Menggugat Peran IAIN dalam Penegakan Syariat

Oleh: Safaruddin - - -
      
SATU keistimewaan Aceh adalah syariat Islam. Oleh karenanya, perundang-undangan tentang syariat Islam harus disusun dan kemudian diimplementasikan. Sesuai konstitusi, semua pihak di Aceh wajib mendukung dan membantu penegakan syariat Islam. Khusus kepada instansi-instansi terkait yang berplat merah, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD), dan IAIN Ar-Raniry, harus berdiri di garda depan dalam penegakannya. Dengan upaya ini, diharapkan pelaksanaan syariat Islam akan mudah dibumikan dan berwibawa.

Baru-baru ini di Langsa terjadi perlawan terhadap upaya penegakan Syariat Islam, dan ini adalah perlawanan yang kedua kali terjadi disana. Kejadian pertama, pada September 2012 lalu, sejumlah orang yang mengaku aktivis demokrasi, HAM dan perkumpulan jurnalis menuduh aparat Dinas Syariat Islam (DSI) Kota Langsa sebagai penyebab PE (16) bunuh diri. PE ditangkap Senin (3/9/2012) dini hari di Lapangan Merdeka Kota Langsa (Prohaba, 4/9/2012). Tapi banyak pihak meragukan PE telah bunuh diri. Sayang, kasus ini tidak diusut tuntas dan tidak diketahui sebab-musabab PE “bunuh diri”. Sekumpulan wartawan “profesional dan independen” yang sempat “memvonis” PE bunuh diri karena tuduhan sebagai pelacur pun akhirnya mencabut “vonisnya” itu. Duh! Kejadian kedua, dari Langsa kembali terjadi pemukulan dan pengeroyokan Kepala DSI dan aparat WH pada Minggu malam (25/8/2013), karena berupaya membubarkan pesta pertunjukan keyboard yang menampilkan biduanita berpakaian seksi disertai pesta minuman keras di Desa Karanganyar. Berbagai reaksi muncul menyikapi tindakan pengeroyokan itu. Ormas-ormas Islam, KPA, kalangan dayah, MPU, TPM dan mahasiswa mengecam tindakan penghinaan terhadap syariat Islam itu (Serambi, 27-31/8/2013).

 Menanti Tri Dharma IAIN
Kecaman-kecaman di atas rata-rata hanya pada tataran kecaman, tidak ada yang bersifat mengikat dan menjerat pelaku dengan sejumlah sanksi nyata, apalagi mencari sebab-musabab perlawanan disertai rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang. Di sinilah seharusnya IAIN Ar-Raniry memainkan perannya selaku jantong hate rakyat Aceh. Kita patut menyesali tidak adanya peran dari IAIN Ar-Raniry dalam upaya membela dan membantu tegaknya syariat Islam di Aceh. Dari kalangan IAIN hanya muncul sebuah statemen normatif, dan itu bukan dari orang nomor satu IAIN, melainkan dari Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr Syamsul Rijal. Padahal, keterlibatan IAIN secara lebih jauh dan lebih nyata dalam menegakkan syariat Islam sangat dinantikan. Rektor IAIN tidak boleh berdiam diri melihat berbagai perlawanan terhadap syariat Islam. Sejatinya Rektor IAIN mampu menerjemahkan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam wujud nyata kepada rakyat.

Ada tiga aspek Tri Dharma yang dapat dimainkan IAIN Ar-Raniry dalam membantu penegakan syariat Islam di Aceh: Pertama, petinggi IAIN harus memainkan peran penelitian secara komprehensif soal syariat Islam, mulai dari konsepsi, sosiologi hingga pola penerapannya (aspek penelitian); Kedua, petinggi IAIN harus menawarkan dan menjalankan konsep pendidikan berbasis syariat Islam kepada masyarakat (aspek pendidikan), dan; Ketiga, petinggi IAIN perlu melakukan pengabdian dan pembinaan kepada masyarakat terutama di wilayah-wilayah “dangkal akidah” (aspek pengabdian). Dengan demikian, visi Tri Dharma PT menjadi nyata, bukan hanya hayalan.

