Antara Islam dan Demokrasi

Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi ---  Memperbincangkan hubungan Islam dengan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis. Sebab, Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan, demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antaranggota masyarakat serta simbol yang diyakini membawa banyak nilai-nilai positif. Polemik hubungan demokrasi dengan Islam ini berakar pada sebuah “ketegangan teologis” antara rasa keharusan memahami doktrin yang telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntutan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai respons atas fenomena sosial yang telah berubah.

Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang kompleks. Sebab, dunia Islam tidak hidup dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat satu spektrum panjang terkait hubungan antara Islam dan demokrasi ini. Khalid Abu al-Fadl (2004), mengatakan bahwa meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial.

Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak dapat ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah, mendahulukan perdamaian, dan kontrol. Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep demokrasi.

John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza Sihbudi, 1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki. Pernyataan Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran mengenai hubungan Islam dengan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura`, ijtihad, dan ijma` merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.

Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga kelompok pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama, pandangan yang menyatakan jika Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kelompok ini memandang jika Islam sebagai sistem alternatif demokrasi sehingga demokrasi sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah meletakkan kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang sebagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang bahwa prinsip pemilu secara jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini menyetujui  adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya perbedaan antar Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi  jika demokrasi dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem politik yang demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam.

Tiga pandangan di atas merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan. Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam. Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligami. (QS. An-nisa' 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur'an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an, As-sunnah dan ijtihad para ulama.

Dalam pada itu, menurut hemat penulis, umat Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent) untuk dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu kepada ajaran kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan sebagainya.

Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam.
Penulis adalah Peneliti pada Study Center for Acehnese Democracy of Independent (SCAD Independent),, Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh.
Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia-Yogyakarta, pada tanggal 14 May 2013

Trend Bisnis Ureung Aceh

Oleh: Muharril Al Aqshar ---

MARAKNYA penipuan bisnis bodong yang menimpa masyarakat kita membuat penulis terpaksa mengelus dada. Betapa tidak, seolah tidak percaya akan tetapi benar adanya penipuan bisnis instan dengan menjanjikan keuntungan besar sering kali terjadi. Ironisnya walaupun maraknya investasi bodong yang diungkap oleh pihak berwajib namum korban penipuan berkedok investasi terus bertambah dengan beragam kasus. Inilah potret trend bisnis masyarakat kita yang sering kali tertipu dan tergiur dengan iming-iming untung besar, tanpa memikirkan sepak terjang bisnis tersebut.

Trend bisnis tersebut tumbuh dan melekat dalam pola pikir ureung Aceh dikarenaka para pelaku masih menganut prinsip ekonomi konvensional yaitu dengan menggunakan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Menurut hemat penulis, tabiat tersebut harus kita rubah, karena mayarakat aceh mayoritas beragama islam dimana didalam agama kita telah diatur tata cara melakukan jual-beli seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Keuntungan yang kita peroleh tentu saja harus wajar sesuai dengan proses dan ditambah biaya modal yang kita keluarkan. Bila hal tersebut kita amalkan Insya Allah penipuan berkedok investasi tidak mungkin terjadi.

Bisnis ikut-ikutan
Apapun jenis investasi yang kita jalankan, keutungannya sangat tergantung dari resiko dan modal yang kita keluarkan. Jika risiko besar dan modal besar otomatis keuntungan besar dan jika risiko bisnis kecil dan modal yang kita keluarkan kecil pastinya keuntungan juga kecil. Tidak mungkin risiko dan modal kecil keuntungan besar. Seperti apa yang disampaikan oleh indatu kita dalam sebuah pepatah Aceh; kuah beuleumak ue bek beukah atau uleu beumate ranteng bek patah. Barang kali pepatah tersebut bisa menjadi acuan kita dalam menjalankan bisnis.

Coba perhatikan gaya bisnis ureung Aceh dari tahun ke tahun, ada saja yang unik. Betapa tidak, bisnis yang dijalankan oleh kebanyakan masyarakat kita tidak ada inovasi, mayoritas bisnis yang dijalankan hanya ikut-ikutan. Sangat tepat bila ada yang bilang; wate meuhai pieneung pula piuneung dan wate meuhai camplie koh bak pineung pula camplie.

Contohnya pada 2004 sebelum tsunami, masyarakat Aceh tengah trend berbisnis burger dan roti bakar di samping trotoar. Tahun 2005 pascatsunami telah berubah, banyak yang menjalankan bisnis sewa rumah dan kendaraan. Bahkan, sekarang berubah lagi gaya bisnisnya pada warung kopi, sehingga kini Aceh dijuluki pula sebagai daerah sejuta warung kopi.

Ada juga bisnis yang bersifat long time dan masih bisa bertahan di tengah ketatnya persaingan. Seharusnya masyarakat yang terjun ke dunia bisnis melakukan analisis pasar sebelum melakukan usaha, guna melihat pengembalian modal. Jangan sempat usaha yang dijalankan bersifat short time, akan tetapi modalnya tidak kembali. Alat analisis yang paling sederhana bisa dipakai adalah dengan menggunakan Analis SWAT.

Tabiat dengan menggunankan jurus tradisional sudah bisa kita tinggalkan dan geser sedikit kearah yang lebih maju agar usaha yang kita lakukan bisa membuahkan hasil. Jangan sampai bisnis yang kita jalankan tidak bisa memberikan keuntungan dan bertahan lama. Selain itu, yang paling konkret harus belajar dari orang Cina cara berbisnis. Tidak bisa dipungkiri kalau urusan bisnis, ureung Cina harus kita berikan dua jempol.

Belajar dari Cina
Banyak analis yang mempridiksikan bahwa Cina akan menjadi “negara adikuasa” pada beberapa tahun mendatang. Pencapaian tersebut tentu saja tidak mungkin hanya usaha pemerintah semata, akan tetapi sangat didukung oleh semua lampisan masyarakat khususnya masalah perekonian. Perekonomian Cina secara mengejutkan bisa tumbuh 11% pada 2011, satu rekor yang belum pernah dicapai oleh negara lain di dunia, termasuk negara maju sekalipun. Inilah barang kali mengapa kita harus belajar banyak dengan orang Cina, khususnya belajar cara mareka menjalankan bisnis.

Orang Cina mempunyai banyak kelebihan dari kita, mereka mempunyai etos kerja yang luar biasa dan mempunyai sifat malu. Seharusnya orang-orang yang sering datang ke kantor untuk meminta bantuan harus malu. Karena badan nya sehat dan umurnya masih relatif muda ataupun produktif. Ironisnya bukan minta modal usaha, akan tetapi kebanyakan minta uang untuk membeli beras. Seharusnya mereka ada perasaan malu. Sebab, burung saja yang tidak memiliki akal, misalnya, mampu mencari makanan buat anaknya. Tabiat inilah yang harus kita evaluasi dengan mengadopsi tabiat ureung Cina.

Menurut Danang Sunyoto dalam bukunya Mengapa Banyak Orang Cina Kaya dan Berhasil dalam Bisnis (2009), pertumbuhan ekonomi Cina memang mengagumkan. Kunci keberhasilan Cina adalah semua orang berbicara dengan bahasa yang sama yaitu bagaimana memajukan perekonomian Negara. Pemerintah Cina pun mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu untuk mendukung perekonomian masyarakat, pemerintah cina menyediakan aturan dan berbagai kemudahan perizinan yang selalu selesai dalam waktu dua hari.

Ada beberapa konsep yang dipakai orang Cina dalam berbisnis yakni: Pertama, kerja keras, tangguh dan pantang menyerah; Kedua, prihatin sebagai motivasi perjuangan dan tidak bermewah; Ketiga, menjaga kepercayaan; Keempat, saling mendukung dan mendorong; Kelima, tertekan dan bangkrut lalu bangkit, dan; Keenam, orang-orang Cina penuh percaya diri. Inilah konsep dan menjadi tabiat Cina untuk meraih kesuksesan dalam bisnis. Untuk itu kita harus bongkar kebiasaan lama dengan cara banyak belajar dan meyontoh tabiat dari ureung Cina dalam menjalankan bisnis.

Bongkar kebiasaan lama
Mengubah kebiasaan lama memang bukan perkara mudah akan tetapi apa salahnya bagi kita untuk memcoba memikirkan hal-hal yang baru khususnya dalam urusan bisnis. Selain konsep di atas yang paling penting bagi kita adalah membaca peluang pasar. Jangan membaca peluang hanya meliat orang lain melakukan bisnis tersebut dan mendapatkan untung yang sangat besar tanpa memikirkan resikonya. Akan tetapi jalanilah bisnis dengan memikirkan inovasi baru dan yang belum pernah dipikirkan orang lain.

Hal tersebut dikarenakan prilaku ureung Aceh yang sangat senang mengonsumsi hal-hal baru. Bila ingin berbisnis, maka hal yang paling penting yang perlu dilakukan dan menjadi modal yang paling utama adalah sungguh-sunguh. Jangan berbisnis untuk jangka pendek, tapi pikirkan bisnis untuk jangka panjang, serta jangan lupakan berdoa, karena usaha tanpa doa adalah sombong dan berdoa tanpa usaha adalah sia-sia.

Dengan demikian bangkitnya usaha mikro bisa memberikan kontribusi dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional. Tidak perlu investor besar untuk memajukan perekonomian Aceh, akan tetapi Aceh hanya butuh keseriusan pemerintah dalam rangka membina dan membuat kebijakan yang pro terhadap pengusaha kecil dan menengah, sehingga usahanya bisa berkembang menjadi usaha besar.

