyai dasar hukum kuat untuk menggugat kebijakan tersebut kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau melakukan uji materil (judicial review) PKPU No.7/2013 kepada Mahkamah Agung (MA). Apapun nanti putusan peradilan keniscayaan diterima, sesuai dengan asas res judicata pro veretate accipitur (putusan hakim harus dianggap benar).      

* Amrizal J. Prang, SH, LL.M, Mahasiswa Program Doktor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com

Tulisan ini telah di muat di Harian Serambi Indonesia, pada tanggal 16 Mei 2013
Menyoal Kebijakan KPU - Serambi Indonesia

Masa Depan Parlok

Oleh: Azwir Nazar ---

TEKAD Irwandi Yusuf membentuk Partai Nasional Aceh (PNA) patut diapresiasi. Partai lokal yang didukung 17 mantan panglima GAM ini akan menjadi kekuatan politik baru di Aceh. Bila lulus verifikasi administrasi dan faktual, maka akan dapat mengikuti Pemilu Legislatif 2014. Selain PNA, muncul nama PDA, Partai SIRA Perjuangan, dan Partai SIRA jilid II.

Wacana pembentukan partai lokal (parlok) Irwandi Yusuf ini sudah lama disuarakan. Pada 16 Februari 2012 lalu, di Hermes Palace mereka menggelar konsolidasi eks panglima wilayah. Sofyan Daud, mantan Jubir Komando Pusat GAM juga telah berbicara lantang di media. Malah, awalnya partai ini ingin dideklarasi sebelum Pilkada Aceh 9 April lalu.

Munculnya partai lokal baru di Aceh akan menarik bagi konstelasi politik dan preferensi pemilih Aceh pada 2014. Di tengah pertanyaan besar akan nasib partai-partai lokal pasca-Pemilu Legislatif 2009. Sebab, hanya PA yang memperoleh 46,91% (33 kursi DPRA dari 69), Partai Daulat Aceh 1,85% (1 kursi DPRA), Partai SIRA 1,78%, PRA 1,70% dan PBA 0,77%. Artinya, selain PA tidak ada partai lokal lain yang mencapai 3% sebagai batas ambang parliaments threshold.

Sejarah
Lahirnya partai lokal tidak terlepas dari perundingan damai antara Pemerintah RI dan GAM, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Ini juga menandakan babak baru demokrasi Indonesia yang terus berkembang pascareformasi. Di mana pendekatan militeristik dan kekerasan tidak lagi mendapatkan tempat. Dominasi militer terhadap penyelesaian konflik bukan solusi penyelesaian masalah yang muncul di daerah. Demokrasi menuntut kesetaraan dan kebebasan berekspresi secara luas dengan menghargai segala perbedaan.

 Instrumen politik

Partai lokal menjadi instrumen politik resmi dan legal para pihak di Aceh untuk berjuang menyuarakan aspirasi mereka. Ia muncul sebagai bentuk implementasi klausul MoU Helsinki pada point 1.2.1. Kemudian dikeluarkannya PP Nomor 20 Tahun 2007 dan juga diakomodir dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada Bab XI.

Hadirnya parlok mempertegas era transformasi perjuangan rakyat Aceh dari era perang menuju transisi dan proses politik. Era damai ini memenangkan semua harapan rakyat dan para pihak yang bertikai. Bagi rakyat, damai ini adalah rahmat yang sudah lama dinantikan. Para pihak pun berkomitmen mewujudkan perdamaian abadi di Aceh dengan melaksanakan semua klausul-klausul yang disepakati dalam perundingan.

Kenyataannya, Pemilu 2009 PA menang telak dan menguasai parlemen Aceh. Partai lokal lain seperti tenggelam dalam dinamika politik Aceh yang keras. Banyak faktor yang menyebabkan mereka terhempas dan kalah secara tragis. Selain faktor internal, seperti waktu, SDM, logistik, mesin partai, juga persoalan strategi. Faktor eksternal juga sangat banyak. Masing-masing wilayah juga berbeda.

Sudah sepatutnya dengan belajar dari pengalaman kekalahan partai-partai lokal pada Pemilu 2009 lalu, PNA, PDA, Partai Sira Perjuangan, maupun Partai Sira Jilid II harus mampu menunjukkan diferensiasi dan membangun identitas. Terutama dengan Partai Aceh, sebagai pemenang dan lawan tangguh. Apalagi saat ini PA juga tidak saja menguasai parlemen, namun juga menguasai eksekutif baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Diferensiasi yang saya maksudkan adalah sebuah partai yang mampu menunjukkan posisi khas, jelas, meaningfull dan mempertegas perbedaan dengan yang lain. Sehingga perbedaan itu bernilai penting, istimewa ataupun superior dengan partai pesaing. Dengan demikian, akan mampu menunjukkan integritas dan citra sebuah partai baru. Lalu, pemilih pun akan mudah menjatuhkan pilihan terhadap partai tersebut.

