Demokrasi Pancasila Belum Sepenuhnya Terealisasi di Indonesia

Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi ---

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa negara kita menganut sistem pemerintahan demokrasi Pancasila. Tapi telah terealisasikah sistem pemerintahan tersebut? atau telah sesuaikah semua sistem pemerintahan yang ada di Indonesia dengan acuan demokrasi Pancasila??

Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu “demos” dan “kratos”. Kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sedangkan, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang merupakan perwujudan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang mengandung semangat Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Pancasila juga diartikan sebagai demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila.

Prinsip Demokrasi Pancasila:
1.      Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.      Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban
3.      Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri dan juga orang lain.
4.      Mewujudkan rasa keadilan sosial.
5.      Pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat.
6.      Mengutamakan persatuan nasional dan ke-keluargaan.
7.      Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.

Sekarang mari kita bahas secara singkat beberapa prinsip-prinsip tersebut.
Pertama, mengenai persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata persamaan di sini memiliki makna bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Namun apa dalam dunia nyata hal tersebut dapat kita temui?? Tentu akan banyak pendapat yang berbeda-beda.

Namun, sebagian besar mungkin akan mengatakan bahwa belum adanya persamaan di mata hukum untuk semua rakyat Indonesia. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar atau tidak pula sepenuhnya salah, mengapa? Karena dalam kehidupan nyata memang banyak oknum yang dapat dengan mudah di beli suaranya atau sering di dengar dengan hukum dapat dibeli. Jadi dapat dikatakan bahwa bagi kalangan menengah ke atas maka hukum tidaklah menakutkan, tapi bagi yang tidak memiliki uang atau kalangan menengah ke bawah hukum dapat menjadi sangatlah menakutkan.

Selanjutnya, mengenai hak dan kewajiban sebagai WNI. Dalam UUD’1945 tercantum semua hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sebagai WNI kita memiliki 33 hak dan 8 kewajiban. Banyak sekali?? Memang banyak, namun semua itu memiliki porsi masing-masing dan juga memiliki syarat dan ketentuan tersendiri. Tapi sebelum kita meminta hak, sudahkah kita sebagai warga negara yang baik melakukan semua kewajiban kita? Hanya diri kita sendiri yang dapat menjawabnya. Dan yang terakhir akan kita bahas yaitu mengenai prinsip no 6, mengutamakan persatuan nasional dan ke-keluargaan. Kita semua sadar bahwa rasa kekeluargaan yang kita miliki satu sama lain perlahan terkikis. Rasa kekeluargaan itu hilang karena adanya egoisme yang meningkat.

Banyak kasus seperti demonstrasi, dan gerakan-gerakan daerah untuk mendirikan negara sendiri. Padahal dulu orang tua kita telah memperjuangkan seluruh yang mereka miliki untuk dapat menyatukan negeri ini. Tapi kenapa sekarang kita seakan tidak berterimakasih, kita seakan dengan sengaja memecah-belah semuanya. Sedangkan rasa egois itu juga berpengaruh besar pada persatuan negara kita. Ada perkataan yang benar-benar aku ingat sampai saat ini, “gedjed dapat membuat yang jauh terasa dekat, dan secara tak langsung membuat yang dekat terasa jauh”.

Dari semua bahasan di atas, walaupun tidak semua prinsip demokrasi Pancasila di bahas, namun dapat kita simpulkan bahwa Demokrasi Pancasila belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. Dengan demikian, jangan langsung kita limpahkan semua kesalahan pada Pemerintah. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab kita juga harus introspeksi pada diri kita sendiri. Seperti kata pepatah,” sebelum merubah dunia, maka rubahlah dirimu sendiri”. Dan satu lagi “jangan tanyakan apa yang telah negaramu berikan, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu”.