* Muharril Al Aqshar
, Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Peneliti pada SCAD Independent. Email: aril.aceh@yahoo.co.id

Tulisan ini telah di muat di Harian Serambi Indonesia, pada hari Rabu Tanggal 22 Mei 2013
Trend Bisnis Ureung Aceh - Serambi Indonesia

Rapuhnya Pondasi Demokrasi Aceh

Oleh: Zulhilmi ---

“Bicara Demokrasi Aceh Sarat Intimidasi” itu terbayang  dibenak penulis ketika membaca media Aceh. Masih segar di ingatan pembaca kasus ancaman yang ditujukan kepada salah seorang kader perempuan partai politik lokal di Aceh. Pada Hari Rabu Seorang bakal calon legislatif (Bacaleg) perempuan bernama Zuhra dari Partai Nasional Aceh (PNA) mengaku diancam oleh seorang kader salah satu partai lokal lain (Serambi Indonesia).
Kasus intimidasi ini bukan untuk pertama kalinya terjadi pada proses pemilu di Aceh. Sebelumnya pada pemilu tahun 2009 aksi yang sama juga terjadi.  Ironis jika proses demokrasi itu kali ini juga diwarnai politik intimidasi, partai besutan Irwandi yang merupakan mantan Gubernur Aceh ini akan bernasib sama dengan Parlok-Parlok lain saat proses Pemilu 2009 yang lalu. Kedewasaan politik yang belum muncul di masa transisi ini menjadikan proses demokrasi berjalan tidak sehat. Banyak kalangan yang memprediksi Intimidasi pasti akan muncul jelang pemilu 2014.
Dimanakah letak demokrasi itu? Pertanyaan itu muncul ketika membaca media Lokal Aceh yang menunjukkan berbagai aksi intimidasi yang terjadi. Masa transisi politik di Aceh menjadikan proses demokrasi kehilangan Arah. Jika kita bisa berpikir secara jernih dapat menjadikan proses demokrasi menjadi baik. Icon demokrasi Aceh jangan sampai terkenal dengan demokrasi yang bias dan sarat dengan intimidasi.
Perbedaan pandangan secara politik itu hal yang lumrah dalam proses demokrasi. Namun, jangan sampai perbedaan itu menjadikan kita terpecah-belah dan melakukan intimidasi. Pesta rakyat itu hanya milik rakyat dan bukan milik Partai politik atau kelompok tertentu. Semua keputusan yang diambil oleh rakyat adalah sah secara demokrasi. Mentalitas politik Aceh masih belum siap untuk diuji karena faktor takut tidak mencapai tujuan atau kepentingan politik.
Pada Pemilu 2009 sebelumnya, intimidasi juga pernah menimpa beberapa partai politik baik lokal maupun nasional. Dan korbannya sangat beragam mendapatkan perlakuan intimidasi, dimulai dari teror, ancaman, pengrusakan atribut partai, dan pemukulan.  Jarang sekali hal ini dapat diusut tuntas oleh pihak Panwaslu dan sedikit sekali ditangani oleh pihak kepolisian. Hal ini, dikarenakan korban tidak berani melapor atau takut diteror lagi secara beruntun.
Proses yang berjalan ini menjadi tidak baik bagi sebuah dinamika demokrasi. Persoalan intimidasi akan terus muncul jika partai tidak bisa mengontrol kader atau simpatisan yang berada di tataran akar rumput. Selama ini ikrar pemilu damai sering didengungkan oleh Elite-elite partai, namun lini bawah tidak dikontrol dengan baik. Poin ini yang memunculkan masalah tersebut dan butuh kerjasama Partai politik dengan Pihak Panwaslu maupun aparat Kepolisian Daerah Aceh.
Minim Mentalitas politik
Merubah paradigma bahwa The Democracy Of People Power (Demokrasi Merupakan Kekuasaan Rakyat) pada masyarakat Aceh sangat sulit. Dimensi norma kejujuran tidak dimunculkan dalam proses demokrasi. Segelintir oknum simpatisan salah satu partai politik berani berbuat nekat. Hal ini dilakukan agar jargon politiknya menang dalam pemilu legislatif 2014 nanti.
Politik balas budi menjadi sebuah tujuan akhir jika partai tersebut menang. Karena kemenangan itu berujung kepada tujuan akhir Pembagian kue kekuasaan. Mentalitas Partai politik lokal di aceh belum memiliki kedewasaan sehingga intimidasi terjadi. Paradigma yang berbeda karena partai politik Lain warna membuat proses politik tidak sehat.
Mental politisi Aceh secara lokalitas sangat tidak mencerminkan nilai demokrasi. Mereka membiarkan simpatisan dalam politik bertindak dengan segala cara. Hal ini, memunculkan sikap mentalitas seorang politisi pecundang bukan pejuang. Norma politik lokal Aceh seolah menjadi sebuah pertunjukan yang bagus bagi pemerintah Pusat. Intimidasi ini menjadikan citra Aceh semakin terburuk dalam proses demokrasi.
Paradigma positif serta mentalitas baik harus dimunculkan oleh partai politik Lokal maupun nasional. Hal ini sangat penting dilakukan karena masyarakat Aceh saat sangat pintar dalam menentukan pilihan politiknya.  Sangat disayangkan bila perbedaan pandangan serta partai politik menghalalkan aksi intimidasi. Mentalitas takut kalah seharusnya dapat dibuang jauh-jauh oleh partai politik lokal maupun nasional di Aceh.
Kedewasaan Politik
Masyarakat Aceh sudah cerdik dalam menentukan pilihan politiknya pada saat pemilu nanti. Partai politik jangan melakukan intimidasi melalui oknum simpatisan dalam mencari dukungan. Kompetisi ini harus berjalan secara baik dan demokratis. Prosesnya masih panjang menuju tahun 2014. Partai politik harus bisa memberikan pemahaman kepada kader atau simpatisannya agar tidak melakukan intimidasi. Manajemen organisasi dan kontrol di tingkat bawah perlu ditingkatkan oleh masing-masing partai politik.
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh harus bisa lebih bijaksana sebagai penyelenggara. Sementara Panwaslu sudah bisa dilantik oleh Bawaslu. Hal ini, akan terus terulang jika tidak dilakukan antisipasi  oleh pihak Panwaslu. Selanjutkan libatkan kerjasama antara Partai politik, Panwaslu dan pihak kepolisian daerah Aceh. Hal ini perlu dilakukan agar Intimidasi pada saat Pendaftaran hingga Pelaksanaan Pemilu tidak terjadi lagi. (op).

(Penulis Adalah Alumni Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unimal, penggiat Komunitas Demokrasi Aceh Utara dan Masyarakat Aceh yang tinggal di Yogjakarta)


Mengakhiri Keraguan KIP Aceh

Oleh: Kurniawan ---

BEBERAPA pekan terakhir, Aceh kembali diramaikan dengan polemik hukum akibat sikap keraguan dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Kabupaten/Kota, terkait adanya dugaan dualisme hukum mengenai penentuan kuota maksimal usulan calon anggota legislatif (Caleg) parpol ke KIP.

Menurut Ketua Pokja Pencalonan Anggota KIP Aceh, Yarwin Adi Dharma SPt, dualisme regulasi ini terjadi antara Qanun Aceh No.3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK dengan Peraturan KPU No.7 Tahun 2013 (Serambi, 18/4/2013). Gubernur Aceh Zaini Abdullah melalui Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Edrian SH, pernah pula menawarkan sebuah solusi sebagai jalan keluarnya, yaitu dengan menggunakan Qanun No.3 Tahun 2008 , bukan menggunakan peraturan nasional. (Serambi, 20/4/2013).

 Bersifat lex specialis
Dengan disahkannya UUPA secara resmi Aceh mendapat pengukuhan status keistimewaan dan kewenangan khusus bagi Aceh. Satu kekhususan dan keistimewaan tersebut menyangkut partai lokal (parlok) sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (1) UUPA. Atas dasar inilah bahwa keberadaan parlok di Aceh bersifat lex specialis (ketentuan khusus), yang menjadi pengecualian bagi suatu daerah terhadap suatu aturan yang berlaku umum. Namun untuk hal-hal yang tidak dan belum diatur dalam peraturan yang bersifat khusus tersebut, maka ketentuan yang bersifat umum (lex generalis) tetap berlaku dalam rangka mengisi kekosongan hukum (juridisch vacuum).

Meskipun keberadaan parlok di bawah rezim hukum UUPA yang bersifat lex specialis, namun sifat ke-lex specsialis-an tersebut hanya terbatas menyangkut keberadaan parlok saja dan hal-hal yang diatur/ditentukan lain secara langsung dalam UUPA atau Qanun Aceh sepanjang diperintahkan oleh UUPA. Karena itu hal-hal yang tidak diatur dalam UUPA seputar penyelenggaraan Pemilu DPRA/DPRK dan juga tidak diperintahkan pengaturannya lebih lanjut dalam Qanun, maka UU No.8 Tahun 2012 sebagai lex generalis tetap berlaku untuk Aceh.

Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Qanun No.5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, salah satu dari 4 kriteria materi pengaturan Qanun disebutkan adalah dalam rangka “pengaturan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kondisi khusus dan kewenangan khusus Aceh yang bersifat istimewa”. Hal ini tidak bermakna bahwa dengan justifikasi lex spesialis daerah dapat mengatur tentang hal-hal yang menjadi kewenangan khusus dan kondisi khusus yang bersifat istimewa tersebut secara bebas dengan makna tanpa batas (voor onbepaalde tijd).