 Kampus sebagai teladan
Ada kesan, petinggi kampus kerap mengejar kepentingan pribadi dan kelompok, laksana politisi di luar sana. Padahal prinsip ini harus dihilangkan, karena kampus sejatinya menjadi teladan bagi umat dalam semua aspek kehidupan. Kita masih ingat bagaimana kasus penyelewengan dana Yayasan Tarbiyah yang bersumber dari Badan Rehabilisasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang sempat menyeret nama Prof FW yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.

Kita juga masih ingat bagaimana suksesi Rektor IAIN beberapa waktu lalu yang terkesan penuh sandiwara melalui ajang intat linto (Lihat Muhibuddin Hanafiah, Ar-Raniry, Tanpa Warna dan Dinamika - Serambi, 14/3/2013). Lain IAIN, lain pula Unsyiah. Unsyiah ditengarai membangkang terhadap keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan Prof Darni Daud sebagai rektor sah. Keputusan PTUN ini tidak dieksekusi dan Prof Darni harus urut dada. Begitulah dunia kampus yang tidak lagi menjadi panutan.
IAIN Ar-Raniry dalam beberapa tahun terakhir tampak ‘linglung’ dalam mencari identitas. Rektor IAIN dikabarkan hendak menghapus IAIN di Aceh dan menggantinya dengan Universitas Islam Negeri (UIN). Ini ibarat bue drop daruet (agama kabur, umum remang-remang). IAIN belum mampu memberi kontribusi nyata dalam membangun peradaban Islam, tapi pada sisi lain IAIN hendak mengambil kavling tetangga dengan membuka fakultas umum. IAIN diyakini tak sanggup mengejar Unsyiah dalam bidang umum yang sudah lebih siap dari aspek infrastruktur dan SDM. Unsyiah terus melaju dengan kajian umum, sementara IAIN mencoba mengekor dan itu tidak akan terkejar. Begitulah ketika sebuah terobosan dilakukan tanpa perencanaan dan hanya mengedepankan ambisi.

Sebagai wujud cinta pada IAIN Ar-Raniry, saya secara khusus mengunjungi kampus IAIN pada Jumat (30/8/2013) pagi. Selain ingin memperkaya wawasan keislaman, saya hendak mengajak kerjasama untuk membangkitkan keterampilan mahasiswa, khususnya Fakultas Syariah, melalui berbagai kegiatan keterampilan hukum yang mungkin dapat didanai oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Tanpa sengaja, sepulang dari sana, saya melihat sebuah papan pengumuman tentang frekuensi kehadiran dosen yang ditempel dekat mesin finger print.

Betapa mengagetkan, di sana terpampang nama-nama dosen/pegawai yang sangat sedikit kehadirannya ke kampus, bahkan banyak yang tidak hadir sama sekali (nol). Dalam laporan yang ditandatangani oleh Kabid Laporan dan Evaluasi IAIN Ar-Raniry itu, sangat sedikit dosen yang hadir secara penuh. Duh, ini sebuah gejala tidak baik dan bahaya bagi kampus. Rektor IAIN dapat dinilai gagal dan berapor merah dalam memenej kampus karena banyak dosen yang bolos. Orang tua mahasiswa di seluruh Aceh tentu kecewa kalau mengetahui laporan banyak dosen bolos di IAIN Ar-Raniry.