Dualisme Regulasi

 Oleh: Bisma Yadhi Putra ---
  
POLEMIK elektoral kembali terjadi di Aceh. Muncul dualisme regulasi terkait kuota pengajuan bakal calon anggota legislatif. Dalam Pasal 11 Huruf a Peraturan KPU No.7/2013, daftar bakal calon anggota legislatif yang dapat diajukan parpol paling banyak 100% dari jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap dapil. Sementara dalam Pasal 17 Qanun No.3/2008 dinyatakan, parpol lokal dapat memuat maksimal 120%.

Tidak ada pengecualian untuk parpol lokal di Aceh dalam PKPU tersebut. Padahal, persoalan parpol lokal diatur secara khusus dalam landasan hukum tersendiri. Terjadilah dualisme regulasi. Dualisme regulasi adalah adanya lebih dari satu kebijakan yang saling berbenturan satu sama lain tetapi mengatur sebuah permasalahan.

Persoalan ini menambah daftar “keteledoran” KPU dalam merumuskan peraturan untuk teknis penyelenggaraan pemilu. Sebelumnya, muncul polemik terkait sanksi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau penerbitan bagi media yang melanggar Pasal 46 PKPU No.1/2013. Peraturan ini dianggap berpotensi menghidupkan kembali rezim pemberangusan media, sehingga dicabut berdasarkan tuntutan dari banyak pihak.

Namun, KPU tak sepenuhnya salah. DPRA tak merevisi Qanun No.3/2008 ketika UU No.10/2008 diubah menjadi UU No.8/2012 yang menjadi acuan perumusan PKPU No.7/2013. Dalam Pasal 54 UU No.10/2008 disebutkan, daftar caleg memuat paling banyak 120 persen dari jumlah kursi pada setiap dapil. Qanun No.3/2008 mengadopsi aturan tersebut. Namun dalam Pasal 54 UU No.8/2012, jumlah tersebut diperkecil menjadi 100%.

Semestinya, DPRA tak teledor atau lalai pula. Seharusnya polemik ini mencuat dan diselesaikan ketika UU tersebut direvisi, bukan sekarang. Atau jangan-jangan, KIP dan DPRA sudah tahu masalah ini sejak lama, tetapi malah dibiarkan saja. Yang lebih parah, tentu saja, bila anggota-anggota DPRA baru tahu sekarang jika UU No.10/2008 telah diubah.

 Ketidakadilan politis
Hingga batas waktu penyerahan daftar calon sementara (DCS) pada 22 April 2012 lalu, belum ada ketetapan penggunaan regulasi. Akibatnya, sejumlah parpol di Aceh malah menyertakan bacaleg sebanyak 120% dalam DCS, sementara parpol lainnya tetap memuat 100%. Sebelum tahap penentuan daftar calon tetap (DCT), harus ditemukan solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Mengecualikan parpol lokal untuk tidak diatur dengan PKPU No.7/2013 jelas tidak adil secara politis bagi parpol nasional. Jika parpol lokal boleh mengajukan caleg sebanyak 120%, sedangkan parpol nasional hanya 100%, jelas tak adil!

Selain itu, seandainya Qanun No.3/2008 direvisi dengan memuat klausul pengecualian bahwa parpol nasional yang bersaing memperoleh kursi DPRA dan DPR kabupaten/kota di Aceh juga bisa mengajukan caleg sebanyak 120% dari jumlah kursi di setiap dapil, ini juga tak adil untuk parpol yang bertarung di daerah lain. Untuk asumsi yang ini, bantahan dengan argumen status kekhususan Aceh pasti muncul.

Lagian, ini tak adil secara jumlah hanya dalam muatan daftar caleg saja. Baik 100% ataupun 120%, sama-sama tak menyebabkan bertambahnya jumlah alokasi kursi di parlemen. Sebab, dalam sistem multi-member constituency, penetapan jumlah alokasi kursi ditentukan dari jumlah penduduk di dapil yang bersangkutan. Bukan persentase muatan daftar caleg.