Hal tersebut mengingat dasar filosofi pemberian status keistimewaan (kenmerken) dan kekhususan (specificiteit) kepada Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UUPA adalah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat Aceh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam rangka menggapai sejahtera dan kedamaian rakyat di bawah naungan sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945. Sehingga karenanya peran dan kendali Pemerintah dalam hal ini menjadi sesuatu keniscayaan.

Tidak adanya pengaturan langsung dan perintah pengaturan lanjutan setelah melakukan telaah secara mendalam terkait dengan rumusan klausul menyangkut parlok yang menjadi satu icon kekhususan Aceh tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 75-95 UUPA, penulis tidak menemukan satu rumusan pasal pun yang secara khsusus mengatur mengenai “batas jumlah maksimum bakal calon yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan” dalam Pemilu anggota DPRA dan DPRK.

Selain itu penulis juga tidak menemukan satu pasal pun dalam UUPA yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut pengaturan mengenai “batas jumlah maksimum bakal calon yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon” untuk diatur lebih lanjut oleh Qanun Aceh. Dengan adanya materi pengaturan mengenai penentuan batas jumlah maksimum bakal calon yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Qanun Aceh No.3 Tahun 2008 menjadi suatu fenomena menarik untuk dikaji dalam aspek Hukum Tata Pemerintahan.

Bukan kewenangan dan kondisi khusus yang bersifat istimewa Pengaturan mengenai “batas jumlah maksimum bakal calon yang diusulkan dalam daftar bakal calon memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan” sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Qanun No.3 Tahun 2008, hakikatnya telah diatur dalam Pasal 54 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Karenanya, perumusan klausul Pasal 17 dari Qanun Aceh No.3 Tahun 2008 bukan merupakan norma baru (nieuwe norm), melainkan sifatnya hanya mengulangi/merumuskan kembali norma (herhaling van normen) guna menegaskan rumusan klausul sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 54 UU No.10 Tahun 2008.

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa, secara hukum, materi pengaturan mengenai batas jumlah maksimum bakal calon sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Qanun Aceh No.3 Tahun 2008 bukanlah merupakan kewenangan khusus dan kondisi khusus yang bersifat istimewa, melainkan hanya bentuk penegasan dan pengulangan kembali alias copy paste dari UU No.10 Tahun 2008.

Dengan telah dicabutnya UU No.10 Tahun 2008 seiring dengan hadirnya UU No.8 Tahun 2012 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 327, maka secara hukum turut pula tercabutnya secara otomatis (automatisch beroofd) seluruh peraturan pelaksanaannya (peraturan organik/delegated legislation) dari UU No.10 Tahun 2008, termasuk juga beberapa rumusan klausul yang ditegaskan kembali (copy paste) dalam Qanun No.3 Tahun 2008 tersebut. Namun demikian, kehadiran UU No.8 Tahun 2012 itu tidak pula bermakna mencabut sifat dan daya berlaku dari Qanun No.3 Tahun 2008 secara keseluruhan.

 Merujuk ketentuan nasional
Dengan demikian, hemat penulis, sebenarnya KIP Aceh dalam menghadapi polemik yang muncul mengenai batas jumlah maksimum bakal calon (balon) yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon pada pemilu legislatif, tidak sedang menghadapi dualisme hukum (dubbele rechtsgrondslag). Oleh karenanya, KIP Aceh tanpa perlu diragukan lagi, seyogyanya merujuk dan menjadikan ketentuan nasional (yang bersifat umum) yaitu Pasal 54, UU No.8 Tahun 2012 dan Pasal 11 huruf a, Peraturan KPU No.7 Tahun 2013 sebagai landasan hukum dalam penentuan batas jumlah maksimum bakal calon yang dapat diusulkan dalam daftar bakal calon yaitu maksimum 100% dari jumlah kursi yang tersedia pada setiap daerah pemilihan, dan karenanya bukan merujuk kepada Qanun No.3 Tahun 2008.

Dalam Pasal 8 ayat (2) UUPA yang menyebutkan: “Rencana pembentukan UU oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”. Perlu dipahami bahwa yang menjadi penekananan dalam rumusan pasal ini adalah terhadap rencana pembentukan suatu UU, yang secara langsung berkaitan dengan Pemerintahan Aceh atau dengan kata lain UU yang bersifat khusus (untuk Aceh).

Hemat penulis bahwa keberadaan UU No.8 Tahun 2012 pengaturan norma yang terkandung di dalamnya tidak bersifat secara langsung berkaitan dengan pemerintah Aceh, melainkan bersifat umum, yaitu menyangkut Pemilu DPR, DPD, dan DPRD secara nasional/umum, termasuklah bagi Aceh, kecuali ditentukan lain dalam UUPA. Sehingga karenanya, secara hukum dalam proses pembentukan UU No.8 Tahun 2012, Pemerintah tidak terikat dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUPA tersebut dan karenanya tidak ada kewajiban konsultasi dan meminta pertimbangan DPRA.

* Kurniawan, SH, LLM
, Pengamat Hukum dan Pemerintahan, dan Dosen Hukum Tata Negara/Tata Pemerintahan pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: kurniawanfh@yahoo.com

Tulisan ini telah di muta di Harian Serambi Indonesia, pada tanggal 16 Mei 2013
Mengakhiri Keraguan KIP Aceh - Serambi Indonesia

Menyoal Kebijakan KPU

Oleh: Amrizal J. Prang ---

KEBIJAKAN Komisi Pemilihan Umum (KPU), melalui Surat KPU No.324/KPU/V/2013 tentang Kedudukan Partai Politik Lokal dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRA dan DPRK, pada 7 Mai 2013 lalu, telah menimbulkan kontroversi. Padahal tujuannya untuk menghindari dualisme hukum persyaratan bagi partai politik (Parpol) baik nasional maupun lokal di Aceh dalam mengajukan bakal calon anggota legislatif. Dalam keputusan tersebut parpol mesti mengikuti PKPU No.07/2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, bukan Qanun Aceh No.03/2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK.

Objek dualisme materiil kedua landasan hukum tersebut adalah Pasal 11 huruf a, PKPU No.07/2013 menyebutkan: “Daftar bakal calon paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan”. Sementara, menurut Pasal 17 Qanun Aceh No.03/2008, menyebutkan: “Daftar bakal calon memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan”.

Secara eksplisit kedua norma hukum tersebut jelas kontradiksi, sehingga memerlukan adanya kepastian hukum, terhadap keberlakuan salah satu atau keduanya sekaligus. Namun demikian, secara axiology (tujuan) hukum tidak saja niscaya memenuhi kepastian, tetapi juga adanya keadilan dan kemanfaatan hukum. Menjadi persoalan terhadap kebijakan KPU ini adalah terkesan tidak mengkaji secara komprehensif terhadap keberadaan UUPA dan Qanun Aceh No.3/2008, sehingga malah tidak tercapai axiology hukum itu sendiri.

 Landasan hukum
Sebenarnya, keberadaan Qanun Aceh dan PKPU tersebut masing-masing mempunyai landasan hukum yang bersifat atributif (perintah langsung) undang-undang. PKPU No.07/2013, berdasarkan perintah Pasal 67 ayat (3) UU No. 8/2012 tentang Pemilu (UU Pemilu), disebutkan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU”. Di mana, dasar persen tersebut secara eksplisit diatur dalam Pasal 54 UU Pemilu.

Sementara, Qanun Aceh No.3/2008, perintah Pasal 80 ayat (2) UUPA, antara lain mengatur, bahwa parlok berhak ikut serta dalam pemilu untuk memilih anggota DPRA/DPRK dan mengajukan calon untuk keanggotaan DPRA/DPRK, diatur dengan Qanun Aceh. Berdasarkan, pasal tersebut keberadaan qanun lebih kuat dibandingkan PKPU.

Artinya, kedua UU tersebut memerintah langsung mengenai pencalonan diatur secara tersendiri masing-masing dengan PKPU dan Qanun. Oleh karena eksistensi UU Pemilu dan UUPA tersebut secara hierarkis setara, semestinya, KPU dalam membuat kebijakan atau peraturan juga melihat peraturan kekhususan lainnya, sesuai asas-asas peraturan perundang-undangan agar tidak menimbulkan permasalahan baru dan bisa dijalankan.

Akibat tidak adanya pertimbangan hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan kekisruhan dalam proses pencalonan. Padahal, menurut Jimly Assiddiqie, dalam bukunya Perihal Undang-Undang (2005:18), mengatakan antara lain, ada empat kategori peraturan tertulis: a) peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjuk kepada hal, atau peristiwa, atau kasus kongkret yang sudah ada sebelum peraturan itu ditetapkan; b) peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diaturnya, yaitu hanya berlaku bagi subyek tertentu; c) peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku bagi wilayah lokal tertentu; d) peraturan perundang-undangan bersifat khusus karena kekhususan daya ikat materinya, hanya berlaku internal.

Dari keempat kategori ini, maka eksistensi UU Pemilu masuk dalam kategori peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena subjek yang diaturnya, yaitu Pemilu. Sedangkan, UUPA juga dikategorikan khusus karena subyeknya Pemerintahan Aceh, meskipun hanya mengatur pemerintahan lokal Aceh. Mengutip pendapat Jimly Assiddiqie (2005:23), mengenai keberadaan undang-undang khusus, maka keberadaan UUPA walaupun mengatur pemerintahan lokal, tetapi keberlakuannya tetap bersifat nasional. Di mana mengikat semua subyek hukum dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, seperti Presiden, DPR, MK, MA, termasuk KPU.