 Membenahi kampus
Akhirnya, kita berharap IAIN Ar-Raniry yang dipimpin Prof Dr Farid Wajdi membenahi kampus untuk kemudian melaksanakan berbagai kegiatan cerdas dan tepat dalam membina umat sehingga perlawanan terhadap syariat Islam dapat diminimalisir, bahkan dihapuskan. Kasus-kasus pembangkangan terhadap syariat Islam seperti yang terjadi di Langsa mesti menjadi fokus kajian Lembaga Studi Sosial di IAIN dan kemudian melakukan aksi nyata di lapangan. IAIN harus berbuat sesuai prinsip Tri Dharma PT, tidak cukup hanya dengan berkoar-koar sambil mencaci-maki di atas mimbar Jumat. Dengan begitu Rektor IAIN akan dijuluki sebagai penyelamat jantong hate, bukan penghancur hate poma. Semoga!

* Safaruddin, S.H, Ketua Tim Pembela Muslim (TPM) Aceh. Email: nyaktafar@yahoo.com

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/09/05/menggugat-peran-iain-dalam-penegakan-syariat

Membangun Sinergi Pelaksanaan Syariat

Oleh Munawar A. Djalil --- 

SEJAK deklarasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh, 12 tahun lalu, telah banyak membawa hasil positif bagi masyarakat luas, tentunya bagi orang-orang yang paham akan indahnya syariat Islam. Namun bagi orang yang tidak mengerti substansi syariat, hal ini akan menjadi momok yang menakutkan bahkan bertendensi paranoid. Supaya masyarakat semua paham akan indahnya Dinul Islam, Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Syariat Islam secara kontinyu telah melakukan sosialisasi nilai-nilai syariat yang humanis kepada masyarakat. Namun usaha kreatif ini tidak maksimal tanpa dukungan dan sinergis dari semua pihak di Aceh, di antaranya media, ormas Islam dan seluruh stakeholders.

Media adalah satu komponen penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, termasuk dalam konteks sosialisasi pelaksanaan syariat Islam ini di Aceh. Sebagai penyampai informasi media sangat berkorelasi dengan misi Dinas Syariat Islam. Media menjadi sangat penting karena selama ini salah satu faktor kendala penegakan Syariat Aceh karena belum sampainya informasi syariat secara komprehensif kepada masyarkat. Satu fungsi yang harus dimainkan oleh media dalam kontek ini adalah fungsi transmisi nilai. Media harus menggambarkan nilai Islam dan kondisi ril yang ada dalam masyarakat, bukan malah mempopulerkan nilai-nilai yang bertentangan dengan semangat/spirit syariat Islam di Aceh.
 Mazhab ‘developmentalis’

Dalam sejarah perkembangan media kita pernah mengenal mazhab developmentalis, di mana media selalu membantu kinerja Pemerintah dalam program-program pembangunan. Hal ini pernah diterapkan di Malaysia, khususnya pada era PM Mahathir Mohammad. Kemajuan Malaysia hari ini tidak terlepas dari peran media dalam mensosialisasikan program Pemerintah, misalnya sosialisasi budaya antre, etika dalam berlalulintas, hidup bersih dan beberapa kebiasaan masyarakat lainnya menjadi arah pemberitaan media yang pada gilirannya mampu mengubah karakteristik masyarakat Malaysia.

Selain media, elemen terpenting lainnya yang harus bersinergi adalah ormas Islam. Ormas Islam merupakan pihak yang terdekat interaksinya dengan masyarakat. Karenanya keberadaan ormas Islam sangat strategis untuk menyamakan pemahaman tentang syariat dalam masyarakat Aceh. Secara umum ormas Islam di Aceh begitu getol memperjuangkan penegakkan Syariat di Aceh, melawan anasir-anasir negatif tentang syariat terkait adanya gerakan untuk melemahkan gerakan syariat di Aceh. Gerakan mereka sangat sistemik dengan menggunakan media sosial seperi facebook, twitter, dan lain-lain.  Kelompok penebar anasir negatif syariat ini sangat serius mengadakan diskusi terkait pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang rata-rata kapasitas wawasan keislaman mereka masih diragukan. Hasil diskusi mereka yang bias itu kemudian dikutip berbagai media nasional dan luar negeri dengan format pemberitaan yang sangat beragam terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Sebagai langkah antisipasi terhadap kelompok tersebut, ormas Islam dan pemerintah harus bersinergi dalam memperkuat akses dan mewarnai media massa dan media sosial dengan persepsi positif terhadap Islam.