 Memiliki karakter
Selain itu, partai politik harus memiliki karakter. Less Marshment (2001) membagi tiga karakter partai: Partai berorientasi product (Product oriented party); Partai berorientasi penjualan (Sales oriented party), dan; Partai berorientasi pasar (Market oriented party). Pilihan karakter ini yang harus dimiliki oleh sebuah partai. Jangan menjadi partai abu-abu. Ini penting nantinya dalam pemasaran produk politik sebuah partai.

Sehingga, partai tidak saja berorientasi jangka pendek yaitu ikut pemilu. Tapi partai harus menjadi sebuah gerakan perubahan.Punya mimpi untuk Aceh 20 tahun mendatang misalnya. Di tengah skeptisnya masyarakat akan prilaku elite politik yang ada, partai lokal masih memiliki masa depan untuk mensejahterakan masyarakat terutama di Aceh sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki partai lokal.

Tentu dengan visi yang tegas dan jelas. Sebab, tanpa diferensiasi, identitas maupun karakter, maka partai-partai lokal baru hanya menjadi kontestan penggembira pada Pemilu Legislatif 2014 nanti, tanpa mampu meraup atau merebut suara signifikan, apalagi menang pada pemilu mendatang.

* Azwir Nazar, Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

Tulisan ini telah dimuat di harian serambi Indonesia,  pada hari Rabu tanggal 9 Mei 2012
Masa Depan Parlok - Serambi Indonesia

Prospek Global Ekonomi Aceh

Oleh: Bulman Satar ---

ACEH memiliki segalanya untuk tumbuh dan berkembang menjadi nanggroe yang maju dan sejahtera. Hampir semua syarat sudah kita penuhi. Kombinasi antara sumber daya alam, manusia, fiskal, serta momentum perdamaian adalah modal teramat berharga yang belum tentu datang dua kali, sehingga harus betul-betul kita jadikan kesempatan untuk mencurahkan semua energi untuk membangun nanggroe meutuah ini menjadi lebih baik, maju dan sejahtera.

Mari kita membuka cakrawala. Lihat betapa strategisnya posisi Aceh dalam peta dunia, berada di kawasan Laut Hindia yang memungkinkan Aceh terhubung dengan banyak negara di kawasan Asia (Tengara, Selatan), Timur Tengah, Afrika, bahkan Eropa (melalui Terusan Suez). Dengan posisi geografisnya ini Aceh memiliki peluang dan akses yang sangat besar terlibat dalam interaksi perdagangan global dunia dengan membangun kontak-kontak perdagangan dengan negara-negara di kawasan tersebut.

Untuk itu dengan semua nilai plus ini sudah saatnya bagi Aceh go internasional, membangun ekonominya dengan “mindset global”. Tidak lagi tergantung dan dibodoh-bodohi oleh “mindset Sumatera Utara” yang nyata-nyata tidak fair dan telah menghisap ekonomi Aceh sampai pada tingkat paling akut. Ini bukanlah impian ambisius yang tak berdasar, tapi justru adalah peluang yang sangat realistis.

 Otsus dan UUPA
Kita memiliki lebih dari cukup modalitas untuk mewujudkannya: Pertama adalah status otonomi khusus (otsus) yang dibarengi dengan pemberlakuan UU No.11 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UUPA tersebut termaktub pasal-pasal yang memberi peluang bagi penguatan ekonomi Aceh  --dua di antaranya yang paling penting adalah pasal 4 ayat 3 dan tiga yang mengatur tentang kawasan khusus dan perdagangan bebas, dan Pasal 165 ayat 2 Bagian Perdagangan dan Investasi. Pasal-pasal UUPA ini adalah payung hukum yang memberi peluang besar bagi Aceh untuk membangun dan memperkuat pondasi ekonominya. Beberapa diantara pasal-pasal ini bahkan telah ditetapkan peraturan pelaksana dan qanunnya.

Kedua, sejalan dengan penetapan status otonomi khusus, Aceh juga menerima kucuran dana otsus yang cukup besar dari pemerintah pusat, yaitu kurang lebih sebesar Rp 100 triliun dalam kurun waktu 20 tahun (2008-2027). Injeksi dana otsus ini dengan sendirinya akan menjadi modal yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh. Ketiga, tentu posisi strategis Aceh di ujung pulau Sumatera yang langsung dapat terkoneksi melalui jalur laut dengan berbagai negara di beberapa kawasan yang berbatasan langsung dengan samudera Hindia.

Peluang tersebut semakin besar karena Aceh di dukung oleh modalitas keempat, yaitu kondisi infrastruktur yang sudah sangat memadai baik infrastruktur jalan maupun infrastruktur pelabuhan. Infrastruktur jalan di pantai Barat-Salatan dan Utara-Timur sudah sangat baik dan mendukung. Hanya di poros tengah saja yang mungkin harus ditingkatkan. Sedangkan untuk infrastruktur pelabuhan, di pantai Barat-Selatan kita memiliki pelabuhan pendukung mulai dari pelabuhan Sinabang Simeulue, Singkil, Aceh Selatan, Abdya, da di Aceh Barat. Sedangkan di Utara-Timur kita memiliki pelabuhan pendukung di Idie dan Langsa (Kuala Langsa).