Begitu juga dengan Qanun Aceh, sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena wilayah berlakunya (local wet) hanya di Aceh. Namun, daya ikatnya tidak hanya berlaku bagi subyek hukum di Aceh, tetapi juga bersifat nasional. Seharusnya, seperti KPU tidak boleh semena-mena dalam membuat kebijakan dengan mengabaikan local wet tersebut, karena sayogianya berlaku adalah Qanun Aceh, kecuali materiil qanun tersebut kontradiksi dengan UUPA. Hal inilah yang dikatakan Soerjono Soekanto (2010:17), salah satu bentuk pelanggaran hukum (tidak ditegaknya hukum) yang berasal dari undang-undang karena mengabaikan asas-asas berlakunya undang-undang.

 Asas pengeculian
Oleh karena itu, dalam teori hukum jika fenomena yang terjadi seperti ini, maka untuk memahaminya secara mendalam diperlukan pemahaman dan kembali pada asas-asas hukumnya. Karena, hukum itu sendiri direalisasikan kedalam empat tahap, yaitu asas hukum, kaedah (norma) hukum, peraturan hukum konkret dan yurisprudensi. Di mana asas hukum itu sendiri sifatnya umum, sehingga membuka peluang adanya penyimpangan-penyimpangan atau pengecualian-pengecualian (Sudikno Mertokusumo, 2012:45-46).

Dari asas-asas inilah perbedaan pemberlakuan tersebut menjadi pengecualian atau penyimpangan. Sehingga, dapat menyelesaikan konflik atau dualisme peraturan perundang-undangan. Untuk kasus UU Pemilu jo PKPU No.7/2013 vis a vis UUPA jo Qanun No.3/2008, dapat dirujuk antara lain, pada dua asas hukum. Asas lex specialis derogate legi generalis (peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum) dan lex posteriori derogate legi priori (peraturan yang baru mengalahkan peraturan yang lama).

Memang, jika melihat kedua asas-asas hukum ini ternyata terjadi juga konflik asas. Mengikuti lex specialis, maka yang berlaku UUPA jo Qanun Aceh. Sedangkan, mengikuti lex posteriori, maka yang berlaku UU Pemilu dan PKPU. Namun, inilah yang unik dari keberlakuan asas, menurut Sudikno (2012:48) asas tidak mengenal hierarki (tingkatan). Sehingga, juga tidak mengenal konflik antar asas, walaupun berbeda satu dengan yang lain, keduanya dapat eksis secara berdampingan, tanpa mengalahkan dan tidak dapat dipisahkan, tetapi membutuhkan satu sama lain yang merupakan antinomi.

Artinya, karena kekhususan Aceh meskipun sifatnya teknis, maka yang berlaku adalah materiil Qanun No.3/2008 plus juga materiil PKPU No.7/2013 selama tidak bertentangan dengan UUPA, bukan hanya dikhususkan pada UU Pemilu jo PKPU. Kalaupun, kemudian KPU bergeming dengan kebijakannya dan tidak konsisten dalam melaksanakan UUPA dan asas-asas hukum tersebut, maka bagi parlok mempunyai dasar hukum kuat untuk menggugat kebijakan tersebut kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau melakukan uji materil (judicial review) PKPU No.7/2013 kepada Mahkamah Agung (MA). Apapun nanti putusan peradilan keniscayaan diterima, sesuai dengan asas res judicata pro veretate accipitur (putusan hakim harus dianggap benar).      

* Amrizal J. Prang, SH, LL.M, Mahasiswa Program Doktor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com

Tulisan ini telah di muat di Harian Serambi Indonesia, pada tanggal 16 Mei 2013
Menyoal Kebijakan KPU - Serambi Indonesia

Masa Depan Parlok

Oleh: Azwir Nazar ---

TEKAD Irwandi Yusuf membentuk Partai Nasional Aceh (PNA) patut diapresiasi. Partai lokal yang didukung 17 mantan panglima GAM ini akan menjadi kekuatan politik baru di Aceh. Bila lulus verifikasi administrasi dan faktual, maka akan dapat mengikuti Pemilu Legislatif 2014. Selain PNA, muncul nama PDA, Partai SIRA Perjuangan, dan Partai SIRA jilid II.

Wacana pembentukan partai lokal (parlok) Irwandi Yusuf ini sudah lama disuarakan. Pada 16 Februari 2012 lalu, di Hermes Palace mereka menggelar konsolidasi eks panglima wilayah. Sofyan Daud, mantan Jubir Komando Pusat GAM juga telah berbicara lantang di media. Malah, awalnya partai ini ingin dideklarasi sebelum Pilkada Aceh 9 April lalu.

Munculnya partai lokal baru di Aceh akan menarik bagi konstelasi politik dan preferensi pemilih Aceh pada 2014. Di tengah pertanyaan besar akan nasib partai-partai lokal pasca-Pemilu Legislatif 2009. Sebab, hanya PA yang memperoleh 46,91% (33 kursi DPRA dari 69), Partai Daulat Aceh 1,85% (1 kursi DPRA), Partai SIRA 1,78%, PRA 1,70% dan PBA 0,77%. Artinya, selain PA tidak ada partai lokal lain yang mencapai 3% sebagai batas ambang parliaments threshold.

Sejarah
Lahirnya partai lokal tidak terlepas dari perundingan damai antara Pemerintah RI dan GAM, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Ini juga menandakan babak baru demokrasi Indonesia yang terus berkembang pascareformasi. Di mana pendekatan militeristik dan kekerasan tidak lagi mendapatkan tempat. Dominasi militer terhadap penyelesaian konflik bukan solusi penyelesaian masalah yang muncul di daerah. Demokrasi menuntut kesetaraan dan kebebasan berekspresi secara luas dengan menghargai segala perbedaan.

 Instrumen politik

Partai lokal menjadi instrumen politik resmi dan legal para pihak di Aceh untuk berjuang menyuarakan aspirasi mereka. Ia muncul sebagai bentuk implementasi klausul MoU Helsinki pada point 1.2.1. Kemudian dikeluarkannya PP Nomor 20 Tahun 2007 dan juga diakomodir dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada Bab XI.

Hadirnya parlok mempertegas era transformasi perjuangan rakyat Aceh dari era perang menuju transisi dan proses politik. Era damai ini memenangkan semua harapan rakyat dan para pihak yang bertikai. Bagi rakyat, damai ini adalah rahmat yang sudah lama dinantikan. Para pihak pun berkomitmen mewujudkan perdamaian abadi di Aceh dengan melaksanakan semua klausul-klausul yang disepakati dalam perundingan.

Kenyataannya, Pemilu 2009 PA menang telak dan menguasai parlemen Aceh. Partai lokal lain seperti tenggelam dalam dinamika politik Aceh yang keras. Banyak faktor yang menyebabkan mereka terhempas dan kalah secara tragis. Selain faktor internal, seperti waktu, SDM, logistik, mesin partai, juga persoalan strategi. Faktor eksternal juga sangat banyak. Masing-masing wilayah juga berbeda.

Sudah sepatutnya dengan belajar dari pengalaman kekalahan partai-partai lokal pada Pemilu 2009 lalu, PNA, PDA, Partai Sira Perjuangan, maupun Partai Sira Jilid II harus mampu menunjukkan diferensiasi dan membangun identitas. Terutama dengan Partai Aceh, sebagai pemenang dan lawan tangguh. Apalagi saat ini PA juga tidak saja menguasai parlemen, namun juga menguasai eksekutif baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Diferensiasi yang saya maksudkan adalah sebuah partai yang mampu menunjukkan posisi khas, jelas, meaningfull dan mempertegas perbedaan dengan yang lain. Sehingga perbedaan itu bernilai penting, istimewa ataupun superior dengan partai pesaing. Dengan demikian, akan mampu menunjukkan integritas dan citra sebuah partai baru. Lalu, pemilih pun akan mudah menjatuhkan pilihan terhadap partai tersebut.

 Memiliki karakter
Selain itu, partai politik harus memiliki karakter. Less Marshment (2001) membagi tiga karakter partai: Partai berorientasi product (Product oriented party); Partai berorientasi penjualan (Sales oriented party), dan; Partai berorientasi pasar (Market oriented party). Pilihan karakter ini yang harus dimiliki oleh sebuah partai. Jangan menjadi partai abu-abu. Ini penting nantinya dalam pemasaran produk politik sebuah partai.

Sehingga, partai tidak saja berorientasi jangka pendek yaitu ikut pemilu. Tapi partai harus menjadi sebuah gerakan perubahan.Punya mimpi untuk Aceh 20 tahun mendatang misalnya. Di tengah skeptisnya masyarakat akan prilaku elite politik yang ada, partai lokal masih memiliki masa depan untuk mensejahterakan masyarakat terutama di Aceh sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki partai lokal.

Tentu dengan visi yang tegas dan jelas. Sebab, tanpa diferensiasi, identitas maupun karakter, maka partai-partai lokal baru hanya menjadi kontestan penggembira pada Pemilu Legislatif 2014 nanti, tanpa mampu meraup atau merebut suara signifikan, apalagi menang pada pemilu mendatang.