Untuk maksud tersebut yang perlu dilakukan segera adalah mengevaluasi kerja-kerja yang pernah dilakukan oleh ormas Islam. Evaluasi ini sangat penting agar ormas Islam tidak terjebak pada sikap ghurur (lupa diri) dengan menganggap dirinya telah banyak berbuat, berkarya atau sikap-sikap lainnya yang membahayakan bagi umat Islam itu sendiri. Kemudian, self correction (koreksi diri), seperti kata Umar bin Khattab: “Hitunglah diri kalian, sebelum kalian dihitung, dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum kalian ditimbang.” Maka hendaklah kalangan ormas Islam selalu mengadakan self correction pada dirinya, untuk mengevaluasi gerak-geriknya selama ini dan meluruskannya jika terdapat penyelewangan dan bersedia menerima kritikan meskipun pahit.
Kehadiran Ormas Islam sesungguhnya bukan milik kelompoknya sendiri, tetapi ia juga milik Islam seluruhnya, juga milik generasi Islam yang akan datang, maka menjadi haknya juga untuk mengetahui letak kekuatan dan kelemahannya, untuk dijadikan sebagai pelajaran. Ketiga, menghindari perpecahan, karena selama ini yang masih melekat pada ormas Islam adalah perpecahan dan perselisihan. Penyakit ini memang kerap lekat dengan ormas. Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi konflik, mempermasalahkan hal-hal yang tidak prinsip, yang tentu sangat rentan untuk memunculkan perpecahan dan perselisihan. Namun demikian, untuk syariat Islam di Aceh ormas Islam telah banyak berbuat, malah kontribusi yang telah diberikan oleh ormas Islam untuk umat dan umat manusia tidak bisa dipandang sebelah mata begitu saja. Meskipun ormas Islam kadang-kadang bekerja di bawah naungan situasi dan keadaan yang sulit, namun tidak seorang pun yang bisa menyangkal derma bakti yang telah diberikan oleh ormas Islam. Ingat, tidak seorang pun pengamat yang adil yang dapat mengatakan bahwa peran ormas Islam dalam penegakkan syariat Islam telah membeku dan mengalami ketuaan.

 ‘Grand design’ syariat
Dinas Syariat Islam Aceh telah menggagas grand design Syariat Islam Aceh, seperti disampaikan Prof Dr Syahrizal Abbas (Kadis Syariat Islam Aceh) pada “Rakor Palaksanaan Dinul Islam” di Banda Aceh, pada 10-11 Juni 2013 lalu. Hemat saya, untuk merumuskan frame (kerangka) grand design ini saja perlu waktu tiga sampai lima tahun, sebab harus melibatkan semua stakeholder di Aceh. Karenanya perlu merumuskan beberapa kerangka prioritas untuk jangka waktu 3-5 tahun ke depan: Pertama, mendesain hukum publik yang mempuni dan apik seperti hukum muamalah, ekonomi syariah, termasuk hukum jinayah dan lainnya; Kedua, tata kelola pemerintahan yang islami, pelayanan birokrasi yang bersyariat; Ketiga, menata pendidikan yang islami baik dari aspek kurikulum maupun lingkungan pendidikan, dan; Keempat, menginternalisasikan hukum adat dalam bingkai syariat.

Saya rasa itulah kerangka prioritas yang harus dirumuskan terlebih dulu, sebab jangan sampai kata pepatah “maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Grand design ini sebagai peta jalan (road map) pengimplementasian syariat Islam di Aceh. Peta jalan tersebut dapat membangun masyarakat Islam Aceh dalam menentukan tahapan-tahapan pelaksanaan syariat, sehingga jelas aspek apa dari kehidupan masyarakat Aceh yang diperlukan saat ini dan masa depan. Ketiadaan peta jalan ini telah menyebabkan kegalauan masyarakat termasuk pemerintah dalam menjawab berbagai persoalan masyarakat dengan solusi syariat. Sehingga di beberapa daerah kabupaten/kota di Aceh telah bertindak sporadis dalam mencari solusi syariat.