Di samping berbagai pelabuhan pendukung tersebut, kita memiliki pelabuhan Malahayati Krueng Raya, Aceh Besar dan pelabuhan Krueng Geukeuh Lhokseumawe yang dapat kita plot sebagai pelabuhan peti kemas, dan pelabuhan utama pelabuhan Sabang untuk pusat kegiatan ekspor-impor. Pilihan pelabuhan Sabang di sini sebagai pelabuhan ekspor-impor tentu tidak terlepas dari status Sabang sebagai kawasan free-port dan free-trade.

Kelima, sesuai dengan RPJP Aceh tahap II yang dimulai pada 2013 ini, dimana satu fokusnya adalah menjadikan agroindustri sebagai basis ekonomi Aceh. Karena itu, program industrialiasi pertanian sudah harus didorong untuk meningkatkan kapasitas produksi berbagai komoditas pertanian berorientasi ekspor baik dalam bentuk mentah seperti sayur dan buah-buahan dari wilayah tengah, maupun dalam bentuk produk olahan dari pantai Barat-Selatan dan Utara-Timur. Semuanya dapat dimobilisasi baik melalui jalur darat maupun jalur laut dari semua titik pelabuhan yang telah tersedia, ke pelabuhan utama di Sabang untuk diekspor ke luar negara-negara sebagaimana telah disebutkan di atas.

Keenam, momentum lain yang juga tak kalah penting adalah terkait dengan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang menempatkan Aceh dalam Koridor Ekonomi Sumatera dengan fokus sebagai sentra pengambangan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi. Secara geostrategis, Aceh sebagai bagian dari Sumatera dalam konteks ini juga sangat berpeluang menjadi gerbang ekonomi nasional ke pasar Eropa, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur dan Australia.

Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi Aceh ber-mindset global ini Pemerintah Aceh perlu menyiapkan dan mematangkan skema sinerginasasi lintas wilayah antara pemerintah Aceh di level provinsi dan kabupaten/kota, dan lintas sektoral antara SKPA-SKPA, SKPK-SKPK, dan SKPA-SKPK.

 Siapa melakukan apa
Dalam skema sinergisasi ini perlu dipertegas siapa melakukan apa dan bagaimana kerja-kerja kewilayahan dan sektoral tersebut saling terhubung, sinambung dan sinergis satu sama lain. Misalnya, Bappeda menyiapkan peta jalan (road map), Dinas Perindustrian dan Perdagangan menyiapkan regulasi yang mengatur mekanisme proteksi terhadap produk atau komoditas lokal Aceh dari infiltrasi produk luar, Dinas Perhubungan dan Komunikasi mengatur regulasi terkait status dan fungsi pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh, meningkatkan sarana pelabuhan-pelabuhan di Aceh.

Menghidupkan aktifitas pelabuhan-pelabuhan di Aceh, khususnya pelabuhan-pelabuhan utama seperti pelabuhan Krueng Geukueh, Malahayati, dan Sabang, tidak hanya sebagai pusat distribusi komoditas ekspor dari Aceh tapi juga dapat menjadi terminal bagi kapal-kapal yang bergerak dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak, yang membawa barang atau komoditas ekspor ke negara-negara di kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, bahkan sampai ke Eropa.

Kemudian Dinas pertanian, Perkebunan, dan Badan Pangan, dapat mematangkan konsep pengembangan dan penguatan agroindustri, misalnya dengan program industrialiasi pertanian untuk beberapa komoditas unggulan seperti pala dan nilam di Aceh Selatan dan Abdya; CPO di Aceh singkil, Subulussalam dan Nagan Raya; kopi dan holtikultura (sayuran dan buah) di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues; pinang di Aceh Utara, kakau di Nagan Raya dan Pidie Jaya, dsb.

Langkah industrialisasi pertanian ini penting untuk mendorong orientasi ekspor Aceh ke luar negeri dalam bentuk barang jadi, tidak lagi dalam bentuk bahan mentah yang selama ini nyata-nyata tidak memberi dampak signifikan terhadap perekonomian Aceh. Paralel dengan penguatan langkah-langkah sektoral ini, Badan Investasi Aceh juga dapat ikut berperan dengan mempromosikan peluang-peluang investasi di Aceh di berbagai event-event promosi investasi baik di dalam maupun di luar negeri.

Langkah-langkah ini seyogyanya tidak boleh bergerak sendiri-sendiri secara parsial tapi mesti dirancang dalam sebuah skema besar yang terintegrasi sebagai program masterpiece Pemerintah Aceh. Jika semua skenario ini dapat didorong dan dikelola dengan baik, dengan visi dan komitmen kuat dari Pemerintah Aceh, maka peluang Aceh bukan hanya sekadar dapat terlibat, tapi sangat mungkin menjadi bagian penting dalam lalu lintas perdagangan global dunia di masa-masa yang akan datang.

* Bulman Satar, Pemerhati Masalah Pembangunan. Email: abul_03@yahoo.com

Tulisan Ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia Pada tanggal 8 Mei 2013
Prospek Global Ekonomi Aceh - Serambi Indonesia

 
Positive SSL