* Azwir Nazar, Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

Tulisan ini telah dimuat di harian serambi Indonesia,  pada hari Rabu tanggal 9 Mei 2012
Masa Depan Parlok - Serambi Indonesia

Prospek Global Ekonomi Aceh

Oleh: Bulman Satar ---

ACEH memiliki segalanya untuk tumbuh dan berkembang menjadi nanggroe yang maju dan sejahtera. Hampir semua syarat sudah kita penuhi. Kombinasi antara sumber daya alam, manusia, fiskal, serta momentum perdamaian adalah modal teramat berharga yang belum tentu datang dua kali, sehingga harus betul-betul kita jadikan kesempatan untuk mencurahkan semua energi untuk membangun nanggroe meutuah ini menjadi lebih baik, maju dan sejahtera.

Mari kita membuka cakrawala. Lihat betapa strategisnya posisi Aceh dalam peta dunia, berada di kawasan Laut Hindia yang memungkinkan Aceh terhubung dengan banyak negara di kawasan Asia (Tengara, Selatan), Timur Tengah, Afrika, bahkan Eropa (melalui Terusan Suez). Dengan posisi geografisnya ini Aceh memiliki peluang dan akses yang sangat besar terlibat dalam interaksi perdagangan global dunia dengan membangun kontak-kontak perdagangan dengan negara-negara di kawasan tersebut.

Untuk itu dengan semua nilai plus ini sudah saatnya bagi Aceh go internasional, membangun ekonominya dengan “mindset global”. Tidak lagi tergantung dan dibodoh-bodohi oleh “mindset Sumatera Utara” yang nyata-nyata tidak fair dan telah menghisap ekonomi Aceh sampai pada tingkat paling akut. Ini bukanlah impian ambisius yang tak berdasar, tapi justru adalah peluang yang sangat realistis.

 Otsus dan UUPA
Kita memiliki lebih dari cukup modalitas untuk mewujudkannya: Pertama adalah status otonomi khusus (otsus) yang dibarengi dengan pemberlakuan UU No.11 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UUPA tersebut termaktub pasal-pasal yang memberi peluang bagi penguatan ekonomi Aceh  --dua di antaranya yang paling penting adalah pasal 4 ayat 3 dan tiga yang mengatur tentang kawasan khusus dan perdagangan bebas, dan Pasal 165 ayat 2 Bagian Perdagangan dan Investasi. Pasal-pasal UUPA ini adalah payung hukum yang memberi peluang besar bagi Aceh untuk membangun dan memperkuat pondasi ekonominya. Beberapa diantara pasal-pasal ini bahkan telah ditetapkan peraturan pelaksana dan qanunnya.

Kedua, sejalan dengan penetapan status otonomi khusus, Aceh juga menerima kucuran dana otsus yang cukup besar dari pemerintah pusat, yaitu kurang lebih sebesar Rp 100 triliun dalam kurun waktu 20 tahun (2008-2027). Injeksi dana otsus ini dengan sendirinya akan menjadi modal yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh. Ketiga, tentu posisi strategis Aceh di ujung pulau Sumatera yang langsung dapat terkoneksi melalui jalur laut dengan berbagai negara di beberapa kawasan yang berbatasan langsung dengan samudera Hindia.

Peluang tersebut semakin besar karena Aceh di dukung oleh modalitas keempat, yaitu kondisi infrastruktur yang sudah sangat memadai baik infrastruktur jalan maupun infrastruktur pelabuhan. Infrastruktur jalan di pantai Barat-Salatan dan Utara-Timur sudah sangat baik dan mendukung. Hanya di poros tengah saja yang mungkin harus ditingkatkan. Sedangkan untuk infrastruktur pelabuhan, di pantai Barat-Selatan kita memiliki pelabuhan pendukung mulai dari pelabuhan Sinabang Simeulue, Singkil, Aceh Selatan, Abdya, da di Aceh Barat. Sedangkan di Utara-Timur kita memiliki pelabuhan pendukung di Idie dan Langsa (Kuala Langsa).

Di samping berbagai pelabuhan pendukung tersebut, kita memiliki pelabuhan Malahayati Krueng Raya, Aceh Besar dan pelabuhan Krueng Geukeuh Lhokseumawe yang dapat kita plot sebagai pelabuhan peti kemas, dan pelabuhan utama pelabuhan Sabang untuk pusat kegiatan ekspor-impor. Pilihan pelabuhan Sabang di sini sebagai pelabuhan ekspor-impor tentu tidak terlepas dari status Sabang sebagai kawasan free-port dan free-trade.

Kelima, sesuai dengan RPJP Aceh tahap II yang dimulai pada 2013 ini, dimana satu fokusnya adalah menjadikan agroindustri sebagai basis ekonomi Aceh. Karena itu, program industrialiasi pertanian sudah harus didorong untuk meningkatkan kapasitas produksi berbagai komoditas pertanian berorientasi ekspor baik dalam bentuk mentah seperti sayur dan buah-buahan dari wilayah tengah, maupun dalam bentuk produk olahan dari pantai Barat-Selatan dan Utara-Timur. Semuanya dapat dimobilisasi baik melalui jalur darat maupun jalur laut dari semua titik pelabuhan yang telah tersedia, ke pelabuhan utama di Sabang untuk diekspor ke luar negara-negara sebagaimana telah disebutkan di atas.

Keenam, momentum lain yang juga tak kalah penting adalah terkait dengan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang menempatkan Aceh dalam Koridor Ekonomi Sumatera dengan fokus sebagai sentra pengambangan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi. Secara geostrategis, Aceh sebagai bagian dari Sumatera dalam konteks ini juga sangat berpeluang menjadi gerbang ekonomi nasional ke pasar Eropa, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur dan Australia.

Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi Aceh ber-mindset global ini Pemerintah Aceh perlu menyiapkan dan mematangkan skema sinerginasasi lintas wilayah antara pemerintah Aceh di level provinsi dan kabupaten/kota, dan lintas sektoral antara SKPA-SKPA, SKPK-SKPK, dan SKPA-SKPK.

 Siapa melakukan apa
Dalam skema sinergisasi ini perlu dipertegas siapa melakukan apa dan bagaimana kerja-kerja kewilayahan dan sektoral tersebut saling terhubung, sinambung dan sinergis satu sama lain. Misalnya, Bappeda menyiapkan peta jalan (road map), Dinas Perindustrian dan Perdagangan menyiapkan regulasi yang mengatur mekanisme proteksi terhadap produk atau komoditas lokal Aceh dari infiltrasi produk luar, Dinas Perhubungan dan Komunikasi mengatur regulasi terkait status dan fungsi pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh, meningkatkan sarana pelabuhan-pelabuhan di Aceh.

Menghidupkan aktifitas pelabuhan-pelabuhan di Aceh, khususnya pelabuhan-pelabuhan utama seperti pelabuhan Krueng Geukueh, Malahayati, dan Sabang, tidak hanya sebagai pusat distribusi komoditas ekspor dari Aceh tapi juga dapat menjadi terminal bagi kapal-kapal yang bergerak dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak, yang membawa barang atau komoditas ekspor ke negara-negara di kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, bahkan sampai ke Eropa.

Kemudian Dinas pertanian, Perkebunan, dan Badan Pangan, dapat mematangkan konsep pengembangan dan penguatan agroindustri, misalnya dengan program industrialiasi pertanian untuk beberapa komoditas unggulan seperti pala dan nilam di Aceh Selatan dan Abdya; CPO di Aceh singkil, Subulussalam dan Nagan Raya; kopi dan holtikultura (sayuran dan buah) di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues; pinang di Aceh Utara, kakau di Nagan Raya dan Pidie Jaya, dsb.

Langkah industrialisasi pertanian ini penting untuk mendorong orientasi ekspor Aceh ke luar negeri dalam bentuk barang jadi, tidak lagi dalam bentuk bahan mentah yang selama ini nyata-nyata tidak memberi dampak signifikan terhadap perekonomian Aceh. Paralel dengan penguatan langkah-langkah sektoral ini, Badan Investasi Aceh juga dapat ikut berperan dengan mempromosikan peluang-peluang investasi di Aceh di berbagai event-event promosi investasi baik di dalam maupun di luar negeri.

Langkah-langkah ini seyogyanya tidak boleh bergerak sendiri-sendiri secara parsial tapi mesti dirancang dalam sebuah skema besar yang terintegrasi sebagai program masterpiece Pemerintah Aceh. Jika semua skenario ini dapat didorong dan dikelola dengan baik, dengan visi dan komitmen kuat dari Pemerintah Aceh, maka peluang Aceh bukan hanya sekadar dapat terlibat, tapi sangat mungkin menjadi bagian penting dalam lalu lintas perdagangan global dunia di masa-masa yang akan datang.

* Bulman Satar, Pemerhati Masalah Pembangunan. Email: abul_03@yahoo.com

Tulisan Ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia Pada tanggal 8 Mei 2013
Prospek Global Ekonomi Aceh - Serambi Indonesia

Masa Depan Dayah

Oleh: Tabrani ZA Al-Asyhi ---

DAYAH adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh pada abad pertama Hijriah. Dayah menjadi pusat dari pembahasan mengenai pendidikan Islam dalam konteks masyarakat Aceh baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dimulai dari pendirian Dayah Cot Kala Langsa, kemudian lembaga dayah menyebar ke berbagai penjuru daerah bahkan sampai ke Nusantara, Malaysia dan Thailand (Saifullah; Serambi Indondesia, 8/2/2013).