Kita harapkan berbagai kegalauan itu akan terobati dengan lahirnya grand design sebagai pedoman bagi seluruh stakeholder Aceh dalam merancang program pembangunan yang berbasis syariat Islam. Seluruh Dinas, Badan dan Instansi terkait lainnya harus membuat program jangka pendek, menengah dan jangka panjang dalam bidang-bidang pembangunan berbasis syariah. Semua pihak harus bersinergi dan membangun komitmen bersama dalam rangka memberikan penguatan kepada masyarakat dan kelembagaan guna mendukung pelaksanaan syariat Islam ini di Aceh. Allahu a’lam.

* Dr. Munawar A. Djalil, MA, Pegiat Dakwah, dan Kabid. Bina Hukum pada Dinas Syariat Islam Aceh. Email: aburiszatih@yahoo.co.id

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/09/05/membangun-sinergi-pelaksanaan-syariat

Menunggu Qanun Kesejahteraan Sosial

Oleh Mirza Fanzikri --- 

SETELAH beberapa kali mendapat teguran serta sindiran dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, akhirnya anggota Komisi F DRPA pada 28 Agustus 2013 lalu, mulai melaksanakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) Rancangan Qanun (Raqan) Kesejahteraan Sosial. Meski terbilang kesiangan, ini merupakan langkah tepat yang dilakukan DPRA sebagai tindakan konkret untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Aceh, setelah sekian lama merasakan hidup dalam kesengsaraan akibat bencana alam dan sosial.

Walaupun tak seheboh Qanun Bendera dan Lambang Aceh, serta Qanun Lembaga Wali Nanggroe, namun pembahasan Raqan Kesejahteraan sosial diyakini jauh lebih urgent. Jika kesejahteraan yang merupakan kebutuhan dasar semua masyarakat Aceh, sedangkan bendera, lambang, dan lembaga wali nanggroe merupakan ‘gensi politik’ bagi Pemerintah Aceh, maka kondisi Aceh saat ini tak ubah ibarat seorang manusia yang sedang sangat lapar tapi memilih berbelanja pakaian baru untuk gaya dan kemewahan, ketimbang membeli beras sebagai kebutuhan pokok. Ini merupakan suatu tindakan salah jep ubat (baca: kurang tepat) dalam membangun Aceh yang pro-rakyat.

 Kesejahteraan sosial
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara nasional telah mendapat jaminan dari Negara dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Secara khusus, Aceh punya keistimewaan tersendiri dengan adanya Qanun (perda) tentang Kesejahteraan Sosial sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Dengan demikian, kiranya qanun tersebut dapat menjamin kesejahteraan sosial masyarakat Aceh secara kolektif, konkret, dan berkelanjutan. Qanun ini harus benar-benar menjadi tanggung jawab eksekutif untuk menjalankannya, bukan sekadar ‘bahan dagangan’ dan pencitraan.

Dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial, ada dua target yang harus dibenahi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial: Pertama, meminimalisir masalah sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, KDRT, masalah kesehatan, pendidikan, dan lain-lain; dan kedua, memberi pelayanan (service) kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti penyandang cacat (disable), gelandangan, pengemis, korban penyalahgunaan NAPZA, ODHA, lansia, wanita rawan sosial ekonomi, dan lain-lain.