Sebagai contoh: untuk Dapil Aceh 5 pemilihan anggota DPRA, alokasinya sebanyak 15 kursi; jika merujuk pada PKPU No.7/2013, maka Partai Mawar (bukan nama sebenarnya) dan parpol-parpol lainnya yang bersaing di dapil tersebut hanya bisa mengajukan sebanyak 15 caleg (100%). Jika 120%, maka dapat memuat 18 caleg. Seandainya Partai Mawar mampu meraih 15 kursi, tetap tidak semua caleg yang diusung bisa mendapat kursi. Tiga caleg gugur.

Dalam konteks 120%, yang berbeda hanyalah jumlah caleg berpotensi terpilih. Jika dari 15 hanya ada 10 caleg yang berpeluang besar terpilih, maka dengan 18 (120%) caleg barangkali jumlah yang berpotensi meraih kursi dapat menjadi 12 caleg. Lantas, mengapa ada parpol yang begitu getol memperjuangkan kuota 120%?

Parpol yang “keras kepala” mengajukan sebanyak 120% bacaleg tentu punya maksud politis. Belakangan, sejumlah kader beberapa parpol yang sudah jauh-jauh hari menyiapkan diri maju sebagai caleg harus kecewa. Parpol tempat bernaung tak mengakomodasi mereka. Yang direkrut parpol malah caleg-caleg dadakan, tetapi lebih mapan kemampuan finansial dan jaringan pemilihnya. Kader parpol justru tersingkir.

Dengan adanya kuota tambahan dalam daftar caleg, setidaknya “omelan-omelan tentang ketersingkiran” bisa berkurang. Jadi, semakin besar kuota caleg yang dapat diajukan, maka semakin menguntungkan parpol untuk meminimalisasi kisruh pencalegan.

Tak boleh ada ketidakadilan politis dalam pemilu legislatif (pileg). Pengecualian untuk parpol lokal tak bisa dibenarkan. Salah satu nilai ukur baiknya kualitas pileg adalah diterapkannya prinsip adil. Peluang bagi semua parpol yang bersaing merebut kursi parlemen harus sama.

 Kisruh elektoral
Ada dua opsi yang dapat diajukan untuk menyelesaikan kisruh elektoral ini. Pertama, karena telah lalai tidak merevisi Qanun No.3/2008 saat UU No.10/2008 diubah menjadi UU No.8/2012, publik dapat mendesak DPRA agar merevisi qanun tersebut. Ini bukan soal status kekhususan Aceh, tetapi kelalaian legislator-legislator di DPRA. Jika enggan direvisi, maka wajar bila masyarakat menilai kinerja mereka sama sekali tak membanggakan. Masyarakat yang cerdas tentu tak bangga jika kelalaian malah dianggap sebagai kekhususan.

Kedua, PKPU No.7/2013 direvisi dengan membuat pengecualian kepada parpol lokal dan parpol nasional yang bersaing di Aceh. Semua parpol bisa mengajukan caleg sebanyak 120%. Yang direvisi hanya soal kuota pengajuan caleg, sedangkan hal-hal penting lainnya --seperti kuota 30% keterwakilan perempuan-- tetap dipertahankan. Revisi ini bertujuan untuk menghindari penilaian bahwa KPU dan KIP telah mengabaikan kekhususan Aceh yang memiliki parpol lokal dan regulasi yang mengaturnya. Penilaian semacam itu bisa menyulut proliferasi kisruh elektoral.

Belajar dari Pemilukada Aceh 2012 yang berdarah-darah, ulah propagandis tak beradab membuat anggota KIP kerap mendapat teror karena dinilai telah “mengkhianati” UUPA. Dengan merevisi PKPU No.7/2013 guna mengecualikan parpol lokal dan parpol nasional yang bersaing di Aceh, mungkin tak akan muncul gemuruh resistensi terhadap KIP.

Untuk opsi yang pertama, rasanya nihil dilakukan. Pesimis. Pasti mayoritas Dewan tak berkenan. Saat ini, tak semua --barangkali bisa juga semua-- anggota DPRA punya banyak waktu untuk fokus melakukan revisi qanun tersebut. Mereka tengah sibuk dengan pemantapan DCT parpolnya masing-masing.