Penulis meyakini bahwa pemimpin-pemimpin Aceh masa lalu termasuk Sultan Iskandar Muda adalah sosok yang juga mengenyam pendidikan dayah sebelum menjadi penguasa, walaupun tidak ada catatan yang lebih rinci mengenai hal ini yang bisa ditemui dalam literatur-literatur sejarah Aceh yang ada. Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan baik. Karena itu, dayah tidak hanya menghasilkan ulama saja, tapi juga politikus maupun negarawan yang berpengaruh.

Secara historis, dayah merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Selain dayah salafiah (dayah tradisional), dalam perkembangannya dayah mencatat kemajuan dengan munculnya dayah-dayah baru dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi, yang sekarang disebut dengan dayah modern atau dayah terpadu.

 Eksistensi dayah
Eksistensi dayah menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Dayah menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.

Kini perkembangan dayah dengan sistem pendidikannya mampu mensejajarkan diri dengan pendidikan lain pada umumnya. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan dayah maupun pendidikan Aceh bahkan nasional pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.

Eksistensi dayah tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti dayah selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara khususnya daerah Aceh. Perjuangan dayah baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa dihapus dari catatan sejarah Aceh. Dan kini generasi santri tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah), baik eksekutif maupun legislatif yang dulunya hanya sebatas mimpi.

Landasan kultural yang ditanamkan kuat di dayah diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik. Baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel. Ini penting karena dayah merupakan kawah candratimuka bagi munculnya agent of social change. Dan daerah khususnya Aceh sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian pemerintah bagi perkembangan dayah sangat diperlukan.

Kalau selama ini dayah telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan masyarakat, maka harus ada simbiosis mutualisme antara keduanya. Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian serius atas kelangsungan dayah. Kalau selama ini dayah bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh pemerintah dengan serius. Badan Dayah yang kini ada Aceh, bukan hanya sekadar menambah SKPA di jajaran Pemerintah Aceh, melainkan harus benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dalam memajukan dayah-dayah yang ada di daerah ini.

Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara dayah dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Tapi di sini perlu digaris bawahi bahwa revitalisasi relasi antara pemerintah dan dayah adalah relasi yang sebenarnya, bukan relasi yang hanya kepentingan waktu pilkada dan pemilu sudah di ambang pintu, yang berlomba-lomba mendatangi dayah, mendekati pimpinan dayah agar mulus perjalanannya menuju apa yang diinginkan, dan bahkan supaya mulus untuk duduk di periode selanjutnya. Atau sebaliknya dari unsur pimpinan dayah sendiri atau dari kalangan dayah yang membawa nama dayah untuk menuju kepentingan kelompok dan pribadi demi ambisi meraih kekuasaan.

Selama ini sistem pendidikan kita belum sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara maupun daerah berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal bagi kepentingan bersama (nasional), bukan hanya kepentingan sektoral. Inilah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan kita saat ini.

Terpencarnya penyelenggaraan pendidikan menyebabkan banyak masalah. Salah satunya adalah alokasi anggaran yang tidak maksimal. Selama ini pemerintah memandang pendidikan sebagai bagian dari Dinas Pendidikan. Oleh sebab itu, seluruh anggaran pendidikan dialokasikan untuk dinas pendidikan. Konsekuensinya pendidikan di bawah departemen atau dinas lain mendapatkan alokasi dana seadanya.

Kenyataan tersebut tentu merupakan konsekuensi dari paradigma struktural yang melihat pendidikan hanya merupakan tanggung jawab dinas pendidikan. Kita bisa menyaksikan kesenjangan dana yang diterima Kemenag dan Badan Dayah atau antara perguruan tinggi Islam seperti IAIN/UIN yang di bawah kendali Kemenag dengan perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Kemendiknas, perbedaannya sangat jauh.

Begitu pun dayah, yang selama ini eksistensinya lebih bersifat swadaya akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apalagi saat ini dayah mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Maka, sudah sepantasnyalah pendidikan dayah disetarakan dengan pendidikan lainnya.

Dayah Masa Depan
Eksistensi dayah di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Dayah yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan.

Dayah tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan dayah sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut dayah untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan.

Masa depan dayah ditentukan oleh sejauh mana dayah menformulasikan dirinya menjadi dayah yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah ke arah tersebut, tampaknya, telah dilakukan dayah melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif dayah atas perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya.

Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan dayah menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual seperti yang telah diperankan oleh dayah MUDI Mesra Samalanga, Dayah Manyang PUSKIYAI di Aceh Barat Daya, Dayah Darussalam Labuhan Haji dan dayah-dayah lainnya. Dari dayahlah sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Semoga!

* Tabrani ZA Al-Asyhi, Peneliti pada Study Center for Acehnese Democracy of Independent (SCAD Independent), dan Alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh. Email: itab_aceh@ymail.com

Tulisan ini telah di muat di Harian Serambi Indonesia pada tanggal 7 Mei 2013
Masa Depan Dayah - Serambi Indonesia

Aceh 'Kagura'

Oleh: Zahrul Fadhi Johan 
---


KAGURA, kata ini sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi sosial-politik Aceh hari ini. Lebih kurang 30 tahun lamanya Aceh bertikai dengan Pusat. Pada 15 Agustus 2005 menjadi hari yang sakral terjadinya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI), rakyat telah menaruh harapan besar atas perdamaian tersebut.

Rasanya konflik telah menjadikan rakyat Aceh patah arang, jenuh atas penderitaan dan kesengsaraan. Di sebalik itu, hanya sebagian kecil atau kelompok-kelompok tertentu yang merasa diuntungkan oleh kondisi tersebut. Setelah perdamaian, masyarakat merasa lega dan leluasa untuk melakukan segala aktifitas keseharian, tetapi pil pahit dan rasa traumatik masih membekas dalam diri masyarakat.

Setelah damai, Aceh ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Masyarakat Serambi Mekkah kembali merekonstruksi tatanan sosial, struktur budaya yang telah pudar, perekonomian carut-marut, pendidikan tertinggal jauh dengan daerah lain. Padahal, Aceh pada era 1496-1903 dikenal sebagai ladang ilmu pengetahuan, memiliki pemerintahan yang teratur dan sistematik, menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer untuk menentang imperialisme bangsa Eropa, Aceh juga dijadikan sebagai kiblat ilmu agama di Nusantara.

Delapan tahunan perdamaian sudah berlalu, sekarang masyarakat mulai merasa getar-getir dengan kondisi suhu politik yang tidak stabil. Muncul beberapa kelompok yang merasa bahwa Aceh adalah milik mereka, sehingga sumbu-sumbu konflik mulai dihidupkan kembali.

Senin, 2 April 2013 seribuan masyarakat Aceh dari berbagai kabupaten/kota datang ke Banda Aceh untuk melakukan konvoi mengelilingi kota Banda Aceh dan melakukan aksi pengibaran Bendera Bulan Bintang di Gedung DPRA. Massa juga menuntut kepada Pemerintah Pusat melalui Mendagri untuk mensahkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang telah ditandatangani oleh Gubernur Aceh pada 25 Maret 2013.

Besoknya, sebagian kecil masyarakat di Aceh Barat membagikan 1.000 lembar Bendera Merah Putih, aksi tersebut menandakan bahwa sikap resistensi terhadap bendera dan lambang yang telah disahkan dalam Qanun No.3 Tahun 2013 oleh Gubernur dengan alasan bendera dan lambang tersebut adalah milik GAM dan tidak merepresentasikan masyarakat Aceh secara menyeluruh.

Resistensi lain dilakukan oleh sebagian masyarakat yang mengatasnamakan perwakilan dari masyarakat dataran tinggi Gayo pada Kamis 4 April 2013, mereka melakukan aksi pembakaran bendera Bulan Bintang dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil mengusung Bendera Merah Putih di kota Takengon dan Benar Meriah. Mereka juga menuntut apabila Qanun Bendera dan Lambang Aceh disahkan seperti lambang GAM oleh Pemerintah Pusat maka mereka akan menuntut pemisahan diri dari provinsi Aceh.

Relasi obyektif
Bendera dan lambang merupakan arena produksi dan sirkulasi barang-barang simbolis yang didefinisikan oleh Pierre Bourdieu (2010:141) sebagai sistem relasi obyektif sebuah instansi secara fungsional berperan dalam pembagian produksi, reproduksi dan penyebaran barang-barang simbolis.

Struktur arena itu muncul akibat oposisi antara arena produksi terbatas sebagai sistem yang memproduksikan barang-barang kultural yang secara obyektif ditujukan kepada publik produsen barang kultural skala besar, khususnya didasarkan pada sebuah pandangan produsennya bahwa produksi barang-barang kultural bisa dinikmati oleh publik luas yang bertujuan untuk dapat memperoleh pengakuan dari kelompok sesama dan para pesaing.

Dalam hal ini, Bendera dan Lambang Aceh adalah sebuah simbol penunjukkan jati diri keacehan untuk mendapatkan legitimasi dari pihak lain; Bahwa, Aceh pernah menjadi sebuah negara berdaulat sebelum Tengku Daud Beureueh menyatakan Aceh bergabung dengan Indonesia saat proklamasi kemerdekaan 1945, dan pernah mengalami masa kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Bendera dan Lambang juga dianggap sebagai pemersatu semua etnis yang ada di Aceh. Jika melihat kondisi Aceh hari ini, tanda tanya besar timbul di benak kita. Apa makna sebuah simbol jika terjadi perpecahan di Aceh? Bukankah satu tujuan dari perjuangan GAM saat itu adalah ingin menjadikan Aceh sebagai negara berdaulat tanpa adanya perpecahan?