Untuk membenahi masalah sosial, pemerintah harus menyediakan berbagai program pembangunan sosial yang sistemik. Dan untuk menangani PMKS pemerintah wajib memberikan pelayanan sosial secara klinis. Sehingga cita-cita mewujudkan kesejahteraan sosial benar-benar dibarengi oleh tindakan yang nyata.
Kategori rakyat sejahtera (people welfare) adalah jika masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasar; sandang, papan, dan pangan. Dan wujud dari kesejahteraan sosial, apabila rakyat telah terpenuhi kebutuhan dasar serta mampu menjalankan fungsi sosial secara fisik, mental, dan lingkungan. Untuk mencapai kondisi tersebut pemerintah harus malakukan peningkatan program-program pembangunan sosial yang berimplikasi pada kemandirian masyarakat.

 Pembangunan sosial
Menurut UN-ESCAPE, pembangunan sosial pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia melalui upaya-upaya untuk mengangkat manusia dari keterbelakangan menuju kesejahteraan. Prioritas pembangunan sosial mengarah kepada program peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan lapangan kerja, asuransi korban konflik, pemberian jaminan hari tua bagi lanjut usia, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat gampong.

Sejatinya pembangunan itu harus dilengkapi oleh tiga pilar, yaitu  sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya, sosial dan lingkungan lebih sering dikorbankan demi kepentingan ekonomi, tentu tak terlepas dari pengaruh virus kapitalisme yang menyebar dalam setiap kebijakan pembangunan. Pembangunan Aceh, 8 tahun pasca-perdamaian telah tumbuh dengan sangat pesat, terutama pembangunan infrastruktur. Sedangkan pembangunan sosial hanya sedikit yang mampu diakses masyarakat. Contoh konkrit pembangunan sosial dalam konteks lokal Aceh itu seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), bantuan beasiswa pendidikan, bantuan pendidikan dayah, program ADG. Di skala nasional ada program PNPM-Mandiri, Program Keluarga Harapan (PKH), Jamkesmas, bantuan dana BOS, dan program pemberdayaan masyarakat pedesaan.

Saat ini, pembangunan infrastruktur di Aceh telah menduduki tingkatan klimaks, maka pembangunan sosial dituntut untuk menyimbangi pembangunan fisik tersebut. Pembangunan fisik tanpa diimbangi pembangunan sosial ibarat tubuh tanpa ruh. Seperti pembangunan (fisik) rumah sakit tanpa program jaminan kesehatan, pembangunan (fisik) sekolah tanpa mutu dan kualitas pendidikan yang tinggi. Hakikatnya, pembangunan itu harus berdasarkan quality oriented, bukan semata project oriented. Sehingga, tujuan akhir (destination) dari pembangunan sosial kiranya mampu mendongkrak perekonomian Aceh serta terwujudnya masyarakat yang sehat, berpendidikan, dan bermartabat. Dalam sebuah slogan populer disebutkan: “pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan”. Keduanya saling mempengaruhi. 

Pekerja sosial
Pekerja sosial (peksos) merupakan salah satu profesi yang bertanggung jawab atas terlaksana kesejahteraan sosial. Seorang peksos, ia harus seseorang yang telah memiliki dasar pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai pekerjaan sosial yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial (social welfare service). Untuk memaksimalkan penyelenggaraan qanun kesejahteraan sosial di Aceh, kiranya pemerintah Aceh harus meningkatkan keterlibatan peksos professional di dalamnya. Dengan keterlibatan profesi tersebut, kiranya mereka mampu memberikan kontribusi konkrit dalam menuntaskan masalah sosial dan PMKS secara sistemik dan klinik. Kini beberapa peksos telah terdistribusi di berbagai instansi pemerintah dan swasta, namun nominalnya masih sedikit. Padahal mereka punya tupoksi yang sangat strategis untuk membangun Aceh berbasis kesejahteraan sosial.