Demi parpol yang lebih diutamakan, mereka pasti aktif andil dalam persiapan kampanye pileg. Bahkan untuk yang maju kembali pada Pileg 2014, bisa lebih sibuk. Sebab, mereka mesti bertemu konstituen guna membentuk dan membugarkan struktur tim sukses. Namun, sebenarnya revisi tersebut tak akan memakan waktu lama, karena hanya membahas satu persoalan saja.


Bisma Yadhi Putra, Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe; anggota Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU). Email: bisma.ypolitik@gmail.com

Sumber:
Dualisme Regulasi - Serambi Indonesia

Menakar Keistimewaan Aceh

 Oleh Yusrizal ---

ACEH adalah suatu provinsi yang unik dan istimewa baik dalam perjalanan sejarah maupun pergolakannya. Namun dalam perjalanannya keistimewaan Aceh tergerus oleh perilaku manusia-manusia yang ada di dalamnya. Nilai-nilai istimewa yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Aceh masih jauh dari status yang namanya istimewa. Peran dan fungsi lembaga-lembaga adat sebagai wadah penyaluran dari entitas istimewa tersebut, masih belum berjalan secara maksimal. Keistimewaan di bidang agama, peradatan, pendidikan dan peran ulama dalam pengambilan kebijakan strategis di daerah terkesan hadir sebagai pelengkap dalam struktur organisasi kepemerintahan Aceh.

Secara singkat dapat digambarkan bahwa pemberian status istimewa Aceh adalah untuk meredam konflik antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh, yang pada saat itu Aceh diturunkan statusnya menjadi keresidenan dan berada di bawah Provinsi Sumatera Utara. Hal lainnya adalah adanya keinginan (alm) Tgk Daud Beureueh agar syariat Islam ditegakkan di bumi Serambi Mekkah. Hal ini menjadi satu pertimbangan lahirnya Keputusan Perdana Menteri RI No.I/Missi/1959 yang kemudian dikenal Missi Hardi, tentang pemberian status istimewa kepada Aceh dengan sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan keputusan ini, Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa yang meliputi keistimewaan bidang agama, peradatan dan pendidikan.

 Banyak menuntut
Permasalahannya sekarang adalah mengapa keistimewaan tersebut cenderung memudar seiring perkembangan dan perubahan sosial masyarakat Aceh. Padahal kalau kita melihat berbagai produk hukum yang mendukung keistimewaan Aceh di antaranya UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh dan yang terkini adalah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang begitu lugas dan tegas untuk diimplementasikan. Terkadang kita terlalu benyak menuntut terhadap hal-hal lainnya, tapi kewenangan yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat tidak difungsikan dan dijalankan secara baik dan benar, sebagai contoh pengelolaan dana otsus yang tidak tepat sasaran.

Keistimewaan yang diperjuangkan setengah abad lalu, belum menghasilkan dampak yang maksimal. Hal ini disebabkan karena belum berjalannya secara maksimal peran dari masing-masing komponen setiap lembaga pendukung keistimewaan Aceh itu. Akibatnya, di bidang pendidikan, misalnya, Aceh masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi-provinsi lain di Tanah Air. Meski ada Majelis Pendidikan Daerah (MPD), namun sejauh ini Aceh belum mempunyai suatu grand desain yang matang untuk masa depan pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal.

Padahal, dengan status istimewa di bidang pendidikan, Aceh bisa merancang konsep pendidikan yang tepat untuk dirinya, selaras dengan budaya dan adat Aceh yang islami. Boleh jadi, islamisasi pendidikan sebagai langkah tepat dalam membangun karakter generasi Aceh yang akan datang. Sebagai contoh adalah modifikasi dari materi pembelajaran yang berwawasan syariah lebih ditingkatkan. Sehingga liberalisasi pendidikan dapat ditekan. Hal Ini seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh untuk membangun pendidikan yang handal dan berkulitas sesuai nilai-nilai budaya Aceh, sehingga pendidikan di Aceh tidak semakin terpuruk dimata nasional.