Jika perjuangan yang menghabiskan waktu selama 30 tahun hanya sekedar melegalkan sebuah simbol dan lambang untuk euforia semata, berarti Aceh tidak beda dengan provinsi lain di Indonesia. Seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang juga memiliki Bendera Kesultanan. Begitu pula daerah Ternate yang memiliki lebih dari satu bendera, yaitu Bendera Kesultanan Ternate dan Bendera Rakyat Ternate. Kedua daerah tersebut tidak pernah melakukan perlawanan untuk menuntut merdeka dari Pemerintah Pusat, tetapi Yogyakarta dan Ternate memiliki simbol kebanggaan sendiri tanpa ada pro-kontra rakyatnya.

Alangkah indahnya kalau hari ini rakyat Aceh dapat merasakan kemerdekaan setelah apa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu, yang telah mengorbankan nyawa dan harta mereka demi mewujudkan Aceh yang bermartabat di mata Pusat. Merdeka bukan hanya berarti pemisahan diri dari sebuah negara untuk membentuk negara berdaulat.

Kemerdekaan bisa dimaknai sebagai tindakan kebebasan berfikir, kebebasan berkehendak tanpa ada kotomi khusus dari kelompok-kelompok tertentu yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apa makna sebuah perjuangan jika pada ujungnya rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan?

 Hilangkan egoisme
Jika hari ini kemerdekaan yang seperti itu tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh. Maka sekaranglah saatnya rakyat kembali bersatu untuk melawan segala kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Rakyat bosan dengan segala penindasan dan intimidasi dari berbagai lini, berikanlah ruang kepada rakyat untuk bisa menjalankan segala aktivitas secara normal.

Marilah sekarang sama-sama kita menghilangkan sikap egoisme dan sinisme antara satu sama lain. Aceh adalah milik seluruh rakyat yang bermukim di tanah Serambi Mekkah dari barat, timur, utara, selatan, tengah, dan tenggara, karna Aceh bukan hanya milik segelintir orang. Kalaupun ada kebijakan-kebijakan yang dapat memicu konflik untuk memecah belah bangsa Aceh dan ada pihak-pihak lain yang coba mengusik perdamaian di Aceh, sebaiknya pemerintah sesegera mungkin meredamnya agar semua kepentingan terakomodir dengan baik.

Untuk mengembalikan kedaulatan dan kejayaan Aceh, seperti halnya Hong Kong saat ini yang secara konstitusi masih di bawah kekuasaan Republik Rakyat Cina, tetapi negara tersebut dapat melakukan hubungan diplomatik dan bilateral dengan negara lain. Seharusnya pemerintah Aceh dapat mengambil contoh pola dan sistem yang dilakukan oleh Hong Kong.

Permerintah juga harus melakukan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) lokal sesuai dengan kebutuhan pasar untuk dapat mengembangkan sumber daya alam (SDA) yang ada di bumi Iskandar Muda ini. Pemberdayaan yang dilakukan pastinya tanpa adanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalamnya agar rakyat bisa makmur dan sejahtera.


(Zahrul Fadhi Johan-Peneliti dan Director of Division Education and Human Resources SCAD Independent)


Tulisan ini telah dipublikasikan dalam kolom OPINI Harian Serambi Indonesia, Senin 8 April 2013
Aceh 'Kagura' - Serambi Indonesia

Perempuan Aceh, Kekuatan Demokrasi Tersembunyi

Oleh: Daspriani Y. Zamzami

TAK perlu heran, jika partisipasi perempuan selaku politisi untuk ikut sebagai kontestan dalam pemilukada di Aceh April 2012 kemarin, ternyata sangat sedikit, bahkan mungkin lebih sedikit dari pemilu legislatif sebelumnya. Alasannya masih sama, kurang kuatnya dukungan terhadap calon-calon politisi perempuan, bahkan dari kaum perempuan itu sendiri, hingga rasa kurang percaya diri dan tidak diberi kepercayaan oleh pihak laki-laki.

Politik di antara kekuatan dan sedikit kelicikannya memang memberi apriori kepada kaum perempuan, termasuk perempuan di Aceh. Tak sanggup menjalankan demokrasi dengan hal-hal yang di luar kekuatan dan rasa kemanusiaan serta kejujuran, juga menjadi alasan ketidakmampuan atau bisa dikatakan ketidak setujuan kaum perempuan untuk bermain diranah politik. Namun demikian, jika ditilik lebih jauh kedalam, justru kiprah-kiprah demokrasi lebih banyak dilakukan perempuan dalam kesehariannya.

Hal yang paling kecil sangat terlihat bagaimana ketika para kaum peremuan ini kemudian berkumpul bersama disebuah kelompok pengajian atau kelompok “diskusi” harian di pedesaan. Di sana mereka biasa membahas suatu masalah dan kemudian mencari solusinya. Muncul menjadi pemimpin di rumah tangga manakala suami tak lagi mampu atau bahkan tidak ada lagi sama sekali, dilakukan langsung tanpa harus menunggu instruksi dari siapa pun. Kemudian memberi dan membagi tugas kepada anak-anak di rumah agar kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik, walau harus tertatih. Tugas-tugas memimpin seperti ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas kehidupan perempuan.

 Praktik demokrasi
Di sebuah desa di pelosok Kabupaten Aceh Selatan, saya juga menemukan ada banyak praktik demokrasi yang dilakukan kaum perempuan tidak hanya untuk kaumnya sendiri, bahkan untuk seluruh komponen masyarakat. Saya menemukan sosok Bunyani, perempuan muda yang aktif menjadi anggota tuha peut di desanya. Keberadaan Bunyani dalam kelompok tuha peut ini memberi angin segar dan kemudahan bagi masyarakat Desa Alay, Kecamatan Kluet Timur, Kabupaten Aceh Selatan, khususnya kaum perempuan. Dimana mereka merasa lebih nyaman menguraikan sesuatu yang menjadi masalah bagi mereka baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial lainnya.

Sosok lain yang pernah saya temui juga adalah sosok Raibah. Banyak hal yang kini digeluti Raibah di tengah warga, yang membangun spirit kebersamaan dan kebijaksanaan serta membangun jiwa kepemimpinan dilingkungan masyarakat didesanya. Antara lain, ia menjadi paralegal bagi warga desanya, sehingga setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan hukum, baik itu hukum adat maupun hukum positif. Masyarakat menjadi melek hukum. Raibah juga menjadi anggota Forum Pala sebuah organisasi petani pala ditempatnya, dan menjadi Ketua koperasi sukses di desanya, Desa Kemumu Hulu, Kecamatan Labuhan Haji Timur.

Kedua perempuan ini mulai berpikir, memajukan rakyat, menyamakan perlakuan didalam aktifitas mereka sebagai warga, serta memberi pendidikan yang lebih maju, adalah bagian dari demokrasi, tanpa harus berpolitik. Jadi politik tak sekadar urusan perburuan kekuasaan semata, tapi juga sebagai panggilan (perasaan) kemanusiaan. Persis pada titik inilah relevansi serta urgensi kebangkitan nalar kekuasaan perempuan Aceh ini.

Untuk itu para perempuan “perkasa” ini harus betul-betul melakukan persiapan yang matang dan sungguh-sungguh dalam me-manage aktifitas kesehariannya dala mengurus berbagai kebutuhan masyarakat sekitarnya, yang terkait dengan upaya penyelesaian persoalan mendasar masyarakat dan kepemimpinan. Makin majunya zaman, tentu semakin tinggi pula tantangan global yang harus dihadapi kaum perempuan.

Hal ini dibuktikan dengan mulai maraknya aktivitas perempuan, meski baru hanya tingkat gampong (desa). Adanya perempuan-perempuan pemegang jabatan sebagai tuha peut, kepala desa, bahkan camat, hingga aktifis pos yandu dan PKK, mulai membuka tirai kelamnya ruang demokrasi bagi perempuan di Aceh. Bahkan aktivitas musyawarah rencana aksi perempuan (Musrena), perempuan tidak lagi hanya menjadi obyek dari pembangunan, melainkan subyek dari pembangunan di kawasan tersebut. Kondisi ini tentunya memberi pencerahan terhadap perkembangan perempuan dan kekuatan demokrasi yang dimiliki oleh kaum hawa ini.

 Menanamkan kesadaran
Masrizal MA, seorang pengamat politik dan akademisi, dalam sebuah tulisannya menyatakan, tiga upaya yang bisa diberikan kepada perempuan dalam menghadapi tantangan global: Pertama, Upaya menanamkan kesadaran pada perempuan untuk menghargai dirinya sebelum dihargai orang lain. Hal ini bisa dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun informal. Melalui pendidikan dihadapkan perempuan memperoleh ilmu dan keteladanan. Sehingga dengan ilmu dan keteladanan itu, mereka bisa menggali dan menumbuhkembangkan potensi dirinya. Ketika potensinya berkembang maka akan melahirkan kemandirian;

Kedua, Upaya mengamalkan ajaran agamanya. Agama memberikan panduan kepada perempuan tentang bagaimana mereka mesti bersikap dalam mengarungi kehidupan ini. Melalui tuntunan ajaran agama para perempuan akan terselamatkan dari berbagai perbuatan yang tidak bernilai manfaat bahkan tercela. Perempuanpun bisa berkontribusi dalam kehidupannya secara seimbang di berbagai bidang kehidupan baik domestik maupun publik sesuai dengan tuntutan agama. Dengan tuntunan agama itulah perempuan akan terus bisa berkontribusi untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik;

Ketiga, meningkatkan kapasitas perempuan. Setelah para perempuan sadar akan kondisinya, dan mengamalkan ajaran agamanya, maka dalam hal ini pemerintah ataupun lembaga sosial perlu sejak dini meningkatkan kapasitas perempuan sesuai dengan hasil pemetaan sumberdaya yang telah dilakukan. Perempuan adalah aset bangsa yang diharapkan bisa menjadi pilar dalam memajukan bangsa. Ketika kapasitas mereka meningkat, Insya Allah kontribusinya juga akan semakin meningkat.