Ke depan, keterlibatan pekerja sosial dalam program-program pembangunan sosial kiranya semakin banyak, seperti yang diterapkan oleh negara-negara Eropa. Sehingga masyarakat mampu merasakan secara langsung pelayanan sosial dari tenaga ahli yang memiliki social welfare service skill. Seperti perlunya keterlibatan pekerja sosial dalam program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) di rumah sakit sebagai pemberi pelayanan psikososial terhadap pasien dan keluarganya. Serta di berbagai pelayanan sosial lainnya.
Selain program JKA, satu program jaminan sosial yang telah berjalan di Aceh, tentu masyarakat juga mengharapkan adanya jaminan-jaminan sosial lainnya dari pemerintahan ‘Zikir’ (2012-2017). Semisal jaminan pendidikan, kesehatan yang lebih efektif, jaminan pekerjaan, asuransi masa tua, dan jaminan keamanan.

Oleh karena itu, kiranya DPRA dan Pemerintah Aceh segera menuntaskan Raqan Kesejahteraan Sosial. Karena qanun tersebut merupakan hadiah teristimewa bagi masyarakat Aceh di saat kondisi nanggroe serba ‘kekeringan’. Dengan adanya kebijakan pro-rakyat tersebut, semoga masa depan Aceh segera menemukan kejayaan dan kemerdekaan yang sejati. Semoga!

* Mirza Fanzikri, S.Sos.I, Alumnus Konsentrasi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: vanzikry.socwork@gmail.com

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/09/04/menunggu-qanun-kesejahteraan-sosial

“Aceh” Antara Feminisme dan Sadisme Seksual

Oleh: Zahrul Fadhi Johan ---- 
 
Perempuan ibarat sebuah magnet yang memiliki daya tarik tersendiri untuk diperbincangkan. Feminisme bukanlah sebuah isu baru, baik di dunia Barat maupun Timur. Kajian feminisme memberikan ruang pada perempuan untuk menunjukkan sikap resistensi dan eksistensinya terhadap kaum laki-laki. Dalam hal tersebut praktik patriarkhi merupakan alasan kaum perempuan. Perempuan dianggap inferior dan lelaki menganggap dirinya lebih superior dibanding perempuan.

Meminjam istillah Najmah dan Sa’di (2003:34), feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan ekploitasi terhadap perempuan, baik dalam keluarga, di tempat kerja maupun di masyarakat serta adanya tindakan sadar akan laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut secara leksikal. Kesadaran feminisme bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah penggolongan kelas atau status berdasarkan jenis kelamin (genderisasi). Dalam kajian feminis lebih menekankan sifat opresif (sifat yang keras) dan relasi gender.

Huda Sha Rawi dan Nabawiyah Musa merupakan dua tokoh perempuan Mesir dan juga sebagai pelopor feminisme dunia Timur khususnya bangsa Arab era 1879-1900. Keduanya memberikan pandangannya, bahwa perempuan harus belajar tentang apa artinya menjadi perempuan dan cara-cara perempuan bereaksi untuk merekonstruksi kembali peranannya.

Kaum perempuan Arab saat itu sangat dikekang oleh budaya patriarki. Perempuan tidak boleh mendapatkan pendidikan melebihi lelaki, apalagi menduduki sebuah jabatan di sebuah lembaga atau institusi tertentu.
Perempuan juga tidak dibolehkan meninggalkan rumah. Jikapun keluar dari rumah mereka harus menjaga kesopanan dengan menutup rambut dan wajah. Keterbatasan itulah yang diperjuangkan oleh kedua perempuan ini.

Berbeda halnya dengan kaum perempuan di Aceh, kebanyakan mereka lebih superior dibandingkan lelaki. Seperti halnya Laksamana Malahayati. Ia seorang perempuan yang sanggup memimpin 2.000 pasukan Inoeng Balee (janda-janda pahlawan yang telah gugur di medan tempur) untuk bertempur melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda (11/9/1599).Dan dalam pertempuran itu beliau berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam duel satu lawan satu. Dengan keberanian dan keperkasaanya wanita yang bernama lengkap Keumalahayati ini diberi gelar Laksamana Malahayati.