Begitu juga keistimewaan di bidang peradatan, bagaimana mungkin generasi mendatang dapat memahami adat dengan baik jika dalam keseharian dalam keluarga dan masyarakat nilai-nilai keadatan Aceh tidak diperkenalkan secara baik. Sangat disayangkan bila pemahaman mengenai adat Aceh yang sudah diwarisi oleh indatu terdahulu hilang seiring dengan perkembangan zaman. Majelis Adat Aceh (MAA) harus mampu mansupervisi dan mendorong masyarakat untuk memahami serta mencintai adat dan budaya Aceh sejak dini. Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita.

Karena itu, peran MAA bukan hanya sebatas upacara seremonial semata, seperti peusijuk dan pelatihan-pelatihan tentang adat yang hanya diikuti oleh generasi tua, tanpa diimbangi untuk generasi muda. Kita memang istimewa di bidang adat, tapi dalam keseharian masyarakat kita jarang memperkenalkan adat dan budaya Aceh. Pada hakikatnya pelaksanaan adat yang baik akan menjamin tercapainya pelaksanaan HAM, ketertiban dan kedamaian.

Mengenai pelembagaan adat selain MAA dan lembaga adat lainnya juga terdapat dalam Pasal 99 ayat (1) UUPA: Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Ayat (2): Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe. Jadi, aturan hukum sudah memberikan jalan, sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana mereposisi kembali adat dan budaya Aceh dalam kehidupan sehari-hari.

Keistimewaan lainnya adalah adanya peran Ulama dalam memberikan kontribusi yang besar demi kemajuan Aceh, termasuk di dalamnya adalah pembinaan akhlak dan akidah umat. Mengapa itu penting, karena akhir-akhir ini justru pendangkalan akidah dan aliran sesat tumbuh subur di Aceh. Selanjutnya apakah Pemerintah Aceh dalam membuat kebijakan meminta pandangan para Ulama? Tentu pertanyaan ini harus dijawab dengan kebijaksanaan, harmonisasi antara Umara dan Ulama ini menjadi sangat urgen apabila setiap keputusan dan pertimbangan dari Ulama yang berbentuk fatwa, tausiyah dan rekomendasi dapat dilaksanakan untuk pembagunan Aceh dan berbagai aspek kehidupan.

Mengenai peran ulama sebagaimana disebutkan dalam UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh, Pasal 9 ayat (1) menyebutkan: Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Ayat (2): Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

 Kemauan dan kerja keras
Berdasarkan pemikiran di atas maka sesungguhnya implementasi keistimewaan di Aceh masih jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan, terkesan keistimewaan Aceh hanya sebatas simbol saja, atau mungkin kita sudah terlena dengan simbol dan pernyataan kaidah keistimewaan dalam aturan hukum saja. Sudah saatnya Pemerintah Aceh memikirkan ulang bagaimana pelaksanaan keistimewaan Aceh ke depan. Revitalisasi keistimewaan Aceh harus dimulai dengan kemauan dan kerja keras dari Pemerintah Aceh untuk mengalokasikan anggaran yang tepat serta adanya pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan keistimewaan tersebut.

Banyak sudah lembaga dibentuk di Aceh sebagai bagian dari provinsi yang berlabel istimewa, sehingga tidak alasan bahwa tidak ada bagian yang tidak diperhatikan karena sudah terlembaga dengan baik. Maka wajar apabila masyarakat Aceh mempertanyakan kembali keistimewaan yang diperoleh dengan susah payah itu, tapi tidak mempunyai efek yang nyata dalam pelaksanaannya. Untuk itu peluang otonomi khusus yang ada di Aceh dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemerintahan yang efektif serta pengembangan dan penanaman nilai-nilai budaya, pendidikan dan agama. Semoga!

* Yusrizal, S.H, M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), dan Pendiri Lembaga Kajian dan Konsultasi Hukum (LKKH) Lhokseumawe. Email: yusrizal_mh@yahoo.com

Sumber:
Menakar Keistimewaan Aceh - Serambi Indonesia

 
Positive SSL