Keberhasilan perempuan menghadapi berbagai tantangan zaman ditandai dengan terhindarnya perempuan dari korban budaya, life style dan konsumeristik. Untuk itu, perlu terus didorong agar perempuan meningkatkan wawasan keilmuan. Perempuan pun harus mampu mempersiapkan generasi yang dapat merubah peradaban ini menjadi bermartabat. Suksesnya perempuan juga tidak terlepas adanya lingkungan yang kondusif, serta adanya keseimbangan dalam peran di sektor domestik dan publik yang memang keduanya penting.

Disadari atau tidak, inilah potensi yang tersembunyi, yang ternyata memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk suatu wilayah yang tangguh dan bermartabat. Sepertinya kita tidak perlu menunggu, untuk memunculkan kekuatan ini menjadi sebuah gelombang pembangunan yang luar biasa, untuk menuju masyarakat yang sejahtera dan daerah yang madani. Semoga!

* Daspriani Y. Zamzami, Jurnalis di Banda Aceh. Email: yayanz@gmail.com

Tulisan ini telah dipublikasikan dalam kolom OPINI Harian Serambi Indonesia,Rabu 17 Oktober 2012

Perempuan Aceh, Kekuatan Demokrasi Tersembunyi - Serambi Indonesia

Kampanye dan Komunikasi Politik

Oleh: Sahari Ganie

SAMPAI beberapa hari ke depan, seluruh lapisan masyarakat di Aceh akan menyaksikan satu prosesi penting tahapan pemilukada, yakni masa kampanye. Kegiatan komunikasi resipokral mutualis antara komunikator politik (juru kampanye) dan komunikan politik (calon pemilih).

Selama kampanye variabel komunikasi memainkan peran esensial dalam demokrasi. Batasan demokrasi pun banyak ditentukan oleh interaksi komunikasi politik. Komunikasi politik juga menentukan watak dan mutu demokrasi suatu masyarakat. Tingkat perkembangan demokrasi sangat banyak bergantung pada struktur dan ciri sistem komunikasi tersebut (Alwi Dahlan, 1999).

Futurlog ternama dunia Alvin Toffler, juga menyatakan di era abad kecanggihan teknologi informasi masa kini, pihak yang menguasai, mengendalikan informasi dan komunikasi akan dapat pula menguasai dan mengendalikan dunia. Pola hubungan tersebut berlangsung di tengah proses aktivitas demokrasi, dalam ruang lingkup suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya (Fagen, 1966).

Aktivitas komunikasi politik juga bertalian dengan proses peyampaian informasi politik, pesan-pesan politik, persuasi politik, dan sosialisasi politik, melalui medium orasi politik, simbol politik, perilaku politik, dan publikasi media massa. Dari deskripsi konsep-konsep komunikasi di atas, menempatkan kampanye sebagai faktor dan aset strategis setiap kandidat.

 Komunikasi politik cerdas
Pelaksanaan kampanye Pemilukada Aceh 2012 ini, hendaknya dapat ditumbuh-kembangkan komunikasi politik cerdas. Suatu komunikasi politik yang menuju pada pencerahan intelektual, dan pengayaan wawasan publik pemilih. Bukan komunikasi politik negatif yang bercorak pembodohan dan pembohongan publik pemilih, pola yang dulu lazim dipraktekkan para komunikator politik rezim Orde Baru, dengan pesan-pesan politik yang sarat nuansa agitasi, konfrontasi dan adu domba massa pemilih.

Dalam diskursus komunikasi politik, komunikator politik negatif dikenal dengan propagandis Machiavellis yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan tunggal yakni pemenangan kandidatnya semata. Sebaliknya, gaya komunikator politik cerdas bercirikan empati sosial dan fokus menjaga kohefitas masyarakat luas.

Seyogyanya para tim sukses setiap kandidat, dalam masa kampanye mengutus komunikator-komunikator politik profesional yang cerdas, berorientasi program, dan memiliki sensitifitas konflik. Bukan menerjunkan rombongan komunikator kelas “warung kopi jalanan”, yang

hanya bisa mengungkap sisi buruk dan fitnah politik sarkastik (black campaign) terhadap kandidat pesaing, sehingga memicu anarkisme massa yang bermuara pada konflik horizontal sesama pemilih.

Dalam konteks realitas sosial politik masyarakat Aceh, yang kini dalam masa transisi damai (transitional peace society), harus dicegah berkembangnya komunikasi negatif destruktif tersebut, karena membayakan stabilitas politik lokal dan dapat mengancam perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di Aceh.

Lembaga think tank pemilu bereputasi internasional IFES (the International Foundation for Electoral Systems), menyebutkan masa kampanye sebagai fase pemilu paling kritis karena sangat rawan konflik (IFES Report, 2007). Pada rentang waktu inilah, massa pemilih setiap hari dijejali dengan berbagai informasi yang kadangkala tidak akurat dan menyesatkan.

 Deklarasi kampanye damai
Kesepakatan para kandidat kepala daerah Aceh beberapa waktu lalu itu baru sebatas komitmen seremonial belaka, belum bisa menggaransi terciptanya pemilukada Aceh yang damai, jujur dan adil. Beberapa kasus teror, intimidasi dan pembakaran atribut maupun mobil tim sukses pascadeklarasi itu, memperkuat asumsi tersebut. Oleh karena itu, masih dibutuhkan satu tindakan lanjutan yang lebih konkret di lapangan.

Para pemangku (stakehoder) yang bertanggung jawab atas pemantauan setiap tahapan pelaksanaan kampanye, khususnya Panwaslu, dan Polri perlu lebih proaktif melakukan tindakan preventif terhadap pelaku kriminal tersebut. Termasuk juga pengawasan atas para juru kampanye yang berwatak machiavellis. Kelompok ini minim sensifitas konflik dan kepedulian pada penciptaan perdamaian di masyarakat. Ini berbahaya bagi kelompok bagi kategori pemilih akar rumput yang mayoritasnya irrational voter yang sikap politiknya lebih didorong faktor emosional, dibanding analisis politik rasional. Sehingga mudah sekali tersulut oleh isu-isu propaganda agitatif yang berpeluang konflik.

Pengalaman pemilu di beberapa wilayah bekas konflik, membuktikan pesta demokrasi banyak diwarnai kekerasan politik antar-pendukung kandidat. Kasus pemilu presiden Timor Leste 2007, contoh konkret yang mungkin relevan sebagai pembelajaran bagi pemilukada Aceh 2012. Pemilu di bekas koloni Portugal itu disertai konflik horizontal berdarah antara sesama mantan kombatan. Kelompok massa Fretilin dipimpin Mari Alkatiri yang mendukung capres Francisco Guterres bentrok dengan massa CNRT di bawah Xanana Gusmao yang mendukung capres Ramos Horta.

Sebagian kalangan di dalam maupun di luar Aceh berkeyakinan pemilukada kedua Aceh ini akan berlangsung aman dan damai. Pandangan optimis ini mengacu pada Pilkada 2006 yang berlangsung relatif aman dan minim kekerasan. Namun jika melihat situasi dan kondisi politik Aceh dewasa ini, pandangan tersebut masih perlu dieksplorasi lebih lanjut. Konstruksi politik lokal Aceh hari ini sudah berubah drastis, dan sangat kontras dengan situasi Pilkada Aceh 2006.

Dinamika politik lokal saat itu cukup kondusif, diliputi suasana euforia damai hasil MoU Helsinki. Relasi politik internal GAM pun sangat interaktif, solid dan kohesif. Seluruh aspirasi politik GAM bernaung di bawah payung politik tunggal KPA. Namun disain peta politik Aceh pada 2012 ini yang sudah terbelah dua akibat rivalitas kepentingan elite yang dibayangi potensi kekerasan. Jika dibahasakan dalam konteks kearifan lokal, periode 2006 bisa disebut sebagai fase sapeu pakat (konvergensi), sedangkan periode 2012 adalah fase laen keunira (divergensi).

Pada aras inilah kampanye berbasis komunikasi politik cerdas menjadi signifikan dan urgen dioperasionalkan secara efektif dalam Pemilukada Aceh kali ini. Memberi ruang edukasi, aspirasi dan partisipatif, yang mencerdaskan dan memperkaya pengetahuan pemilih. Segala potensi konflik horizontal sesama aneuk nanggroe selama kampanye pun dapat dihindarkan. Sehingga harapan Pemilukada Aceh kali ini akan berlangsung dalam kedamaian dan harmoni demokrasi serta jalinan persahabatan sesama partisipan, bukanlah sekadar mimpi politik belaka.

* Sahari Ganie, Senior eksekutif Pintoe Komunika, Communications Consulting/Dosen luar biasa FISIP Unsyiah.

Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh Harian Serambi Indonesia, pada Kamis 29 Maret 2012
Kampanye dan Komunikasi Politik - Serambi Indonesia

 
Positive SSL