Perempuan Aceh lainnya adalah Cut Nyak Dhien. Beliau perempuan yang gagah perkasa, sangat disegani oleh kawan dan ditakuti lawan. Cut Nyak Dhien dilahirkan dikalangan bangsawan, oleh orang tua dan gurunya ia dididik dan dibekali ilmu agama. Pada 8 April 1973 pasukan Belanda dibawah pimpinan Kohler berhasil memasuki dan membakar Mesjid Raya Baiturrarahman. Di sanalah Cut Nyak Dien berteriak “wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita dirusak, mereka telah mencoreng nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak? Semangat itulah yang membuat Kohler tewas dalam pertempuran itu dan setelah itulah ia mulai memimpin perang melawan kafir Belanda.Selain dari kedua perempuan itu masih banyak perempuan Aceh yang tangguh dan perkasa. Seperti halnya Ratu Safiatuddin, perempuan pertama yang menjadi pemimpin di kerajaan Aceh. Cut Mutia, seorang perempuan yang berjuang bersama suaminya Teuku Muhammad, setelah suaminya meninggal beliau menikah lagi dengan sahabat dekat suaminya yaitu Pang Nanggroe, kemudian beliau kembali berjuang sampai gugur di medan perang.

Ketangguhan dan keperkasaan perempuan-perempuan Aceh tersebut, mengindikasikan bahwa perempuan-perempuan Aceh telah menunjukkan sikap eksistensi dan resistensinya terhadap kaum laki-laki. Mereka tidak pernah menuntut dan menyuarakan persamaan kelas dan gender. Jika ditinjau dari sisi feminisme, perempuan-perempuan tersebut layak dijadikan sebagai pelopor dan tokoh feminis di Nusantara. Apa yang terjadi di Aceh hari ini telah berbanding terbalik dengan zaman sebelumnya. Krisis moral dan pengaruh modernisasi telah merusak generasi muda Aceh. Fenomena diskriminatif terhadap perempuan sering sekali terjadi.

Beberapa bulan lalu, Selasa, 19 Maret 2013, Aceh digemparkan oleh kasus pemerkosaan dan mutilasi terhadap Diana, bocah perempuan berusia 6 tahun dan pelakunya itu adalah paman kandungnya sendiri.
Sebelumnya, Sabtu, 16 Maret 2013, seorang gadis remaja perempuan berumur 14 tahun yang masih duduk di bangku kelas II SMP di Kabupaten Bireuen juga menjadi sasaran empuk pemerkosaan oleh empat orang lelaki secara bergantian. Kedua kasus tersebut telah mencoreng wajah Negeri Syariah. Belum lagi kita kembali ke masa lalu, ketika daerah operasi militer (DOM) diterapkan di Aceh (1989-1998). Berapa banyak perempuan Aceh saat itu diperkosa dan dibunuh di Rumuh Gedong oleh oknum militer yang tidak bertanggung jawab?

Sadisme seksualitas yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban merupakan tindakan kebiadaban dan amoral. Hal ini disebabkan karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan sangat kental. Para pelaku sadisme seksualitas ini memanfaatkan sifat superiornya terhadap inferioritas kaum perempuan.
Di sisi lain, perempuan dihadirkan Tuhan untuk menjadi patner bagi lelaki. Dengannya, lelaki diharapkan untuk melakukan dialog dalam mengembangkan keturunannya.

Dalam konteks Aceh tersebut, wacana feminisme tampaknya perlu dikaji dan dianalisis lebih mendalam. Sebab, nilai historis dari sisi feminisitas sangat kental di Nanggro Aceh Darussalam. Wallahu A’lam. (*).

Zahrul Fadhi Johan
Alumnus Ma’had Al-Furqan Bambi, Kabupaten Pidie Aceh. Kini tengah menempuh studi di Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Email : fadie_aceh@yahoo.com.

Tulisan ini telah di muat dan diterbitkan di:
http://www.santrinews.com/Budaya/Esai/604/-Aceh-Antara-Feminisme-dan-Sadisme-Seksual

 
Positive SSL